webnovel

Danke

Terima kasih untuk bertahan." New adult—romance. Karang tidak mau tahu jika Pelita harus tetap menjadi kekasihnya meskipun Karang memiliki Valerie, yang ia tahu Pelita adalah piala kemenangan yang ia dapatkan dari Ardo--mantan kekasih Pelita karena kalah balapan. Backstreet, hanya itu yang bisa Pelita dan Karang lakukan di depan Valerie serta banyak orang. Tapi, cinta tahu ke mana dia punya pelabuhan tetap. Tak ada yang takkan hancur bila terus menerus menjadi yang kedua dan menghalangi hubungan orang lain sampai ia bertahan pada titik kelemahannya. "Dia atau aku Kak Karang?"

aprilwriters · Urbain
Pas assez d’évaluations
169 Chs

Meledak.

Ibaratnya sebuah bom waktu yang aktif telah tersembunyi tanpa diketahui siapa pun, lalu meledak setelah detik-detik terakhir berbunyi. Begitulah suasana yang terjadi di Universitas Merah Putih, bukan karena ada bom asli yang meledak di kampus itu—melainkan bom yang telah lama Karang sembunyikan dari orang-orang. Lalu apa?

Bukan soal hubungannya dengan Pelita, tapi video saat ia bernyanyi lagu milik Elvis Presley di Kafe Arizona saat itu sudah menyebar luas di kalangan penghuni Universitas Merah Putih.

Karang belum tahu perihal apa pun, saat itu setelah ia bernyanyi dan keluar mengejar Pelita, dengan senang hati Chintya mengunggahnya ke akun Instagram pribadi dengan tagar #KarangSinging #PrinceSinging #UniversitasMerahPutih. Jadilah semua pengikutnya yang kebanyakan juga penghuni kampus itu berbondong-bondong menonton kejadian langka yang akan dikenang massa sepanjang sejarah.

Karang terlihat melangkah dengan santai melewati orang-orang yang ia lalui sepanjang koridor lantai satu, Rangga yang melangkah bersamanya pun tampak biasa saja karena memang tak tahu apa pun. Wajah Karang terlihat datar seperti biasanya, kedua tangan masuk ke saku jaket dengan tatapan lurus ke depan, tak berniat melirik siapa pun yang mereka lewati seolah tak terlihat. Sedangkan Rangga sesekali menunduk melirik ponsel di tangannya, lalu mengadah melambai tangan sambil tersenyum ataupun mengedipkan mata jika melihat gadis yang lumayan cantik.

Beberapa orang berbisik dengan sinis, beberapa orang juga terlihat senang melihat laki-laki itu seakan mereka menyukai aksi Karang yang tak pernah muncul di kampus itu.

"Karang!" seru Valerie yang baru muncul dari balik pintu kelas setelah melihat kekasihnya kebetulan lewat tanpa menoleh sedikit pun.

Karang dan Rangga yang sudah melangkah cukup jauh dari kelas itu akhirnya menghentikan langkah dan menoleh, mendapati Valeire dan teman-teman sosialitanya mengampiri mereka. Rangga bersiul riang, melihat bagaimana teman-teman Valerie yang mengenakan dress begitu sexy, mata lelaki juga sanggup bicara.

"Kamu bisa jelasin soal ini sekarang?" Valerie menyodorkan ponselnya di depan Karang dan ia menerimanya, menatap sesaat video dalam ponsel itu. Lalu ia kembalikan lagi pada Valerie, tak ada raut terkejut sama sekali, Karang tetap datar seolah tak berimbas apa pun terhadap dirinya. "Kenapa diam? Ayo jelasin sama aku, apa maksud video itu. Kenapa kamu ngamen di kafe?"

Ngamen?

Karang mengerutkan kening, "Gue nggak ngamen."

"Terus apa, hm?"

"Maksud lo apa, kenapa kesel gitu."

Valerie memutar bola matanya, "Kok kamu jadi aneh gitu sih ngomongnya, tolong jelasin sama aku kenapa kamu nyanyi di kafe itu? Kamu udah nggak punya uang lagi atau gimana? Bukannya perusahaan papa kamu makin besar, kan?"

"Gue hibur diri."

"Tapi nggak ngamen juga kali, itu tuh low class banget, aku nggak suka! Jangan ulangi lagi!"

Karang melirik Rangga, memintanya pergi dengan gerakan leher.

"Siap, Bos!" Dengan senang hati Rangga melenggang pergi, dia cukup tahu bagaimana Karang hendak selesaikan urusan itu.

"Kamu ngerti kan omongan aku?"

Karang menatap datar Valerie serta teman-temannya, "Gue cuma hibur diri, lagian nggak buat lo rugi, kan?"

"Karang!" Emosi Valerie mulai terlihat, dia meremas ponsel pada genggamannya. "Aku nggak suka kamu nyanyi di kafe lagi, aku nggak mau kamu kayak gitu. Semua orang itu ngomongin kamu, aku malu tahu nggak kalau punya pacar nyanyi-nyanyi di kafe. Tolong dong ngertiin aku ...."

"Gitu ya, jadi ini lo yang asli? Udah bisa ditebak dari lama sih, Val." Karang mendengkus.

"Maksud kamu apa sih? Cuma permintaan kecil kayak gitu kamu nggak bisa? Aku cuma minta kamu jaga image doang di depan semua orang apalagi kita mau nikah, jangan bikin malu dong."

Teman-teman Valerie hanya diam melihat perdebatan sepasang kekasih di depan mata mereka itu.

"Ini Val yang gue nggak suka dari lo, lo terlalu ngerendahin perkerjaan orang lain. Padahal kerjaan gue halal, gue nggak maling apalagi korupsi."

"Pekerjaan kamu? Jadi kamu udah lama nyanyi kayak gitu. Astaga, Karang!" Emosi Valerie kian meletup-letup, dadanya terlihat naik turun, tapi laki-laki di depannya justru begitu santai.

"Mau lo tuh gue harus kayak gimana? Jadi laki-laki sempurna? Apa tahanan yang bisa lo kurung sesuka hati, hm? Gue juga punya kehidupan, Val. Gue punya batas teritori di mana lo nggak ada di dalamnya, ini hidup gue."

"Karang!"

Plak!

Satu tamparan keras mendarat di wajah Karang, hingga ia menolehkan kepalanya ke kanan.

"Kamu keterlaluan, kamu terus jawab ucapan aku. Emangnya duit papa kamu habis? Kalau iya nanti aku minta papa aku transfer uang ke kamu."

"Jaga bicara lo, Val!" Karang merasa harga dirinya benar-benar dijatuhkan saat ini bahkan di depan teman-teman gadis itu. Kenapa yang Valerie lihat hanya uang dan tahta, sedangkan Karang ingin jadi dirinya sendiri yang sedang berusaha mencari uang sendiri tanpa terus merepotkan ayahnya. Salahkah yang ia perbuat? Ia tak mencuri apalagi membunuh orang lain, tapi kenapa di mata Valerie semua hal itu terlihat sangat salah.

Selama ini Karang sudah sangat bersabar menghadapi gadis itu, ia yang selalu dikekang untuk melakukan hal yang diinginkannya, ia juga yang harus menuruti keinginan Valerie demi janjinya kepada sang ayah. Karang sudah lelah, ia ingin berhenti dan mengakhiri terungku yang mengungkungnya selama ini.

"Apa yang harus aku jaga! Bukannya aku benar, kan? Sebentar lagi kita nikah, aku mau kamu jaga image doang apa susahnya sih. Kalau nggak punya uang tinggal minta."

"Segitu rendahnya gue di mata lo, hm? Buat apa kita nikah kalau gue nggak bisa cariin duit buat lo, harus makan pakai duit dari orangtua lo? Gue laki-laki yang punya harga diri!"

Pertengkaran itu menyita perhatian orang-orang hingga mereka berkumpul di dekat pasangan kekasih itu termasuk Pelita dan teman-temannya yang baru keluar dari kantin usai sesi kopi pagi mereka berakhir.

"Buat apa sih kamu kerja kayak gitu sedangkan perusahaan papa kamu juga bakal diwarisin ke kamu, ngapain sih kamu repot-repot bikin malu diri sendiri." Masih saja Valerie dapat melawan setiap perkataan Karang.

"Gue mau punya usaha sendiri, gue mau hidupin anak istri gue pakai duit yang dihasilkan dari keringat gue sendiri. Gue nggak mau ambil enaknya aja dari papa, kalau lo nggak suka gue yang kayak gini silakan cari orang lain aja, Val."

Semua orang menganga usai mendengar perkataan Karang yang begitu mudah seolah dia baru saja melempar Valerie ke arah lain tanpa ingin melihatnya lagi.

Karang hendak pergi, tapi tangan kanan Valerie lebih dulu mencegah lengan laki-laki itu hingga mereka berhadapan lagi. Padahal Karang sedang berusaha menghindari pertengkaran mereka yang terus berlanjut di depan banyak orang, jika Valerie memaksa tetap tinggal maka lanjutkan hingga tuntas.

"Kamu mau ke mana!" hardik Valerie tanpa peduli banyak orang yang berkerumun di depan mereka.

"Nyari orang yang sayangnya tulus sama gue," celetuk Karang tanpa canggung.

Semua orang makin tercengang, mereka semua tampak berbisik termasuk teman-teman Valerie. Pelita juga menyaksikan semuanya meski ia hanya diam, semua orang tak menyangka jika hubungan mereka tak seromantis saat di depan khalayak ramai, nyatanya Karang terlihat begitu tersiksa dengan hubungan itu. Padahal selama ini orang-orang sudah sangat mendukung mereka, suka iri dan menganggap mereka sebagai couple of university yang begitu dibanggakan.

Nyatanya isi hati manusia memang tak ada yang tahu, kecuali para pembaca pikiran sekelas Roy Kyoshi mungkin. Sekarang semua terlihat jelas, apa yang tertimbun rapat sudah terangkat ke permukaan dan menegaskan bahwa Karang tak nyaman dengan hubungan itu.

"Maksud kamu apa! Apa jangan-jangan kamu emang udah nggak sayang lagi sama aku, hah!"

Karang mendengkus, menatap Valerie dengan raut sendu. Jadi hari ini Valerie ingin tahu mau Karang yang sebenarnya? Baiklah, lanjutkan pertunjukan.

"Gue sayang kalau lo sayang sama gue."

"Aku sayang sama kamu!"

"Tapi lo nggak terima gue apa adanya, kan? Gue lebih sayang sama orang yang terima gue apa adanya, yang nggak mandang harta apalagi tahta, yang nggak ninggalin gue pas kesusahan, yang sayang sama gue biar pun udah sakiti dia bertubi-tubi," jelas Karang.

"Zaman sekarang uang itu segalanya, lagian siapa yang mau terima kamu pakai kisi-kisi kayak gitu," tantang Valerie seolah hanya ia gadis di dunia yang wajib Karang miliki, seolah hanya ia yang paling sempurna untuk Karang.

"Jadi lo mau tahu, hm? Oke gue kasih lihat." Karang menerobos kerumunan orang-orang, meraih tangan gadis itu lalu menariknya ke hadapan Valerie.

Astaga! Kejutan macam apa ini!

Orang-orang makin menggila dengan perbuatan Karang, bagaimana bisa dia menarik gadis lain ke hadapan Valerie yang notabene adalah kekasihnya sendiri apalagi gadis itu adalah ... Pelita Sunny.

Teman-teman Pelita justru senyum-senyum dengan pemandangan itu. Mereka sudah mendukung hubungan Karang dan Pelita sepenuhnya.

Jelas saja Valerie tak terima melihat pemandangan itu, dia yang tak terima berusaha melepaskan tangan Karang yang melingkar di pergelangan tangan Pelita.

"Lepas nggak!" perintah Valerie, kekesalannya kian merangkak hingga ubun-ubun. Bagaimana bisa dia dipermalukan seperti itu oleh kekasihnya sendiri.

Pelita menatap Karang, menggeleng. Berharap laki-laki itu bisa paham apa yang ia mau, lepaskan tangannya dan biarkan ia pergi dari sana.

"Semua orang harus tahu, kamu mau kan berjuang sama aku?"

Pelita hanya bisa pasrah, apalagi semua orang sudah melihatnya dengan jelas, tanpa sensor.

"Maksud kamu apa, Karang! Kenapa bawa dia ke depan aku!" hardik Valerie butuh kejelasan.

"Apa yang gue mau ada sama Pelita, sayang gue ke dia melebihi sayang gue ke lo, Val. Maaf."

"Kamu selingkuh!"

"Iya."

Adegan film macam apa ini!

Valerie menatap Pelita dengan raut merah padam. Ia hendak menampar gadis itu, tapi tangan Karang mendahuluinya untuk mencegah.

"Jangan sentuh pacar gue," ancam Karang, ia menurunkan tangan Valerie dari hadapan Pelita.

"Oke, apa buktinya kalau kamu emang pacaran sama dia," ucap Valerie ragu, ia terlalu percaya diri kalau Karang takkan pernah mengkhianatinya.

"Jadi lo nggak yakin sama gue?" Karang menatap Pelita, meraih pinggang gadis itu agar lebih dekat dengannya lalu mencium lembut bibir gadis itu di depan semua orang tanpa canggung sedikit pun seolah tak ada manusia di sekitar mereka.

"Karang!" hardik Valerie tak kuasa dengan apa yang ia lihat.

"Udah, berhenti. Kasihan Valerie," ujar Pelita setelah Karang melepas ciuman itu.

"Lo terlalu baik, Ta. Gimana gue nggak makin sayang sama lo." Kini Karang menatap Valerie, menyeringai memamerkan kemenangannya.

"Kamu nggak bisa giniin aku, kita mau nikah." Air mata Valerie menetes seketika, salah satu temannya menarik gadis itu ke dalam rengkuhan.

"Kita udah selesai, Val. Gue yang akan bilang sama papa untuk batalin semuanya, lo bisa cari laki-laki sempurna seperti yang lo mau. Maafin gue," tandas Karang, setelahnya ia menarik Pelita keluar dari kerumunan orang-orang.

"Karang! Karang!" teriak Valerie, tapi Karang enggan menoleh apalagi berhenti. Pelita hanya terus menunduk, pasrah dengan keadaan.