webnovel

Crazy Wife Vs Cold Husband

WARNING! Terdapat konten dewasa di dalam novel ini. Harap bijaklah memilih bacaan. "Kamu bebas melakukan apapun di rumah ini, kamu bebas pergi ke manapun, dan aku tak peduli dengan itu! Tapi, satu hal yang harus kamu ingat! Jangan pernah mengusik kehidupan pribadiku!" tegas pria berusia 25 tahun, berwajah Asia dengan ciri khas rambut panjangnya yang membuatnya terlihat tampan dan cool di mata para wanita, tepat di hadapan wanita yang baru saja sah menjadi istrinya. "Aku bahkan tak peduli dengan apapun yang berkaitan dengan dirimu! Jangan pernah menggangguku juga! Jika tidak, kamu akan tahu akibatnya! Kamu tahu, aku bisa melakukan apapun untuk membalas orang yang berani mengusikku! Dan, satu lagi. Jangan pernah menyentuhku, atau aku akan membuat dirimu menyesal, dan takan pernah sanggup untuk bangun kembali!" ancam gadis cantik serta berwajah lugu bernama Gabriela Anastasya Sasongko, berusia 21 tahun seraya menunjuk wajah pria tampan itu tepat di wajah pria itu. Siapa sangka? Di balik wajahnya yang lugu tersimpan sesuatu yang membuat pria itu hampir mengalami darah tinggi setiap harinya, serta mendadak membuatnya memiliki riwayat penyakit jantung. Menikah adalah jalan yang harus keduanya tempuh ketika keduanya terlibat dalam skandal yang terjadi akibat kesalah pahaman. Lantas, akankah pernikahan itu dapat membawa keduanya saling menerima kehadiran satu sama lain? Dan mungkinkah seiring berjalannya waktu dapat menumbuhkan benih cinta di hati keduanya?

Mahdania · Urbain
Pas assez d’évaluations
409 Chs

CWCVH PART 13

Briel berjalan riang mendekati Jenny. Dia merangkul tangan Jenny.

"Eh, Briel. Bagaimana? Apa tugasmu sudah di serahkan kepada Pak Gerald?" tanya Jenny.

"Ya, aku lega sekali. Hari ini, kita tak ada kelas lagi, bukan?" tanya Briel.

"Ya, kamu akan pulang?" tanya Jenny.

'Pulang? Benar, aku tak memiliki kegiatan apapun lagi. Tapi, apa aku harus pulang secepat ini? Aku bahkan baru sampai. Tapi, aku--"

Puk!

Briel tersentak ketika bahunya di tepuk seseorang. Briel sontak berbalik, dia melihat orang yang baru saja menepuk bahunya.

"Ada apa denganmu? Menepuk bahuku sembara--"

"Eh?" Briel tersentak. Rupanya yang berdiri di hadapannya adalah Guru lukisnya sendiri.

"Pak Gerald, ada a--"

"Lho, Pak?" Briel terkejut ketika Gerald menyodorkan lukisan yang dia berikan belum lama tadi.

"Ambil itu, dan jagalah sopan santunmu ketika sedang bicara dengan Gurumu! Jangan pergi ketika Gurumu masih sedang berbicara! Apa kamu tak tahu tata krama, ha?" Gerald menatap Briel tajam. Dia benar-benar tak suka pada orang yang lancang padanya terlebih orang itu adalah seorang wanita. Seharusnya wanita bersikap manis, bukan? Lalu, mengapa sikap Briel sebagai wanita sama sekali tak terlihat manis? Pikir Gerald.

Gerald berbalik, dia berniat meninggalkan Briel dan Jenny.

"Tunggu, Pak!" Gerald menghentikan langkahnya ketika Briel memegang lengannya.

"Apa Bapak pria sejati? Jika iya, maka wanita pun bisa menjadi wanita yang sejati," ucap Briel.

Gerald mengerutkan dahinya. Sebenarnya, apa yang sedang di katakan salah satu murid melukisnya itu? Kenapa Gerald mendadak menjadi bodoh? Dia tak dapat memahami maksud dari apa yang Briel katakan. Apa hubungannya masalah lukisan itu dari status kelelakiannya? Tentu saja dia lelaki sejati, kenapa Briel mempertanyakan hal itu?

Gerald berbalik, dia menatap Briel seraya menaikan satu alisnya seakan tengah menunjukan rasa bingungnya. Dia masih tak mengatakan apapun.

"Saya tidak pernah mengambil kembali apa yang sudah Saya berikan pada orang lain," ucap Briel seraya memberikan lukisannya pada Gerald.

Gerald terperangah. Apa Briel tengah mengatakan bahwa dirinya adalah pria yang tengah mengemis meminta sesuatu pada Briel? Kenapa bicara Briel seakan Briel telah memberikan sumbangan tetapi orang yang ingin di beri oleh Briel itu menolak menerima sumbangan dari Briel.

Gerald tersentak. Sepertinya dia tahu bagaimana cara mengatasi anak seperti Briel.

"Dan Saya benar-benar pria sejati, Saya pun tak menerima barang yang sudah Saya berikan pada orang lain!" tegas Gerald.

Briel terperangah. Dia menepuk dahinya. Dia tak menyangka Gerald akan meniru ucapannya.

'Tapi, dia sungguh tak inisiatif,' gumam Briel.

"Apa maksudmu?" tanya Gerald setelah mendengar gumaman Briel.

Briel menutup mulutnya. Dia sedikit terkejut karena Gerald ternyata mendengar gumamannya.

"Em... Itu, Pak. Bapak adalah Guru lukis terbaik yang pernah Saya temui. Saya yakin, Bapak masih bersedia untuk bermurah hati untuk menerima lukisan Saya meskipun sedikit terlambat," ucap Briel seraya menatap Gerald penuh harap.

Gerald mengalihkan pandangannya. Dia menutup wajahnya.

'Apa-apaan anak ini?' batin Gerald.

Gerald merebut lukisan Briel yang ada di tangan Briel.

"Baiklah, tapi semua ini tak semudah itu. Kamu tetap saja bersalah, dan perlu di beri hukuman!" tegas Gerald.

Briel mengangguk santai. Dia sudah tahu, pasti Gurunya itu akan menyuruhnya mengelilingi lapangan yang ada di area sekolah melukis itu.

"Baiklah, Saya aka--"

"Buatkan Saya kopi, lakukan di dapur sekolah ini. Harus dengan tanganmu sendiri, dan--"

Gerald belum selesai bicara, tetapi Briel justru sudah memotong ucapannya.

"Saya tak bisa membuat kopi, Bapak akan keracunan jika meminum kopi buatan Saya," ucap Briel.

Gerald menatap Briel dengan tajam.

"Saya belum selesai bicara!" kesal Gerald.

Briel terdiam. Dia melihat Jenny yang hanya diam saja. Semua murid melukis di sana memang sungkan pada Gerald termasuk juga dengan Jenny.

"Buatkan Saya kopi, dan bawakan ke ruangan Saya. Jika Saya dapat menikmati kopi buatanmu, maka Saya akan mempertimbangkan untuk memberikan nilai pada lukisanmu! Jika sebaliknya, Saya akan membuang lukisanmu!" ancam Gerald.

Briel terperangah.

'Kesialan macam apa yang aku dapatkan? Dia benar-benar berlebihan sebagai seorang Guru lukis!' batin Briel kesal.

"Baiklah," ucap Briel dan menarik Jenny. Briel dan Jenny meninggalkan Gerald begitu saja.

Gerald menghela napas. Dia bergegas menuju ruangannya.

***

Waktu berlalu.

Briel dan Jenny sampai di depan ruangan Gerald.

"Mau kutemani, Briel?" tanya Jenny.

"Tidak perlu, tunggu aku di sini saja," ucap Briel.

"Baiklah. Hati-hati, ya, Briel," ucap Jenny.

Briel terkekeh. Jenny mengatakan semua itu seperti Briel akan menghadapi malaikat maut saja. Padahal Briel hanya akan mengantarkan kopi ke ruangan Gerald.

Briel melangkahkan kakinya memasuki ruangan Gerald. Dia mendekati meja Gerald dan meletakan kopinya di atas meja.

"Terima kasih, dan silakan pergi dari ruangan Saya!" ucap Gerald.

"Hanya itu?" tanya Briel.

Gerald yang sejak tadi memunggungi Briel lantas berbalik dan menatap Briel.

"Memangnya apa lagi?" tanya Gerald bingung.

"Lukisan Saya? Nilainya bagaimana?" tanya Briel.

"Apa kamu pikir, kamu murid spesial yang akan mendapatkan nilai lebih dulu di bandingkan teman-temanmu? Tentu saja kamu akan menunggu bersama mereka!" ucap Gerald seraya menatap Briel dengan tajam.

Bukannya takut melihat tatapan Gerald, melainkan Briel merasa heran karena Gerald justru memikirkan hal lain. Maksud Briel adalah, bagaimana dengan lukisannya? Apa Gurunya itu benar-benar menerima lukisannya dan benar-benar akan memberikan nilai pada lukisannya?

"Kenapa masih di sini? Apa masih ada yang ingin kamu katakan?" tanya Gerald.

"Tidak, ya sudah Saya permisi," ucap Briel dan keluar dari ruangannya.

Gerald mengambil gelas kopinya, dia mulai menyesapnya dan seketika membulatkan matanya.

'Jadi, dia benar-benar ingin meracuniku?' batin Gerald.

Uhuk! Uhuk!

Gerald terbatuk, tenggorokannya terasa sakit setelah menyesap kopi yang seharusnya memiliki rasa manis dan sedikit pahit. Namun, apa yang sebenarnya di berikan pada kopi itu? Kenapa rasanya seperti itu? Pikir Gerald.

"Dia keterlaluan! Masa iya, tak bisa membedakan mana gula mana garam?" gerutu Gerald. Dia benar-benar tak habis pikir pada muridnya yang satu itu.

"Terbiasa menjadi tuan putri, ya? Dasar anak muda jaman sekarang, membuat kopi saja tak bisa!" gerutu Gerald.

***

Di sisi lain.

Briel dan Jenny memasuki sebuah restoran. Mereka duduk bersama dan langsung memesan makanan. Briel merasa lapar, saat pergi ke tempat melukis tadi dirinya tak sempat sarapan.

"Briel, apa kamu baik-baik saja?" tanya Jenny.

"Ya, kenapa kamu menanyakan hal itu? Apa aku terlihat tak baik-baik saja?" tanya Briel.

"Tidak, aku hanya bingung. Kenapa Om Bram mengizinkanmu tinggal di luar?" tanya Jenny.

Briel terdiam.

"Kemarin, saat aku menghubungimu soal tugas lukisan itu, aku sebetulnya datang ke rumahmu. Tapi, penjaga rumah di sana mengatakan bahwa kamu tak lagi tinggal di rumah Om Bram. Kamu tinggal di mana sebenarnya? Apa aku boleh datang?" ucap Jenny.

"Tak boleh!" ucap Briel dengan cepat.

"Kenapa? Apa kamu tinggal bersama seorang pria? Bersama siapa? Apa pada akhirnya kamu menyukai pria?" tanya Jenny.

Briel terperangah mendengar pertanyaan Jenny.

'Apa maksudnya? Apa selama ini Jenny berpikir aku penyuka sesama jenis? Astaga, apa yang salah dengan pertemanan kami yang sudah terjalin lama ini?' batin Briel syok.