Aku terbangun ketika terdengar suara seseorang mengetuk pintu kamar. Aku bergegas bangun lalu membukakan pintu.
"Ada apa, Bik?" tanyaku pada Bik Asih.
"Dah jam setengah delapan malam. Kalian gak makan malam dulu?"
"Ya, Bik, bentar lagi kami turun. Kami ketiduran, kecapekan belanja," jawabku, sambil menguap lebar.
"Ya udah, nanti kalau mau makan tinggal turun, ya. Bibik mau ikut Nyonya, menginap di rumah saudaranya."
"Ada acara apa, Bik?"
"Gak tau. Bibik diajak, ya udah ikut aja," jawab Bibik, kemudian berbalik meninggalkanku.
Setelah mandi dan berganti baju, aku keluar dari kamar. Berhubung rumah lagi sepi, kupakai kesempatan ini untuk melihat-lihat rumah Attaya. Sejak pertama kali menjejakkan kaki ke rumah ini, aku penasaran sekali dengan ruang santai yang terlihat begitu menyenangkan itu.
Kunyalakan beberapa lampu yang ada di ruangan itu. Seketika ruangan menjadi terang benderang. Kuhenyakkan bokongku di sofa besar, lalu ketatap sekeliling ruangan. Mataku berpendar, ketika menemukan begitu banyak buku tertata rapi di sebuah rak besar. Kutelusuri satu persatu judul-judul buku yang ada di rak itu. Ah, tidak ada ada novel-novel percintaan kegemaranku. Tidak ada tetralogi 'Twilight' atau Trilogi 'Fifty Shades of Grey'. Atau karya Kang Abik, Tere Liye, atau Danielle Steel yang ceritanya selalu berhasil memukauku.
Kunyalakan TV yang besarnya entah berapa inch itu, di atas 43 inch kurasa, karena besar sekali menurutku. Kuambil remote yang untuk memindah channel, kucari channel yang memutar film-film Hollywood kesukaanku. Kalau di panti, mau nonton film itu harus nunggu jam sembilan ke atas, setelah para penghuni panti pada tidur. Apa aja deh, yang diputar stasiun TV lokal kutonton, yang penting film. TV tabung berukuran 21 inch itu, benar-benar menjadi satu-satunya hiburanku di sana. Terutama pada saat pagi dan malam hari. Iya pagi, kan sebagian penghuni panti kalau pagi pada sekolah. Jadi setelah tugas-tugasku selesai, aku bisa menonton TV beberapa saat. Walaupun kebanyakan acara TV lokal sangat meng-hadehkan; acara-acara gosip, gimmick, dan sejenisnya.
Setelah menelusuri channel TV beberapa lama, aku berhenti di sebuah channel yang tengah memutar film "Letters to Juliet". Untung baru aja dimulai, jadi aku gak ketinggalan banyak. Ketika aku tengah fokus pada layar televisi, tiba-tiba aku mendengar suara berisik di belakangku.
Seketika kutolehkan kepalaku, terlihat Attaya tengah berlari dengan kecepatan santai di treadmill.
"Malem-malem olah raga?" tanyaku padanya, setelah mengecilkan volume televisi.
"Olah raga mah, bebas kapan aja, sesempatnya. Yang penting tuh, rutin. Kamu tuh, perlu olah raga, biar staminamu bagus. Tuh, pakai power rider-ku!"
"Ogah! Entar keringetan. Aku dah mandi tadi soalnya."
"Ya udah, mulai besok aja. Bikin jadwal harian, kamu mau bangun jam berapa, olah raga jam berapa gitu."
Aku mengangguk mendengar saran Attaya. "Oke, deh. Saranmu bagus kayaknya. Tapi aku diajarin cara makai treadmill sama power rider-mu, ya!"
"Ya udah, sini aku ajarin! Mumpung aku baik, nih."
Aku langsung bergegas menghampirinya. Ia menjelaskan fungsi beberapa tombol yang ada di treadmill, lalu memberi contoh. Ia juga memberi contoh cara menggunakan power rider.
"Oke, Attaya, aku dah paham. Makasih, ya!" Aku mengangkat jempol kananku padanya. Ia hanya tersenyum manis, kemudian melanjutkan lagi aktivitasnya.
"Freya, Mama pergi ya sama Bik Asih?" tanyanya kemudian, sambil membuka kaos yang dipakainya.
"Iya, kata Bik Asih mamamu menginap di salah satu saudaramu. Bik Asih diajak." Pupilku membola, melihat tubuh Attaya yang terpampang jelas di depan mataku.
"Kenapa lihat-lihat? Kagum sama bentuk badanku yang oke?"
"Dih, GR! Aku lagi lihat tatomu, tuh. Banyak ya, ternyata tatomu. Kirain ada di lengan kananmu doang," cibirku, sambil memperhatikan pola tato yang ada di punggung dan dadanya.
"Ada satu lagi, nih, Freya!" ucapnya, sambil memelorotkan celana boxer-nya dengan santai.
Aku sontak menjerit--panik. "Apa-apaan kamu, Atta!"
Dia hanya cengar-cengir, seperti biasanya. "Katamu pingin lihat tatoku, ya ini, ada satu lagi di pahaku."
"Ya, kan gak perlu dipelorotin celanamu. Disingkap aja bisa, kan? Bikin deg-degan aja, deh."
Eh, tiba-tiba Attaya mendekatiku, sambil berbisik di telingaku. "Deg-degan kenapa emangnya? Kamu penasaran ya, pingin lihat yang ada di balik celanaku?"
Langsung kucubit perutnya yang telanjang. Attaya mengaduh seketika. "Dasar omes--otak mesum!"
Attaya ngakak seketika. "Aku mau mandi dulu, ya. Habis itu temani aku makan malam di bawah."
Aku menganggukkan kepalaku, kemudian melanjutkan lagi menonton film. Tak berapa lama kemudian, Attaya kembali menghampiriku. "Ayo, makan malam!"
Kami pun turun beriringan menuju meja makan. Ayam goreng, telur balado, dan sayur oseng, masih terhidang di sana. Aku dan Attaya, makan malam dengan tenang.
"Hah? Nambah?" Attaya melotot, ketika aku beranjak ke dapur mengambil nasi dalam magic com.
"Iya, aku lapar. Emang kenapa, sih?"
"Gak apa-apa. Santai aja. Malah bagus sih, kalau makanmu banyak. Biar kamu agak gemukan dikit gitu, gak kayak sekarang kurus kering gitu. Gak nasfuin."
"Masak sih, aku terlalu kurus?"
"Tinggimu berapa, Freya?"
"165 cm."
"Berat badanmu?"
"Entahlah, 47 kg apa ya. Aku lupa. Aku biasanya nimbang badan di apotek sih. Kalau kebetulan lagi disuruh beli obat sama Bu Ratri."
"Naikin 8 kg lagi, deh. Makan yang banyak. Tapi tetap harus olah raga, ya!"
"Siap 86, Bossku!" gurauku, pada lelaki ganteng di depanku itu.
"Aku di balkon, ya!" pamit Attaya kemudian, seraya meninggalkan meja makan.
"Oke. Entar aku susul." Aku menjawab sambil meneruskan makan malamku. Wah, kalau nafsu makanku sebagus ini, bisa gendut beneran aku. Habis gimana gak nafsu makan coba. Orang masakan Bik Asih enak-enak, sih. Nasi banyak, menunya banyak. Stok makanan di kulkas di kitchen set melimpah. Gak kayak di panti dulu, bisa makan sehari dua kali aja dah benar-benar bersyukur. Apalagi lengkap dengan sayur dan lauk. Makanya kami gembira sekali kalau ada pengunjung panti yang membawakan berbagai sayuran dan lauk untuk kami, selain beras tentunya. Karena itu artinya, kami makan besar.
Kebahagiaan kami akan berlipat-lipat, saat ada rombongan sebuah komunitas yang mengadakan bantuan sosial dan santunan dana di panti kami. Itu artinya, tak hanya sembako yang melimpah ruah, tapi juga amplop berisi beberapa lembar uang juga. Mau diliput, atau disiarkan ke mana saja, bukan urusan kami.
Segera setelah menyelesaikan makan malamku, gegas aku memberesi meja makan. Sisa makanan kumasukkan ke kulkas, kan lumayan besok pagi tinggal diangetin di microwave. Setelah kelar cuci piring, aku menyusul Attaya di balkon. Seperti biasa, dia merokok.
"Atta, kamu dah janji loh, besok pagi mau nganterin aku ke panti." Aku mengingatkan Attaya pada janjinya.
"Emang kapan aku bilang gitu?"
"Tadi di mall. Kamu jangan pura-pura amnesia, Attaya!"
"Beneran aku bilang gitu?"
"Attaya!"