webnovel

"Don't ignore it."

Di sebuah dapur tua yang menggores miskin kanvas dunia, seorang ibu rumah tangga menyeduh sebuah teh yang ia racik spesial untuk putri kesayangannya yang penuh dengan kejutan.

"Ibu, aku tidak mau berangkat"

Pagi itu, gadis kecil yang bagai malaikat bagi sang ibu ini mengulang pernyataannya hingga terbiasa sang ibu.

Berkali kali mereka berdua saling mengulang topik pembicaraan yang sama dengan sedikit modifikasi argumen yang lebih update.

"Berangkatlah lisa, apa kamu lupa janjimu pada ayah? " Sang ibu tersenyum sembari menaruh secangkir untuk putri mungilnya ini.

"Aku berjanji untuk belajar, bukan sekolah... " Lisa lagi-lagi menurunkan pandangan matanya yang kecewa, namun bukan pada sang ibu ataupun ayah yang telah pergi.

Sang ibu mendekati lisa dengan menarik kursi kayunya mendekati sisi meja makan yang lisa diami.

Ia mengelus lembut aliran rambut lisa, tak pernah lelah ia menanggapi semua kalimat lisa. Sejatinya ia paham akan kecerdasan putrinya ini.

"Apa yang ingin kamu lakukan di masa depan lisa? " Sang ibu menyuap sesendok nasi dengan sup favorit lisa.

"Lisa ingin menjadi guru"

Lisa membuka mulut mungilnya...

"Alasannya? " Sang ibu tersenyum

"Karena Lisa..." Lisa mengedepankan jari telunjuknya yang melesat di sebuah jendela.

....

Kota ini sangat indah, terlalu indah, terlalu sunyi, terlalu Banyak noise, terlalu MENCURIGAKAN.

Remaja berkulit cokelat berambut hitam lurus dan tipis setipis keinginannya untuk berangkat ke sebuah bangunan fisik yang dipuja sebagian manusia.

Matanya yang tajam memburu gerbang sekolahnya yang penuh kebohongan.

"Yas? " Seorang gadis cantik dan tinggi menepuk kiri pundaknya.

Ia lantas melempar pandangannya ke arah gadis itu.

"Tidak biasanya kamu sendirian Ming?, dimana Alun? "

Ilyas adalah seorang remaja yang terlalu frustasi dengan kecenderungan orang-orang dewasa yang sangat mengabaikan dunia mereka diluar sangkar.

Ia menghabiskan waktu istirahatnya untuk menjaga perpustakaan agar mendapatkan wewenang elit dalam politikknya untuk membaca segala buku yg tersedia.

"Dia masih mengantarkan adiknya berangkat ke sekolah"

Ilyas ingat jika hari ini umur adik Alun sudah memenuhi syarat untuk merasakan yang katanya dunia pendidikan.

"Tadi aku melihat sebuah pot bunga yang di rawat anak-anak panti asuhan" Ilyas berjalan beriringan dengan gadis bernama Ming.

"Lantas? "

"Itu bunga mawar, aku juga ingin merawat bunga mawar, tapi kali ini mawarnya berbeda, 5 detik lagi mawar ini akan memukul perutku"

*Bukghh

Ming memukul ilyas tepat 5 detik setelah ilyas mengucapkan huruf terakhir kalimatnya.

"Coba kalau Alun yang mengatakannya"

"Ilyas, jangan menguji kesabaranku" Ming adalah gadis yang mudah ditebak bagi ilyas.

Namun sebaliknya bagi Ming bahkan semua orang yang mengenal Ilyas yang aneh, tak pernah paham apa sebenarnya isi kepalanya.

15 menit kemudian bel sekolah berbunyi, fase ini berlanjut seperti biasa hingga sore hari.

Di tengah kota terdapat sebuah gunung yang dipagari ia berdiameter 2 km, dengan tingginya yang mencabik langit, terkadang ia tertutup awan ataupun kabut yang entah dari mana datangnya.

300 meter ke utara dari gunung itu, sebuah pertemuan rahasia diadakan, antara dua mafia besar kota ini.

Mereka berdua saling menatap di ruangan kecil yang berada di gedung tua.

"Miss lin, aku tak bisa mengerti sama sekali dengan maksud anda yang memajang kan dia dadu dengan angka empat yang sama ini" Pria berkacamata hitam dengan rambut pirang menghisap cerutu dan menurunkan beberapa derajat pandangannya ke arah wanita yang menghadapnya.

"Dan lagi kenapa warnanya merah? Hmmm? "

Lin hong yu, seorang pengusaha yang berhasil mendominasi pasar di sebagian tenggara benuanya telah lama berkonfrontasi dengan lelaki dari barat ini.

"8 anak buahku mati, bagian kiri lehernya robek dan di beberapa bagian tubuh mereka terdapat bekas tusukan seperti jarum, dan mereka semua bernasib sama"

Lin meneguk sebotol vodka dan akhirnya merebut cerutu milik lawan bicaranya.

"Dasar barbar, bagaimana jika aku memberikan informasi yang sama dan detailnya sama persis seperti yang kau ucapkan tadi? "

"Scott! " Lin menarik kerah baju pria ini.

Namun Scott tetap santai, bagaimanapun ia sangat mengenal musuh bebuyutannya ini.

"Old Cafe" Scott mengatakannya sambil menenangkan lin.

"Maksudmu Sekelompok orang yang gila itu melakukannya!? "

"Tentu tidak bodoh, jangan panggil mereka gila, mereka lebih profesional dari siapapun yang pernah aku kenal, dan tentunya dia pasti tahu sesuatu bukan" Scott menatap di salah satu sudut ruangan, yang gelap.

Seorang pria bertopeng hitam polos dan garis lurus horizontal duduk elegan di sebuah kursi kayu.

Lin dan Scott menodongkan pistol kearahnya.

"Bagaimana bisa dia ada disini? " Lin terkejut.

"Wahhh, sang raja terakhir selalu saja muncul untuk menghambat cerita ini berkembang ya" Scott tersenyum sinis.

"Aku hanya berkunjung, dan kupikir akan ada hal menarik dari pembicaraan dua manusia yang menggemaskan ini" Pria itu berdiri dan mendekati pintu keluar.

"Jangan ganggu Old Cafe, kalau kalian sadar akan kebodohan kalian, tataplah gunung yang ada ditengah kota seharian" Dan ia pergi.

Scott sampai gemetar, dia adalah lawan paling menakutkan baginya, nama, umur, kemampuan asal muasal, semuanya tidak diketahui.

Dan mereka berdua mengakuinya sebagai sang penyeimbang. Progres kota ini benar-benar seakan hasil dari campur tangan pria itu.

"Dia selalu saja sulit ditebak"

"Faith, sang pemimpin old cafe. Lin lupakan saranku tadi, lebih baik kita biarkan pria itu yang melakukannya"

"Aku mengerti maksud perkataannya" Lin menghisap kembali cerutu rampasan dari Scott.

"Walau aku lebih suka melakukannya sendiri".

Sore ini Ming bersama Alun menunggu Ilyas yang terlambat di sebuah cafe yang dipenuhi harumnya nostalgia.

Ming dan Alun duduk di pinggir jendela Cafe, entah mengapa Cafe yang teramat mahal ini menjadi langganan ilyas, walaupun sebenarnya mereka berdua mau datang karena Ilyas yang akan membayar.

" Ming, memangnya Dia pergi kemana? " Alun menyeruput segelas kopi.

"Aku juga tidak tahu, tapi meja ini sudah dia pesan"

Entah kapan dan saat apa ia datang

"Toilet, maaf jika terlambat"

Bagaikan hantu, Ilyas datang membawa tas penuh dengan buku, ia ingin menghabiskan waktunya dengan membaca.

"Sejak kapan kamu duduk disebelahku Yas?! !" Alun gemetar memegang cangkirnya.

"Sejak bulu hidung Ming jatuh dibawah hidung diatas bibirnya" Relfeks Ming mengelap wajahnya, namun semua itu hanya prank.

"Goblokkk!!!!!! "

Setelah derajat keramaian kafe itu naik, suasana kembali tenang dan Ilyas menikmati waktunya membaca buku dan secangkir kopi, sedangkan Ming dan Alun berbincang-bincang.

Old cafe memberikan ada pengalaman bagaimana suasana dunia sebelum habis tergerus arus globalisasi, tempat dimana manusia bisa mengingat kembali apa yang pernah mereka lupakan.

Old Cafe

Pukul 23.23

Tutup

.

23.24, seorang detektif profesional berjalan bersama asistennya, sebuah tempat terpencil disebuah subway terbengkalai.

Toko kecil yang misterius buka setiap pukul 23.23 dan tutup pukul 11.11. Tak ada yang tahu mengenai keberadaan tempat ini kecuali mengetahui syaratnya.

"Angie...??, tempat ini horror" Sang asisten harus menerima efek paranoid yang tidak ia inginkan.

Beberapa langkah lagi tempat redup cahaya yang menjadi lokasi bersinggah toko tujuan mereka.

Namun ada tamu mengejutkan yang Angie rasa lebih misterius dari pada toko itu.

Duduk, tenang, memakai baret, dan menghisap rokok, wajahnya tertutup koran yang ia sendiri pegang.

"Hei, anak muda sepertimu tidak seharusnya berada di tempat ini" Angie Sang detektif merebut koran yang remaja itu pegang, ia juga merampas sebatang rokoknya dan kemudian ia hisap sendiri.

Tatapan pemuda itu sungguh aneh, namun mereka berdua sudah mengenalnya semenjak insiden meledaknya salah satu gedung utama milik Scott.

"Ilyas!!!!, dasar bocah bandel!, Kau besok masuk sekolah bocah" Jill asisten Angie menarik-narik pipi Ilyas.

"Awwh"

Tanpa basa-basi Angie menyuruh Ilyas pergi, namun Ilyas adalah karakter yang suka memberontak.

"No" Satu kata dua huruf satu konsonan dan satu vokal.

Menghela nafas panjang, wanita 35 tahun yang masih perawan ini selalu saja sulit mengerti remaja 18 tahun ini.

"Jadi apa maumu? "

"Aku ingat sebuah cerita dimana karakter utamanya berimajinasi mengenai gadis impiannya dan mengejar delusi itu, jauh di masa lampau aku juga mengalami hal yang sama dengannya"

Angie dan Jill masih menyimak penjelasan Ilyas, karena untuk mengerti dirinya semua kalimatbya harus dicernadicern dengan baik.

"Semuanya berubah menjadi nyata saat ledakan dahsyat sebuah gedung merobohkan kontruksi abstrak dari imajinasi ku, seorang wanita kala itu benar-benar membuat ku terpesona, ekspresi saat dia serius begitu tajam, sulit untuk aku mengerti diamnya wanita itu terlepas dari tersembunyi nya wajah aslinya, misterius membuat lonjakan listrik di otakku tak karuan, aliran darahkh seperti Niagara"

Ilyas mendekat dan memegang dagu Angie, Jill kaget dan syok.

"Jadi, menurutmu apakah dia itu masih delusi untukku"

Angie menanggapinya, memegang ganti dagu Ilyas.

"Bangunlah dari mimpimu yang indah"

Ilyas merebut kembali rokoknya tanpa Angie sadari, dan kembali duduk,

"Menyerahlah little Holmes, Mana mungkin kau bisa mengejarnya" Ilyas menghembuskan asap rokoknya.

"Huh, berhentilah ikut campur nak"

Ilyas berdiri dan meninggalkan tempat itu

"Sedikit nasihat dariku, jika kau tak bisa mengerti dirimu sendiri kau takkan mengerti dia, selamat malam My Lady little Holmes Dulcinea"

seandainya satu butir dadu berputar bagai rotasi bumi diatas kepalamu, apa yang terlintas dipikiranmu?

AeTeAcreators' thoughts