webnovel

BAB 6

Mila’s Pov

Aku merasa keadaanku sudah jauh lebih baik dibandingkan hari-hari sebelumnya. Entahlah kenapa kemarin aku bisa sampai jatuh pingsan, padahal seperti yang sering dikatakan oleh Mamaku, aku ini orang yang jarang sekali sakit. Hari ini aku memutuskan untuk pergi ke sekolah, aku merindukan anak-anak didikku. Sebenarnya, menjadi tenaga pengajar disana hanyalah hobiku. Sebelumnya, aku ini seorang lulusan desainer. Tapi, aku sama sekali belum pernah menerapkan ilmu yang ku dapat selama duduk dibangku kuliah. Untunglah, keluargaku tidak ada yang merasa keberatan dengan profesiku yang sekarang.

“Kamu mau kemana Nak?” Tiba-tiba Ayahnya Vano menghentikan langkahku.

“Mila mau ke sekolah yah.” Jawabku.

“Kamu udah sehat? Kalo belum, mendingan kamu istirahat aja. Jangan dipaksain.” Seru Ayah Vano.

“Mila bosan yah kalo dirumah terus. Mila juga udah sehat kok.” Jawabku meyakinkannya.

“Yaudah kalo gitu berangkat bareng Ayah aja. Ayah juga mau ke kantor karena Vano sedang mengurusi bisnisnya bersama temannya.” Ajak Ayahnya Vano.

“Yaudah kalo Ayah gak keberatan. Mila bareng Ayah aja.” Ucapku. Lumayan hitung-hitung hemat ongkos hahaha..

Selama di perjalanan kami banyak berbincang, ini kali pertamanya aku ngobrol banyak dengan Ayahnya Vano. Ternyata Ayahnya orang yang menyenangkan, tidak heran jika keluarga mereka terlihat seperti keluarga yang harmonis.

“Apa Vano sering merepotkanmu?” Ayah tiba-tiba membuka pembicaraan mengenai Vano.

“Oohh.. gak kok yah. Vano perhatian banget sama Mila.” Jawabku.

“Jujur saja, Ayah sempet gak nyangka kalo kalian itu bisa menikah secepat ini.” Ujarnya.

“Maafin kami yah.” Ucapku merasa bersalah karena telah terlalu banyak membohonginya.

“Oh tidak tidak. Bukan itu maksud Ayah. Kamu tahu, bahkan sejak lama Vano itu sudah sangat mencintai kamu. sejak pertama kalian bertemu di bandara, eh ternyata bertemu lagi di acara amal………..” Ayahnya Vano mulai membongkar semuanya. aku menganga hampir tidak percaya dengan semua cerita ayah Vano, bagaimana bisa Vano mencintaiku sedangkan hampir setiap hari dia bersikap dingin padaku. Bahkan dia berulang kali mengatakan bahwa dia sangat membenciku.

“Nenarkah semua itu yah?” Tanyaku tidak percaya.

“Iya.. Makanya saat kalian kembali ke rumah dan mengatakan bahwa kalian sudah menikah itu sangat membuat Ayah terkejut. Hebat juga Vano bisa meluluhkan hatimu disaat kamu sudah memiliki kekasih.” Jelas Ayah.

“Vano salah paham pada Mila yah, Mila memang belum memiliki kekasih.” Aku tahu yang dimaksud Vano adalah Deni.

“Oo memang belum. Ya walaupun kalian menikah dnegan cara yang salah, tapi ayah tetap bangga punya menantu kayak kamu.” Ungkapnya.

“Makasih yah.” Ucapku.

“Oh iya, dan kamu tahu. Vano sampai bela-belain belajar bahasa isyarat untuk bisa menyatakan perasaannya padamu, karena dia mengira kamu itu tidak bisa mendengar dan bicara hahahaha…”

“Hahahaha……” Kami tertawa bersama mengolok kekonyolan Vano. Benarkah dia mencintaiku sedalam itu? Tapi mengapa dia sembunyikan perasaan itu begitu rapat dan hanya menunjukkan kebenciannya padaku? Aku tidak akan membiarkan ia menyiksa dirinya terus karena kesalah pahaman ini. Walaupun sekarang aku belum mencintainya, jika benar dia mencintaiku, aku akan belajar untuk mencintainya juga. Baiklah, sepulang dari sekolah nanti, akan ku temui dia. batinku.

***

“Ngapain kamu kesini? Nanti kamu pingsan lagi.” Ucapnya ketus saat aku menemuinya di kantornya yang ia bangun bersama sahabat-sahabatnya. Sebelumnya aku telah menanyakan alamat kantornya pada Ayahnya, syukurlah aku menemukannya dengan mudah.

“Aku hanya ingin mengantarkan kue ini untukmu. Kamu suka kue kan?” Jawabku.

“Beli dimana?” Tanyanya menyelidik.

“Enak aja beli. Ini aku bikin sendiri khusus buat kamu.” Jawabku percaya diri sambil membuka kotak yang ku bawa.

“Dari tampilannya terlihat sangat menarik, tapi apa ini bisa dimakan? Atau jangan-jangan kamu sudah menaruh racun ya didalamnya?” Ujarnya sembarangan. Jelaslah menarik, aku kan seorang desainer hahaha ngehias kue mah gampang. Sebenarnya ngehias kue juga gak perlu seorang desainer, ibu-ibu yang sering bikin kue juga pasti lebih amazing toppingnya.

“Heh.. aku itu gak sekriminal yang kamu pikirkan. Kalopun kamu mati abis makan kue ini, ya itu artinya memang udah ajal kamu.” jawabku. “Ayo dicobain, aku udah capek-capek masakin buat kamu. masak cuma diliatin aja.” Gerutuku.

“Lagian siapa yang nyuruh kamu bikin ginian. Gak ada kan?”

“Yaudah kalo gak mau, aku bawa pulang lagi aja. Biar ntar kalo ditanya sama ibu kamu kenapa dibawa pulang lagi aku bilang aja kamu gak mau makannya.” Ancamku.

“Yaudah sini sini, kalo aku mati kamu masuk penjara. Disini full cctv.” Jelasnya. Vano langsung mencicipi kue buatanku, aku berharap dia suka dengan kue yang ku buat untuknya.

“Uweeekkk… apa sebegitunya kau membenciku? Hingga kamu mau meracuniku dengan makanan seperti ini?” Gerutunya sambil memuntahkan kembali kue yang ia makan ke tisu dan langsung meminum air putih yang ada di mejanya.

“Kenapa?” Tanyaku penasaran.

“Kamu cicip aja sendiri.” Serunya. Akupun langsung mencicipi kue itu juga. Tadi pas memasaknya aku memang tidak mencicipnya, aku hanya mengikuti semua prosedur yang ada di internet. Dan fix, rasanya abstrak banget, yang jelas mungkin aku kurang memasukkan gulanya sehingga kuenya hampir tidak ada rasa manis disana. Atau mungkin juga aku kelebihan memasukkan bahan yang lainnya sehingga membuat rasanya menjadi aneh seperti ini.

“Hahahahha…. Ekspresi kamu lucu banget. Abisin dong, kan kue bikinan kamu.” Ledeknya.

“Padahal aku udah ikutin prosedurnya, kok masih ancur gini ya rasanya.” Gerutuku.

“Segitu gak bisa masaknya ya kamu.. hahahha” Vano tertawa begitu lepas. Aku sangat kesal melihat dia begitu bahagia meledekku, ku ambil kue yang ku bawa dan ku oleskan pada wajahnya, sehingga sebagian wajahnya kotor karena cream kue yang ku bawa.

“Hahaha… kamu lebih tampan kalo gini.” Balasku meledeknya.

“Waahh kamu bener-bener ya. Kamu belum tahu siapa aku. Nih rasain pembalasanku.” Diapun ingin membalas perbuatanku, aku berlari berlarian didalam ruangannya berusaha untuk menghindar dari terkamannya dan terjadilah adegan saling olesi dengan cream. Ini pertama kalinya aku melihat Vano tertawa begitu lepas. Tiba-tiba pintu terbuka dan masuklah dua orang laki-laki, mungkin mereka sahabat Vano. Kami berdua jadi merasa tidak enak, karena seperti anak kecil yang sedang bermain.

“Oohh maaf ya kami mengganggu kalian.” Seru salah seorang diantara mereka berdua.

“Oh gak pa-pa. Ayo masuklah.” Ajak Vano. Vano langsung meraih kotak tisu dan mengambilnya beberapa untuknya lalu kotak tisu tersebut ia berikan padaku untuk membersihkan bagian yang terkena cream.

“Dia siapa Van?” Tanya temannya Vano.

“Oh. Kenalin dia Mila.” Jawab Vano.

“Mila yang sering lo ceritain itu ya?” Tanya mereka bersamaan.

“Kapan aku pernah bercerita tentang dia? Mungkin yang kalian maksud adalah Mila Ibu kantin dibelakang kantor kita ya. Lihatlah Mila, bahkan mereka menyamakanmu dengan Ibu kantin disini. Namamu memang sangat pasaran.” Ujar Vano menjengkelkan.

“Ibu kantin??? Sejak kapan….”

“Sudahlah lupakan. Oh iya Mila ini sahabatku, David dan Jack. Mereka juga pemilik kantor ini.” Jelas Vano.

“Hai.. senang bisa kenal kalian.” Sapaku.

“Loh.. Mila bisa bicara?” Mereka terlihat sangat terkejut. Mungkin mereka juga salah keberapa korban dari kesalah pahaman Vano. Vano memang orang yang sering salah paham, apalagi padaku.

“Yah bisa lah. Kalian ini ngomong apa. Maaf ya Mil, mereka memang agak sedikit tidak waras.” Ujar Vano. Sekarang, aku bisa sedikit membenarkan semua cerita Ayah Vano. Aku tersenyum melihat Vano yang selalu bertingkah seolah membenciku.

***

Sebelum pulang ke rumah, aku berencana untuk mampir dulu ke pasar untuk membeli keperluan dapur. Kali ini aku tidak pergi sendiri karena ada Vano yang menemaniku. Awalnya ia enggan menemaniku, tapi akhirnya dia mau menemaniku saat mengetahui bahwa aku akan pergi sendirian kesana. Dia manis sekali, meski angkuh tapi dia masih berusaha untuk melindungiku. Ini bukan pertama kalinya aku pergi ke pasar, sebelumnya aku sering ikut bersama Mama jika Mama sedang ingin belanja keperluan dapur. Jadi, sedikit banyaknya setidaknya aku tahu beberapa keperluan dapur yang penting meskipun aku tidak pandai dalam memasak. Sebenarnya ibunya Vano juga tidak menyuruhku untuk ke pasar, tapi aku saja yang ingin pergi.

“Kamu itu memang cewek aneh ya, dari sekian banyak perempuan itu mana ada yang mau pergi ke pasar kayak gini. Lagian supermarket kan banyak, kenapa harus milih pasar sih.” Gerutu Vano.

“Sudah diam saja, Papaku saja tidak pernah mengeluh saat menemani Mamaku kepasar.” Ucapku.

“Itu karena Papamu takut istri.” Ujarnya.

“Heiii… sekali lagi kamu bilang hal yang buruk tentang orang tuaku, ku jadikan kamu ayam potong disini. Lagian siapa suruh mau nemenin aku, aku kan tidak memintanya.” Ungkapku kesal.

“Hei Nona, jika aku tidak menemanimu dan terjadi sesuatu hal yang buruk padamu. Maka tidak hanya keluargamu, tapi keluargaku juga aku menggantungku.” Jelasnya.

“Yasudah, diam saja. Jangan banyak komentar.” Seruku, aku meneruskan langkahku dengan langkah yang kesal. Aku tidak suka ada yang mengomel-ngomel padaku, aku sama sekali tidak memperhatikan jalan hingga aku hampir saja di tabrak oleh seseorang yang berjalan dengan cepat ditengah keramaian pasar dan sedang membawa karung beras di pundaknya. Vano menarikku agar aku tidak terkena senggolan karung beras itu.

“Mila awas!”

Aku merasa sedikit gugup saat tubuhku terhimpit dengan Vano seperti itu nyaris tidak berjarak. Kurasakan jantung Vano juga berdetak tidak beraturan saat tangan kananku tidak sengaja menyentuh dadanya karena reflex saat ia menarikku ke arahnya.

“Sudah kuduga pasti akan begini kalo ke pasar. Cepat selesaikan belanjamu agar kita segera pulang.” Ujarnya menyadarkanku yang masih menatapnya. Akupun kembali melanjutkan berbelanja. Setelah semua keperluan dapur sudah ke beli dan telah dibawa Vano ke mobilnya, kamipun segera pulang.

“Lain kali suruh Bibik saja yang belanja ke pasar. Tidak perlu kamu yang repot.” Serunya saat aku telah menutup pintu mobilnya.

“Kamu mengkhawatirkan aku ya?” Tanyaku penasaran.

“Jangan berbesar kepala. Aku hanya tidak ingin kau membuatku repot lagi seperti hari ini.” Jawabnya datar. Dasar, dia tidak pernah mau menunjukkan kalau dia mencintaiku. Aku berpikir jangan-jangan mereka salah telah mengatakan bahwa Vano mencintaiku.

“Oke baiklah.” Jawabku singkat tanpa menoleh padanya.

***

Aku menggambar wajah Vano diatas kertas gambaranku, ku buat wajahnya terlihat sangat buruk. Aku merasa sangat kesal padanya karena kejadian di pasar tadi, memangnya dia siapa? Seenaknya saja mengaduk-ngaduk emosiku seperti ini. Belum lagi jika aku mengingat nasibku yang masih terjebak dalam pernikahan palsu dengannya, hal itu semakin membuatku kesal.

“Jadi begini caramu melampiaskan kekesalanmu?” Suara Vano mengejutkanku, spontan saja aku berbalik badan melihatnya dan menyembunyikan gambaranku.

“Sedang apa kau disini?” Tanyaku ketus padanya.

“Hei.. jangan lupa kalau ini adalah kamarku, jadi terserah aku dong mau ngapain.” Ungkapnya. Aku hanya terdiam mendengar perkataannya, ya dia memang benar. “Menarik juga, kau kesal padaku lalu kau mulai menggambar. Itu artinya aku ini membangkitkan semangatmu untuk menggambar. Coba perlihatkan gambaranmu.” Pintanya sambil menadahkan tangannya. Hal yang bodoh jika aku memberikan kertas gambaranku padanya.

“Gambaranku jelek, kau tidak perlu melihatnya.” Ujarku menolak.

“Justru karena jelek, maka aku bisa leluasa mengejek hasil karyamu. Malang sekali objek yang kau jadikan objek gambaranmu.” Celotehnya meledekku.

“Kau benar malang sekali, itu artinya kau yang malang.” Aku berlalu hendak meninggalkannya keluar kamar dengan membawa kertas gambaranku, namun dia berhasil meraih tanganku hingga aku tertarik ke arahnya dan ia menghimpitku didinding kamar.

“Apa kau menjadikanku objek gambaranmu?” Tanyanya menyelidik dengan menaikkan satu alisnya. Aku tidak menjawab pertanyaannya. Dengan posisi yang seperti ini, aku tidak bisa untuk melarikan diri lagi. Tentu saja tenaganya jauh lebih kuat daripada aku. Dengan sekali tarikan, Vano berhasil meraih kertas gambaranku. Ada rasa geli ingin tertawa saat aku melihat ekspresi Vano yang terkejut saat melihat hasil gambaranku. Vano terlihat sangat buruk dalam gambaran itu.

“Apa wajahku seburuk ini hingga kau menuangkannya dalam gambaran seperti ini?” Tanyanya tidak percaya. Aku hanya menahan tawaku. “Kau..kau ini.. masak wajahku seperti ini.” Vano beralih menuju cermin dan membandingkan wajahnya dengan hasil lukisanku. Konyol sekali. aku tidak dapat menahan tawaku lagi, hingga tawaku pecah saat itu juga. Vano menatapku lekat dari cermin, spontan saja aku menghentikan aktivitas tertawaku. Vano berjalan menghampiriku dengan tatapan yang aku sendiri tidak tahu maknanya. Vano kembali menghimpitku didinding.

“A..apa yang ingin kau lakukan?” Tanyaku gugup.

“Apakah kau gugup?” Vano tersengir seolah mendapatkan kemenangan. “Aku hanya ingin membuktikan apakah pesonaku tidak akan membuatmu jatuh hati padaku? Apakah dalam bayanganmu aku memang seburuk seperti hasil karyamu, atau seperti seorang pangeran yang kau nantikan.” Vano semakin bicara mengaur.

“Pesona apa yang kau bicarakan? Kamu itu tidak punya pesona sama sekali.” Jelasku menutupi rasa gugupku.

“Benarkah? Kalau begitu ayo kita buktikan, setelah ini apa kau akan bisa melupakan pesonaku?” Vano mendekatkan wajahnya padaku, alih-alih seperti ingin menciumku. Aku memejamkan mataku ketakutan, tidak, bukan first kiss seperti ini yang aku harapkan. Batinku.

“Apa kamu berharap aku menciummu?” Spontan aku membuka mataku, terlihat raut wajah Vano yang sedang mengolokku. Vano memang gila.

“Si..si..siapa yang berharap begitu. Lepaskan aku, masih ada banyak pekerjaan yang harus ku selesaikan.” Aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

“Tidak. Aku tidak akan melepaskanmu sebelum kamu memperbaiki lukisan wajahku di kertas gambaranmu. Aku merasa tidak nyaman dengan lukisan itu. Gambarlah sesuai dengan kenyataan, aku ini laki-laki yang tampan.” Ungkapnya percaya diri. Tapi dia konyol sekali, hanya dengan sebuah lukisan wajahnya yang terlihat buruk dan hal itu mempengaruhinya.

“Baiklah akan ku perbaiki nanti.” Ucapku singkat.

“Sekarang bukan nanti.” Terdengar sangat memaksa, tapi aku tidak punya pilihan lain selain menuruti keinginannya. Jika tidak, maka dia akan merepotkanku sepanjang hari. Oh tidak, mungkin lebih tepatnya sepanjang hidupku.

“Oke oke. Aku perbaiki sekarang. Tapi lepaskan dulu, bagaimana aku bisa menggambar jika kau menghimpitku seperti ini?” Gerutuku. Vano kemudian melepaskanku dari cengkramannya. Saat ingin menggambar ulang, aku kehilangan pensilku. Mungkin terjatuh saat aku terkejut karena kedatangan Vano yang secara tiba-tiba tadi. Akupun berusaha mencarinya.

“Ini alasanmu saja, bilang saja kamu gak mau benerin tuh gambar.” Gerutunya.

“Eehh.. Salah siapa ngagetin aku?”

“Orang yang kaget itu yak arena dia lagi buat kesalahan. Ya kayak kamu, makanya kaget. Udah buruan cari, aku gak mau tau gambaran itu harus berubah saat ini juga.” Perintahnya. Aku mendengus kesal. Akupun kembali mencari pensil itu.

“Udahlah nanti beli pensil baru aja ya. Kita pending dulu gambarannya.” Bujukku.

“Pensilnya hanya jatuh kan, bukan hilang ditelan alam? Ayo cari lagi. Aku tidak ingin mendengar alasan apapun.” Bantahnya. Buseett dah udah kayak lagu dangdut aja hilang ditelan alam.

“Aku menemukannya!” Seruku kegirangan saat aku melihat pensil tersebut ternyata menggelinding ke bawah ranjang. Aku segera merangkak ke bawah sana mencoba meraih pensil tersebut. Saat aku berhasil mendapatkan pensil tersebut aku hendak ingin keluar dari bawah ranjang. Tapi tiba-tiba saja ada gejolak rasa ketakutan yang teramat, aku sendiri tidak mengerti apa yang terjadi padaku. Rasa takutku semakin mencuak saat kaki Vano melangkah mendekati ranjang. Aku seperti mengingat sesuatu, aku pernah mengalami hal ini. Aku memejamkan mataku, mencoba mencari bantuan disana. Aku merasa bahwa aku sedang dalam bahaya saat itu.

“Tolong.. tolong aku.. selamatkan aku.” Aku merintih ketakutan. Hanya kalimat itu yang mampu aku ucapkan bahkan akupun tidak menyadari apa yang sedang terjadi disekitarku saat itu.

“Tenanglah, aku disini. Apa yang membuatmu takut? Katakan padaku.” Suara Vano menyadarkanku, perlahan aku membuka mataku dan aku menyadari bahwa saat itu aku sudah berada dalam pelukan Vano. Wajahnya terlihat begitu cemas. Tanpa mengatakan apapun, aku kembali memeluknya.

“Apa yang terjadi padamu? Apa kamu melihat serangga dibawah sana hingga membuatmu ketakutan seperti ini?” Tanyanya kemudian. Aku menggelengkan kepalaku.

“Aku takut Van, aku merasa ada orang yang ingin membunuhku. Langkah kaki itu. Aku takut Van.” Aku mencengkram kuat lengan bajunya.

“Jangan takut Mila. Aku disini bersamamu, tidak ada yang ingin menyakitimu.” Jelasnya sambil mengusap lembut rambutku.

“Aku melihat wajah Papa disana. Tapi kenapa aku begitu ketakutan? Aku gak ngerti apa yang terjadi padaku Van. Ini kedua kalinya aku merasa seperti ini.” Jelasku.

“Mungkin saja dulu kamu pernah main petak umpet sama Papa kamu, terus kamu sembunyi di kolong tempat tidur, terus ada serangga dibawah sana. Jadi kamu ketakutan seperti ini. Tenanglah tidak ada apa-apa, tidak akan ada yang menyakitimu.” Ucap Vano menenangkanku.

“Mungkin saja begitu.” Ucapku singkat.

“Mari ku bantu berdiri, kamu butuh istirahat.” Vano menuntunku ke kasurnya.

“Aku akan memperbaiki gambaranku.”

“Lupakan soal gambaran itu. Aku hanya menggodamu, tapi jangan di ulangi lagi ya.” Serunya sambil tersenyum hendak meninggalkanku sendirian dikamar. Aku berusaha menahannya dengan meraih tangannya. Vano pun mengernyitkan dahinya padaku.

“Apa kamu mau bekerja sama denganku?” Tanyaku.

“Kerja sama?” Vano mengangkat sebelah alisnya.

“Iya kerja sama. Aku akan membuktikan bahwa aku dan Deni tidak memiliki hubungan apapun, dan Deni juga bukan laki-laki yang cukup baik untuk kak Indi. Aku juga tidak ingin Deni menyakiti kak Indi lebih jauh lagi. Kita harus menghentikan perbuatannya. Dia tidak mencintai kak Indi, dia hanya ingin harta kalian.” Jelasku.

“Mengapa aku harus percaya padamu?” Tanyanya kembali.

“Tidak.. kamu tidak harus percaya padaku. Tapi lakukan semua ini demi kakakmu. Setelah itu baru kau putuskan harus percaya padaku atau tidak.” Jawabku.

“Lalu?”

“Aku tidak bisa mengungkapkan semua kebenarannya sendirian. Itu sebabnya aku butuh bantuanmu.” Pintaku.

“Naiklah. Jika kau menjebakku dalam hal ini, maka tamatlah riwayatmu.” Ancamnya.

“Baiklah aku setuju. Itu artinya kita deal kan?” Ujarku tersenyum sambil mengulurkan tanganku.

“Deal.” Vano menjabat tanganku.