webnovel

BAB 1

Alvano Adibrata’s Pov

Aku segera bergegas saat aku sudah mendapatkan koperku. Yeah, hari ini adalah hari kepulanganku ke Indonesia setelah menempuh perjalanan kurang lebih selama 14 jam dari London. Perihal bisnislah yang memaksaku untuk pergi ke London. Aku seorang CEO disalah satu advertising company di Indonesia, bisnis yang sudah dibangun oleh ayahku sejak 32 tahun yang lalu. Tidak hanya sebatas itu, aku juga menggeluti bisnis jewelry yang ku bangun bersama dua sahabatku karena aku bukan tipe orang yang mudah merasa puas hanya dengan harta orang tuaku.

Aku sudah tidak sabar untuk kembali memegang predikat orang ter-on time. Aku, Adikku, dan Ayahku selalu bersaing dalam hal siapa yang lebih dulu tiba di rumah. Apalagi hari ini adalah hari ulang tahun ibuku. Adikku pasti sudah lebih dulu tiba dari Dubai, sedangkan Ayahku pun pasti sudah bergegas pulang ke rumah saat mengetahui pesawatku telah mendarat. Tapi seorang Alvano Adibrata tidak pernah menyerah, aku pasti bisa tiba lebih dulu daripada mereka berdua. Aku semakin mempercepat langkahku, namun sialnya aku tidak sengaja malah menabrak seseorang.

“Oh sorry sorry.. Aku gak sengaja.” Ucapku pada seseorang yang ku tabrak. Aku berpikir pasti ia akan mengomeliku habis-habisan. Ia menoleh ke arahku, ternyata aku menabrak seorang bidadari. Parasnya terlihat jelita, matanya yang coklat, rambutnya yang coklat kehitaman nan panjang, kulitnya yang putih mulus, dan senyumnya yang manis menambah pancaran kecantikannya. Aku sudah hampir berkeliling dunia, namun belum pernah aku bertemu wanita emm lebih tepatnya mungkin gadis sepertinya yang mampu membuat jantungku berdegup tidak karuan. Aku manusia lebai bukan hahaha…

“Maaf, aku gak sengaja.” Aku kembali mengulangi ucapanku. Gadis itu hanya tersenyum padaku tanpa mengatakan sepatah katapun, lalu kembali meneruskan langkahnya meninggalkanku yang masih berdiri mematung menatapnya dari belakang. Aku tersenyum simpul dan sedikit menggaruk kepalaku yang tidak gatal, lalu kembali meneruskan langkahku memenuhi tujuan awalku untuk tiba di rumah lebih dulu.

Sesampainya di rumah, benar saja aku memang tiba lebih dulu dari pada Ayah dan Adikku. Tidak begitu lama aku menunggu kedatangan mereka akhirnya merekapun satu persatu tiba di rumah.

“Syukurlah mereka belum sampai, akhirnya aku bisa mengalahkan mereka berdua.” Seru Ayahku kegirangan saat memasuki pintu rumah.

“Eittsss.. Ayah salah. Aku sudah tiba lebih dulu dari ayah.” Sahut Adikku dari balik pintu dalam rumah.

“Baiklah setidaknya kali ini Ayah menang dari Vano.” Jawab Ayah percaya diri.

“Tidak ada yang bisa mengalahkanku dalam hal ini.” Sahutku dari balik kursi tamu.

“Oohh ternyata anakku sudah tiba lebih dulu. Kemarilah, Ayah sangat merindukanmu.” Ucap Ayahku, aku pun segera menghampirinya dan memeluknya.

“Aku juga sangat merindukan Ayah.” Ungkapku.

“Aku gak di ajak nih?” Seru Indira yang mulai mengerucutkan bibirnya.

“Siapa yang gak ngajak? Kemarilah sayang.” Seru Ayah kemudian lalu memeluk Indira juga bersama denganku.

“Aku sangat menyayangimu Ayah.” Ungkap Indira.

“Ayah juga sangat menyayangi kalian.” Ucap Ayah. “Apa kali ini kamu pulang membawa calon menantu untukku Vano?” Tanya Ayah padaku.

“Ayolah Ayah berhentilah menanyakan sesuatu yang belum aku inginkan saat ini.” Jawabku.

“Mau kapan lagi? umurmu itu sudah dua puluh enam tahun.” Jelas Ayah.

“Indi aja baru pulang bulan madu, Ayah udah nyuruh aku nikah aja.” Gerutuku.

“Setidaknya kamu bisa kenalkan satu gadis pada kami Kak, selama ini kamu belum pernah membawa siapapun dihadapan kami.” Ujar Indira.

“Atau jangan-jangan kamu..” Ayahku pasti sudah mulai berpikiran yang aneh.

“Apa? Aku normal yah. Udah deh, nanti kalo aku mau nikah pasti aku kenalin juga sama kalian.” Jelasku.

“Baiklah. Lalu apa kalian sudah menemui Ibu kalian?” Tanya Ayah kemudian.

“Tidak. Meski aku tiba lebih dulu di rumah tapi tetap Ayah yang lebih berhak menemui Ibu lebih dulu.” Jawabku.

“Anak yang baik.” Puji Ayahku sambil mengusap bahuku, Ayahpun segera berlalu mencari istrinya dan kamipun mengikuti langkahnya hingga akhirnya kami tiba dikamarnya.

“Selamat ulang tahun istriku tersayang.” Seru Ayah lalu memeluk Ibuku. Aku dan Indira hanya menonton mereka berdua dengan berdiri sambil bersandar disisi pintu kamar mereka. Aku merasa sangat bahagia saat melihat Ibuku, meskipun ia bukan Ibu kandung kami tapi dialah yang telah mencurahkan kasih sayangnya dan juga telah membimbing kami sebagai seorang Ibu setelah Ibu kandungku meninggal dunia sejak aku duduk di bangku kelas dua SD.

“Kenapa kalian hanya berdiri disana? Apa kalian tidak merindukan Ibu kalian ini?” Seruan Ibuku membuyarkan lamunanku. Aku dan Indira segera memeluk Ibu.

“Selamat ulang tahun Bu.” Ucap Indira.

“Selamat ulang tahun Bu.” Timbalku.

“Terima kasih anak-anakku tersayang. Ibu sangat bahagia sekali kalian udah pulang.” Ungkap Ibu dan kini mulai menitikkan air matanya.

“Jangan menangis Bu, indi juga akan ikut menangis jika Ibu menangis.” Ucap Indira sambil menyeka air mata Ibu.

“Ini airmata bahagia Nak, Ibu sangat bahagia punya dua anak seperti kalian. Meski kalian bukan lahir dari Rahim Ibu, tapi Ibu sangat menyayangi kalian, selamanya kalian akan menjadi anak Ibu. Ibu tidak punya siapa-siapa kecuali kalian Nak.”

“Ibu ini bicara apa? Suatu hubungan tidak bisa hanya diukur sebatas hubungan darah, kasih sayang Ibu selama ini sudah jauh lebih membuktikan bahwa Ibu adalah Ibu kami yang terbaik di dunia.” Jelasku.

“Katakan pada kami, Ibu mau hadiah apa?” Tanya Indira.

“Ibu tidak mau apa-apa. Kalian ada disini bersama Ibu itu sudah menjadi hadiah terindah bagi Ibu.” Jawab Ibu tersenyum. “Oh iya, setelah ini ayo kita pergi ziarah ke makam Ibu kalian. Kita juga harus mengucapkan selamat ulang tahun padanya.” Ajak Ibu kemudian. Mereka memang memiliki tanggal kelahiran yang sama, hanya saja beda tahun. Ibu kandungku 2 tahun lebih tua daripada Ibu sambungku. Kamipun mengangguk dan tersenyum padanya.

***

“Oh ayolah Dek, kenapa kamu harus memintaku untuk menemanimu ke tempat seperti ini? Kakak harus bekerja.” Gerutuku enggan turun dari mobil yang ku kendarai.

“Ya Allah Kak, nemenin Adik sebentar aja udah gak mau. Sebentar aja, aku mau ketemu sama Bapak Kepala Sekolah disini. Ayo turun cepetan.” Jelas Indira memaksaku untuk ikut bersamanya masuk ke sebuah SLB di kotaku.

“Lagian kamu juga mau ngapain coba kesini, terus kenapa gak minta ditemenin sama suami kamu aja.” Aku semakin menggerutu meski aku mengikuti langkah kaki Indira.

“Denny itu lagi kerja. Sebentar saja, aku mau bicarain soal acara amal untuk anak-anak disini.” Jelasnya kembali.

“Kakak kan juga harus kerja.” Jawabku.

“Sudah jangan cerewet. Ikut saja.” Seru Indira.

“Kira-kira jam segini Kepala Sekolahnya ada gak ya?” Tanya Indira pada dirinya sendiri.

“Memangnya kamu belum janjian?”

“Sudah, aku udah ngirim sms sama Kepala Sekolahnya. Soalnya ditelpon gak di angkat. Tapi sms aku gak dibales.” Jelasnya.

“Cuma sms aja? Ya Allah dek, itu namanya bukan janjian. Bisa-bisa kita jadi buang-buang waktu kemari.” Gerutuku. “Kamu duluan saja, Kakak harus menelpon ke kantor dulu.”

“Baiklah, jangan lama ya.”

Aku mengangguk dan mulai merogoh kantong celanaku mencari ponselku disana. Saat aku hendak men-dial sekretarisku, aku tidak sengaja melihat gadis yang ku temui saat di bandara. Gadis yang ku tabrak dan gadis yang mampu membuat jantungku berdetak kencang. Ia sedang berjalan di koridor Sekolah hendak memasuki suatu ruangan.

“Hallo Pak, ada yang bisa saya bantu?” Suara jeje sekretarisku dari seberang sana.

“Tidak jadi, nanti saja.” Akupun segera mengikuti gadis itu dan mengakhiri panggilanku sebelum menyampaikan niatku menelpon.

Saat aku berhasil menemukannya, aku mengintip dari ujung jendela ruangan itu agar ia tidak melihatku. Ternyata dia seorang guru di Sekolah ini. Aku semakin senyum-senyum tidak karuan dibuatnya, namun senyumku berangsung memudar saat ku lihat ia menggunakan tangan dan mimik wajahnya untuk berkomunikasi dengan seorang wanita yang bisa dikatakan seumuran dengan Ibuku didalam sana. Apa dia tidak bisa bicara dan mendengar? Batinku. Sesaat kemudian wanita itupun keluar dari ruangan tersebut. Aku kembali mengamatinya, dia terlihat begitu sederhana dan bahagia mengajar didalam sana membuatku menghancurkan dinding apapun yang menghalangi perasaanku padanya. Aku menyukai gadis itu, percaya tidak percaya mungkin dia jodoh yang dikirimkan Tuhan untukku. Aku tidak perduli dengan kekurangan yang ia miliki, cintaku saja sudah cukup untuk membuatku bahagia bersamanya. Aku segera berlari menyusul Adikku menemui Kepala Sekolah.

“Indi.” Seruku dengan napas yang sedikit terengah karena aku berlari menuju ke ruangan Kepala Sekolah.

“Kakak itu darimana saja? Lama sekali menelponnya.”

“Dek, Kakak mau menjadi donatur tetap di Sekolah ini dan menjadi sponsor dalam acara ini.” Ungkapku.

“Benarkah? Aaahh Indi bahagia sekali.” Ujar Indira.

“Waah sponsor kita bertambah satu lagi, semoga acara ini berjalan dengan lancar dan dapat bermanfaat untuk anak-anak disini.” Seru Bapak Kepala Sekolah.

“Bahkan saya mau jadi sponsor tunggal untuk acara ini Pak.” Ucapku antusias.

“Bukannya tadi Kakak gak mau ikut kemari? Kok sekarang malah jadi berubah pikiran gini?” Tanya Indira heran.

“Itukan tadi.” Jawabku cengengesan.

***

Sejak hari itu, aku mulai memperlajari bahasa isyarat agar aku dapat berkomunikasi dengan gadis itu. Sangat sulit sekali mempelajarinya, tapi aku yakin aku pasti bisa menguasainya. Setidaknya aku bisa mengutarakan padanya bahwa aku mencintainya.

“Eehh kamu ngapain kayak gitu?” Tanya David salah satu sahabatku.

Aku tidak menghiraukan kedatangannya keruanganku, aku tetap fokus pada buku yang sedang aku lihat dan sibuk menghapal beberapa gerakan isyarat.

“Widiihh gila, kita datang tapi gak dihiraukan sama sekali.” Timbal Jack yang juga merupakan sahabatku.

“Apa kalian tidak bisa membiarkanku belajar dengan baik?” Aku mulai memutar pandanganku pada mereka.

“Emang kamu belajar apaan lagi Van?” Tanya Jack bingung.

“Bahasa isyarat.” Jawabku singkat.

Mereka berdua terkejut mendengar jawabanku.

“Untuk apa kamu belajar gituan?” Tanya David penasaran.

“Agar aku dapat mengatakan isi hatiku pada seorang gadis.” Jelasku.

“HAH?” Seru mereka bersamaan. “Apa kita gak salah dengar?”

“Tidak.” Jawabku singkat.

“Van, kamu bisa mengutarakan isi hati kamu dengan mengajaknya ke tempat yang romantis dan mengatakan beberapa kalimat yang puitis, dulu aku juga gitu.” Jelas Jack.

“Iya benar Van. Kamu bisa bilang, wahai bidadariku aku sangat mencintaimu, aku bahkan rela mati untukmu. Eemm siapa nama gadis itu?”

“Aku tidak tahu namanya.” Jawabku.

“APA?” Teriak mereka bersamaan kembali.

“Bagaimana bisa kamu mau mengutarakan cinta dengan orang yang kamus sendiri tidak tahu namanya.” David memukul jidatnya.

“Aku hanya pernah bertemu dengannya dua kali.” Lanjutku.

“Dan kamu sudah bisa memutuskan bahwa kamu mencintainya? Aduh Van, apa kamu sefrustasi itu dalam hal mendapatkan pasangan sehingga harus seperti ini.” Ujar David kembali.

“Gini aja bro. Aku banyak nih temen cewek, cantik-cantik lagi. Kamu tinggal pilih mau yang mana.” Tawar Jack.

“Tapi gadis ini gadis yang berbeda. Entahlah aku juga tidak tahu bagaimana menjelaskan perasaanku saat aku bertemu dengannya.” Jelasku.

“Baiklah sekarang kamu singkirkan buku ini. Kita akan mengajarimu menyatakan cinta dengan baik dan dengan kalimat yang romantis.” Seru David.

“Tapi itu bisa dilakukan jika dia bisa mendengarnya.” Jelasku.

“Apa maksudmu? Apa gadis itu tuli?” Tanya Jack kebingungan.

“Tidak hanya tuli tapi dia juga tidak bisa bicara.” Jelasku kembali.

Mereka berdua mengusap wajah mereka. “Apa kamu yakin mencintai gadis seperti itu?” Tanya David kembali.

“Kamu benar-benar udah gak waras Van.” Timbal Jack. Aku menganggukkan kepalaku pada mereka.

“Bagaimana kanu bisa mencintai gadis yang bisu dan tuli Nak?” Tiba-tiba Ayahku menyela perbincangan kami.

“Ayah.” Aku segera beranjak dari tempat dudukku.

“Aku memang menyuruhmu untuk segera mencari calon istri. Tapi bukan berarti gadis seperti itu juga. Ayah bisa mencarikanmu calon istri yang jauh lebih baik.” Jelas Ayahku.

“Jika Ayah bertemu dengannya, aku yakin Ayah pasti akan menyukainya juga. Ku mohon yah, restui aku bersamanya.” Pintaku pada Ayahku.

“Apa kamu yakin dengan semua ini?” Tanya Ayah kembali.

“Aku yakin yah, aku mencintainya. Aku akan bahagia.” Jawabku meyakinkannya.

“Baiklah, kejar cintamu. Ayah akan mendukungmu Nak.” Ujar Ayahku sambil merangkul bahuku. Aku tersenyum lega sekaligus bahagia karena Ayahku mendukung keputusanku.

***

Syukurlah acara pentas seni yang ditampilkan sebagai acara amal berlangsung dengan meriah, sukses, dan tertib. Melalui kegiatan inipun mereka mendapatkan dana untuk mewujudkan program pengembangan SLB Harapan khususnya untuk kebutuhan vokasional batik, boga, busana, dan desain. Kualitas para pengisi acara yang sangat luar biasa, sehingga dapat mengundang minat kami para sponsor, dan donatur. Antusias calon penonton yang terus mendesak meminta tiket masuk membuat panitia menjadi kualahan, namun terlihat lebih menggembirakan. Dalam acara ini juga dihadirkan band Noah sebagai salah satu pengisi acara. Kebahagiaan itu sangat jelas terlihat dari sorot mata dan senyum yang merekah dari gadis itu, gadis yang biasa disapa orang dengan panggilan Mila. Namun, aku hanya tahu sebatas nama panggilannya saja, bahkan akupun belum pernah berkomunikasi secara langsung dengannya, hanya pernah berhadapan dalam satu ruangan. Hari ini, akan ku buat menjadi hari yang bersejarah dalam hidupku. Aku akan menyatakan perasaanku padanya, dengan bahasa isyarat yang sudah ku pelajari. Aku rasa aku sudah cukup memiliki bekal untuk berkomunikasi dengannya. Kedengarannya memang aneh, belum pernah berinteraksi sama sekali tiba-tiba langsung menyatakan cinta tapi aku berharap ia akan menerimaku meski tidak sekarang, aku akan berusaha membuktikan perasaanku padanya bahwa aku serius dengan keputusanku hingga akhirnya ia akan memilihku. Rasa percaya diriku memang tinggi, karena cintaku saja sudah cukup untuk kami berdua, berbalas atau tidaknya kembalikan pada takdir.

“Sekarang katakan pada Ayah, mana gadis yang kamu maksud?” Tanya Ayah membuyarkan hayalanku sedang menyatakan cinta pada gadis itu.

“Biar Indi yang kasih tahu Ayah. Liat yah, gadis yang memakai blazer hitam yang berdiri disebelah kanannya Bapak Kepala Sekolah. Dia gadis yang membuat Vano jadi tergila-gila.” Jawab Adikku.

“Dia gadis yang cantik, terlihat gadis yang anggun. Semangat Nak.” Seru Ayahku sambil menepuk pundakku.

“Hari ini aku akan menyatakan perasaanku padanya, jika dia mau menerimaku atau setidaknya mau mempertimbangkan perasaanku, aku akan bawa dia pulang ke rumah hari ini untuk ku perkenalkan pada kalian.” Ungkapku tersenyum penuh harap.

“Kami akan menunggumu di rumah.” Jawab Ayahku.

“Kakak harus bisa membawa calon Kakak iparku itu pulang.” Timbal Indira.

“Akan ku lakukan setelah semua tamu sudah pulang, kalian pulanglah terlebih dahulu.” Seruku.

“Apa Kakak tidak mau latihan dulu agar Kakak diterima?” Goda Indira.

“Berhentilah meledekku, kamu pikir Kakak tidak pernah nembak cewek apa?” Gerutuku. “Tidak ada gadis yang bisa menolak pesonaku ini.” Lanjutku percaya diri. Mereka berdua tersenyum mendengar kalimat terakhirku.

“Dimana gadis itu? Bukankah tadi dia berdiri disana? Tapi sekarang tidak terlihat lagi.” Seru Ayahku celingukan mencari sosok Mila. Akupun ikut celingukan.

“Aku pergi dulu, aku akan mencarinya. aku tidak ingin gagal hari ini.” Seruku pada mereka lalu berlalu pergi.

Aku mencarinya kesemua sudut ruangan, namun aku tidak menemukannya. Kemana dia pergi? Apa dia sudah pulang? Batinku. Hampir setengah jam aku mencarinya, akhirnya aku melihatnya tengah berjalan menuju ke belakang gedung. Aku berjalan mengikuti langkahnya, aku tidak boleh kehilangan jejaknya lagi. Jika kali ini ia sendiri, maka akan ku pergunakan untuk menyatakan perasaanku padanya. Aku langsung mengeluarkan kotak beludru biru dari saku bagian dalam jasku, aku sudah menyiapkan sebuah cincin untuknya. Karena asyik mengamati kotak yang sedang ku pegang, aku kembali kehilangan jejaknya. Dengan segenap keyakinanku bahwa ia masih ada disekitarku, aku mempercepat langkahku menusuri tempat itu mencoba menemukannya. Akhirnya, beberapa saat kemudian aku kembali menemukannya tengah berdiri tidak jauh dari balik dinding. Tanpa memperdulikan apa yang tengah ia lakukan disana, aku meneruskan langkahku menuju ke arahnya. Namun, langkahku terhenti saat aku mendapati sosok laki-laki yang tiba-tiba mendekatinya dari balik dinding itu dan memeluknya erat. Seolah penuh kerinduan dari pelukan itu. Duniaku terasa akan runtuh saat itu juga, bukan karena mendapatinya sudah memiliki kekasih. Tapi karena laki-laki yang memeluknya itu adalah Adik iparku, suami Indira. Aku memundurkan langkahku lalu kemudian berlalu pergi meninggalkan tempat itu.

Apa yang mereka lakukan disini? Benar-benar menjijikkan. Bagaimana dia bisa menjalin hubungan dengan laki-laki yang sudah beristri. Bagaimana aku bisa mencintai wanita yang merusak kehidupan Adikku. Aku benar-benar telah tertipu dengan senyum dan tingkahnya, dia tidak lain hanya seorang wanita jalang. Batinku penuh amarah.