webnovel

Tamu

"Apa Umi sudah membahas?" tanya sang Abi lalu duduk di ruang makan.

"Iya Abi. Umi sudah membahas." Chafiya ikut duduk.

"Menjodohkanmu bukan berarti Abi dan Umi memaksa."

"Emmm. Boleh Fiya tahu, apa yang membuat Abi sangat yakin dengan putranya sahabat Abi?" Chafiya memandang Abinya dengan penuh tanda tanya.

"Keyakinan sudah datang sebelum Abi melakukan istikharah. Ditambah lagi dengan petunjuk istikharah. Abi sangat yakin, dokter Alif akan dapat membahagiakanmu. Walaupun mungkin dia belum menjadi imam yang sempurna untukmu, kamu yang akan menjadi pelengkap nya."

"Maksud Abi?" tanya Chafiya dengan rasa penasaran.

"Nduk, kamu bisa menjadi perangkul para insan tersesat."

"Fiya semakin tidak mengerti dengan yang dibicarakan Abi. Bukankah penting memilih seorang suami yang bisa menjadi imam untuk istrinya? Apa dokter Alif itu, termasuk pemuda tersesat?"

Abi memandang anak gadisnya. "Tersesat atau tidak, terkadang kita pun tersesat. Ingat. kata Sayyidina Ali. Jadilah manusia yang baik dalam pandangan Allah. Jadilah manusia yang buruk dalam pandangan sendiri. Jadilah manusia yang biasa dalam pandangan orang lain. Nduk, memilih sosok suami itu dari agama, nasab dan ada beberapa hal lagi. Yang sangat membuat Abi yakin kepada Alif adalah ketulusannya, kedua orang tuanya. Di dunia ini banyak sekali orang baik dan banyak sekali orang sabar. Akan tetapi Abi mengenal kedua orang tua Alif, mereka sangat istimewa, bukan hanya karena sahabat atau hati terpaut."

"Berikan Fiya pengertian."

"Abi akan sedikit bercerita."

***

"Seperti itu Chafiya."

"Masya Allah ..." gumam kagum gadis cantik nan ayu ini.

Chafiya menyimak dengan cerita sang abi hingga membuat dirinya kagum dan haru.

Setelah perbincangan panjang antara Abi dan putrinya.

"Sudah sana istirahat," ujar Abi.

"Iya Abi. Terima kasih atas perbincangan yang menarik, akan tetapi belum tentu aku setuju ya Abi dengan perjodohan ini. Masih perlu meyakinkan diri atas petunjuk dariNya."

"Abi mengerti," ujar Abi. Chafiya sungkem lalu pergi meninggalkan Abinya.

'Sebuah rasa memang harus dipendam. Cukup mendoakan orang yang sudah dicintai, semoga dia bahagia. Chafiya ... berusahalah ikhlas,' batin gadis itu lalu berbaring sambil memutar tasbihnya.

***

Langit gelap mulai menampakkan cahayanya. Mentari beranjak, sedari tadi Chafiya memperhatikan pemuda yang sedang mematla'ah kitab ta'lim namun senyum-senyum sendiri.

"Sepertinya sangat happy, Alhamdulillah kalau kamu bahagia."

"Kapan Fiya pulang?"

"Mas Azmi sih sibuk sekali sampai sepupunya pulang tidak sadar," ledek Fiya sambil meletakkan makanan.

"Jam tidur ku terasa terganggu dan hancur ketika Aku terbelenggu oleh rindu. Ah, aku mulai lebay," ucap Gus Azmi dengan suara riang.

"Fiya, pasti pernah kan, merasakan rasa yang unik. Rasa gado-gado atau nano-nano yang tidak bisa dikatakan saat jantung berdebar, pipi terasa panas, tangan mulai mendingin namun berkeringat, ah ... rasanya tidak karuan." Azmi benar-benar menunjukkan kalau dia sedang kasmaran.

"Bagaimana bisa aku tidak jatuh cinta kepadanya. Jika dia terus seperti ini. Ketertarikan kepada agama Islam. Dia tidak sungkan bertanya kepada Abi dan Umi."

"Memang dia itu siapa dan bertanya apa?" tanya Fiya.

"Dia Safira, dia bertanya tentang urusan hati."

"Safira?! Dia mu'alaf? Emmm. Lalu jawabannya apa?" tanya Chafiya sambil menarik kursi dan duduk.

Ruang makan masih dipenuhi kehangatan dalam mengobrol, kasih sayang keluarga sangat penting.

Tibalah semua keluarga berkumpul untuk sarapan. Setelah sarapan, gadis cantik bercadar itu segera mengambil untuk sang Umi.

Wajah cantik putih merona menghiasi wajahnya ini memasuki ruangan kemudian dari balik cadar.

"Umi ...." sapa lembut sang putri.

Saat Chafiya menghentikan langkahnya terdengar suara dua mobil berhenti. Jelas aja itu tamu yang ditunggu-tunggu oleh keluarganya.

Setika gadis ini merasa deg-degan.

"Umi makan dulu ya," ujarnya lalu di samping Umi.

"Umi makan kamu pergi menghormati tamu ya," pinta Uminya. Chafiya pun mengangguk.

"Baik Umi, tapi Fiya salat dhuha dulu," ujarnya lalu bangun pergi dari kamar Uminya.

***

Sementara pemuda tampan berkarismatik keluar dari mobil dan melihat-lihat suasana sekitar pesantren.

"Alhamdulillah ...." sambut riang Abi Barak.

"Assalamualaikum Gus ..."

"Waalaikumsalam," sambut Abi Barak dengan menjabat tangan dan memeluk dokter Eza.

Sementara Alif pun sungkem.

"Masya Allah ... persis ayahnya," sambut kagum Abi Barak sambil merangkul bahunya. Alif pun tersenyum dan merunduk.

"Kiai, ada sembako untuk santri," kata Alif yang lalu menuju bagasi mobilnya dan lanjut membuka bagasi mobil ayahnya.

"Alhamdulillah ...."

Abi Barak memanggil santri, dua santri datang membantu Alif menurunkan sembako.

'Alif ... jangan menunjukan ketidaksukaanmu kepada putri kiai,' batin Alif yang terus menasehati diri sendiri.

Alif dan Eza masuk ruang tamu putra dan ibunda Alif di sambut Bibi Bilqis.

***

Duduk bersama di ruang tamu. Berbincang-bincang sabagaimana seorang sahabat yang telah lama tidak bertemu.

"Gus, Alif mau bertanya." Eza mengatakan itu sementara Alif bingung karena itu rencana ayahnya.

"Silahkan."

"Emmm, apakah Allah akan menerima taubat seseorang yang sudah melakukan kesalahan fatal?" tanya Alif merunduk dengan telapak tangan berkeringat.

"Begini. Ketika kita melakukan sebuah perbuatan dosa maka kita pasti ingin dosanya tersebut dapat dihapus dan terampuni. Karena bila tidak, maka dosa dan kesalahan yang kita perbuat itu akan membawa dampak buruk, baik ketika kita masih hidup di dunia atau kelak ketika kita hidup di alam akhirat. Rasulullah pernah bersabda:

Setiap anak keturunan Adam itu berbuat dosa. Dan sebaik-baik orang yang berbuat dosa adalah orang-orang yang mau bertobat

(HR Ibnu Majah)"

"Kiai, bagaimana cara meleburnya?" tanya Alif setelah sedikit rileks.

"Kita harus tahu bahwa tidak setiap perbuatan dosa dapat dilebur dengan cara yang sama. Ada cara-cara tertentu untuk melebur sebuah dosa yang tidak sama antara satu dosa dengan dosa yang lain. Ini berarti ada pembagian kategori dosa yang menentukan bagaimana cara peleburannya. Imam Al-Ghazali di dalam kitab Minhajul 'abidin menuturkan bahwa secara garis besar ada beberapa macam kategori dosa dengan cara meleburnya masing-masing. Dalam kitab tersebut beliau menuliskan, yang artinya.

Ketahuilah, secara garis besar dosa-dosa itu ada tiga macam. Pertama, meninggalkan kewajiban-kewajiban yang ditetapkan oleh Allah kepadamu seperti salat, puasa, zakat, kafarat, dan lainnya. Maka (untuk meleburnya) engkau mengqadha kewajiban-kewajiban tersebut selagi memungkinkan.

Seperti penjelasan tadi, jenis dosa yang pertama adalah dosa yang berkaitan dengan berbagai kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah untuk dilaksanakan oleh hambaNya. Orang yang meninggalkan kewajiban-kewajiban yang telah ditetapkan oleh Allah seperti salat, puasa, zakat dan lainnya, harus melebur dosa tersebut dengan mengqadha kewajiban-kewajiban yang ditinggalkan itu selagi memungkinkan untuk mengqadha atau menggantinya.

Salat yang tidak dilakukan karena lupa, tertidur, atau melakukan salat tetapi dengan menggunakan pakaian najis, di tempat yang najis atau alasan lainnya, maka salat tersebut harus di-qadha setelah memungkinkan untuk melakukannya. Puasa wajib yang tidak dilakukan karena sakit, bepergian, atau melakukan puasa tetapi lupa niat pada malam hari, batal sebelum masuknya waktu berbuka atau karena alasan-alasan yang lain harus diqadha segera setelah memungkinkan untuk melakukannya. Demikian pula dengan zakat, haji dan ibadah-ibadah wajib lainnya.

Selanjutnya Imam al-Ghazali menuturkan, kedua, dosa-dosa di antaramu dan Allah SWT seperti meminum minuman khamr, memakan riba dan sebagainya. (Untuk meleburnya) maka engkau menyesali perbuatan-perbuatan tersebut dan menetapkan hatimu untuk tidak akan mengulanginya lagi selamanya. Kategori dosa yang kedua adalah dosa-dosa yang terkait antara seorang hamba dengan Allah. Dosa dalam kategori kedua ini lebih pada hal-hal yang dilarang oleh Allah dan tidak ada kaitannya dengan sesama hamba. Contoh perbuatan dosa yang masuk pada kategori ini adalah meminum minuman keras, berzina, memakan riba, memandang lawan jenis yang bukan mahram, berdiam di masjid dalam keadaan junub, memegang dan membawa Alquran tidak dalam keadaan suci, menggunakan harta untuk kemaksiatan, dan lain sebagainya.

Menurut Imam al-Ghazali, dosa dalam kategori ini dapat dilebur dengan penyesalan dan memantapkan hati untuk tidak akan kembali melakukan kesalahan serupa selamanya. Dengan kata lain pelaku dosa kategori ini dituntut untuk bertaubat secara benar untuk dapat melebur dosanya. Minum dulu ..."