webnovel

Doa Alif Dalam Hati

Chafiya selesai memakan es krim, duduk menghadap ke depan dan merunduk.

"Suatu bukti nyata bahwa shalat sebagai kebutuhan bagi manusia, belakangan ini banyak yang mengkaitkan shalat dengan kesehatan, kerja dan kesuksesan. Misalnya penyembuhan penyakit dengan terapi shalat sunnah tahajjud, shalat hajat, istikharah, dhuha dan lainnya untuk sebuah kesuksesan dan karir serta beberapa praktek shalat lainnya yang memang menjadi dasar kebutuhan manusia. Karena manusia dicipta oleh Allah, dalam ilmu psikologi dikenal sebagai makhluk yang selalu mencari kepuasan untuk memenuhi kebutuhan dirinya. Ketidakpuasan terhadap sesuatu itu membuat seseorang tidak henti mencari kebutuhan. Apa kamu merasa kenikmatan itu Dik Cha?"

"Aku merasakan kenyamanan. Em ... yang terpenting aku sangat menyesal, bahkan seperti orang kehilangan jika tidak melaksanakan. Pernah diwaktu tahajud aku tidurnya keblablasan, pagi, siang, sore rasanya tidak tenang. Gelisah tak menentu. Semoga karena itu aku bisa istiqomah," jelas Chafiya.

'Semoga nanti Allah benar-benar membuatku sadar dan aku akan bertaubat dengan bersungguh-sungguh,' batin Alif.

"Mau dengar lagi? Tapi aku yakin kamu pasti sering dengar," tanya Alif.

"Sering dengar tapi juga sering lupa, bacakan lagi ya," pinta Chafiya.

"Sebagaimana diketahui bahwa seluruh amal manusia di akhirat akan ditimbang dalam timbangan amal atau mizan. Jika timbangan amal baiknya lebih berat, maka pertanda ia akan selamat. Sebaliknya, jika timbangan amal buruknya yang lebih berat, maka pertana ia akan celaka.  

Itu pula yang digambarkan dalam hadits riwayat Ibnu Mas'ud menyampaikan, "Pada hari Kiamat, manusia akan dihisab. Siapa saja yang amal baiknya lebih banyak dari amal buruknya, walau hanya selisih satu amal, maka ia akan masuk surga. Sementara orang yang amal buruknya lebih banyak dari amal baiknya, walau hanya selisih satu amal, maka ia akan masuk neraka."

Kemudian, Ibnu Masvud melantunkan ayat, yang artinya, "Timbangan pada hari itu ialah kebenaran (keadilan), maka barang siapa berat timbangan kebaikannya, maka mereka itulah orang-orang yang beruntung. Dan siapa yang ringan timbangan kebaikannya, maka itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, disebabkan mereka selalu mengingkari ayat-ayat Kami," (QS Al-A'raf [7]: 8-9).  Ibnu Mas'ud melanjutkan, "Sesungguhnya timbangan amal baik bisa ringan atau kalah walau hanya kurang seberat biji sawi. Sehingga orang yang imbang antara amal baik dan buruknya, maka dia termasuk ash-habul a'raf (orang-orang yang diberi pengetahuan). Mereka berdiri di hadapan ash-Shirath. Dari situ, mereka tahu para penghuni surga dan penghuni neraka. Ketika melihat para penghuni surga, mereka menyeru, 'Salam keselamatan untuk kalian.' Saat menoleh ke arah kiri, mereka melihat para penghuni neraka, lantas berdoa, sebagaimana dalam ayat, "Ya Tuhan kami, janganlah Engkau tempatkan kami bersama-sama orang-orang yang zalim itu," (QS Al-A'raf [7]: 47).

Terakhir, Ibnu Mas'ud berpesan, "Sesungguhnya seorang hamba, jika melakukan satu kebaikan, maka akan dicatat untuknya sepuluh kali lipat. Dan jika ia melakukan satu keburukan, maka akan dicatat untuknya satu kali lipatnya. Maka celakalah orang yang satu kali lipatnya mengalahkan sepuluh kali lipatnya," [Dari Ibnu al-Mubarak, az-Zuhd wa ar-Raqa'iq, jilid 2, hal. 123).

Timbangan amal sendiri merupakan timbangan raksasa. Saking besarnya, andai langit dan bumi diletakkan di atasnya, niscaya mampu ditimbangnya. Apalagi hanya sekadar dipakai menimbang amalan hamba. Demikian seperti yang digambarkan dalam hadits riwayat al-Hakim dari Salman. Melalui riwayat ini, Rasulullah saw. bersabda:   Pada hari Kiamat, timbangan amal akan diletakkan. Andai langit dan bumi ditimbang atau diletakkan di atasnya, niscaya akan tertimbang.

Kemudian para malaikat bertanya, "Wahai Tuhanku, untuk siapa timbangan ini?"

Allah menjawab, "Untuk makhluk-Ku yang Aku kehendaki."

Malaikat pun berkata, "Maha suci Engkau, maka selamanya kami akan menyembah-Mu dengan sebenar-benarnya," (HR Al-Hakim).

Siapa pun tentu berharap agar timbangan amal baiknya lebih berat daripada timbangan amal buruknya. Dalam kaitan ini, Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam telah menawarkan berbagai amalan yang memperberat timbangan kebaikan, mulai dari amalan terberat hingga amalan teringan. Amalan-amalan tersebut antara lain adalah berakhlak mulia, sebagaimana sabda-Nya, "Sesungguhnya di antara amalan yang paling berat dalam timbangan amal pada hari Kiamat adalah berakhlak bagus," (HR Ath-Thabrani).   Amalan berikutnya adalah mengucap akalimat thayyibah. Diriwayatklan, pada saat timbangan-timbangan amal pada hari Kiamat dipasangkan, maka didatangkanlah seorang laki-laki. Setelah amalnya ditimbang, diputuskan bahwa ia harus masuk neraka. Namun, terdengar satu perintah dari sisi Allah, "Janganlah kalian tergesa-gesa. Sebab, masih ada satu amal lagi yang tersisi untuknya."

Tak lama datanglah satu lembaran yang berisi tulisan Lailahailallah. Setelah lembaran itu ditambahkan, maka bertambah beratlah amal kebaikannya. Demikian yang disarikan dari hadits riwayat Ahmad dalam Musnad-Nya dari 'Amr ibn al-Ash."

"Asik sekali aku mendengarnya Mas," kata Chafiya merunduk.

"Kalau seperti itu aku lanjutkan lagi. Alhamdulillah. Amalan yang sangat ringan, namun berat dalam timbangan amal juga dikabarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadits. Artinya, "Dua amalan yang tidaklah dihitung (dijaga) oleh seorang muslim kecuali akan masuk surga. Dua amalan itu sangat sederhana, namun orang yang menunaikannya sedikit. Ditanya oleh para sahabat, "Amal apa itu, wahai Rasulullah?"

Beliau meneruskan, "Salah seorang kalian bertasbih sepuluh kali, membaca tahmid sepuluh kali, dan membaca takbir sepuluh kali setiap usai shalat. Jadi totalnya 150 kali dalam lisan, namun jadi 1500 dalam timbangan amal," (HR Ibnu Majah, at-Tirmidzi, dll).

Di samping amal yang memperberat timbangan kebaikan, Baginda Nabi shallallahu 'alaihi wasallam mengingatkan amal yang justru akan memberatkan timbangan keburukan. Salah satunya adalah perbuatan gibah. Waduh ...." Alif menghentikan membaca.

"Aku masih sering melakukan ghibah. Sebuah kisah. Saat ada para sahabat yang menertawakan seseorang karena betisnya yang kecil, beliau lantas menegur mereka, "Demi Dzat yang menggenggam jiwaku, perbuatan itu lebih berat dalam timbangan amal buruk dari gunung Uhud."

"Maksudnya apa?" tanya Alif.

"Menjelekkan ciptaan Allah. Cantik, jelek, hitam, putih, tonggos, ompong. Itu semua ciptaan Allah, maka janganlan kita menertawakannya. Kita harus hati-hati. Aku sering begini, karena merasa lucu. Meski demikian, kita senantiasa berharap semoga timbangan amal baik kita lebih berat daripada timbangan amal buruk. Aamiin Ya Allah," jelas Chafiya.

"Aamiin Ya Robbal a'lamin."

"Pada saat yang sama, kita tak boleh henti berdoa semoga kelak mendapat pertolongan dari Penguasa alam dan juga syafaat dari nabi terkasih-Nya yang bersiap membela umatnya di timbangan amal, jembatan ash-Shirath, dan telaga Kautsar. Ingatlah bahwa berapa pun amal kita, baik atau pun buruk, pasti akan terlihat, Barangsiapa yang mengerjakan kebaikan seberat dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya. Dan barangsiapa yang mengerjakan kejahatan sebesar dzarrah pun, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula, (QS Az-Zalzalah [99]: 7-8). Wallahu 'alam. Alhamdulillah ... Mbak, terima kasih sudah mengizinkan aku membaca," kata Alif yang menatap Chafiya singkat.

"Mari kita belajar dari Rasulullah. Aku mau cerita, menceritakan kisah yang bagiku sangat penting. Pernah Rasulullah SAW memilih Thaif sebagai kota kedua, setelah Makkah yang menjadi tujuan dakwah. Thaif sangat strategis karena merupakan salah satu basis permukiman warga padat penduduk dan pusat perdagangan. Thaif sangat diperhitungkan Rasulullah karena Thaif adalah lokasi tempat tingal Bani Tsaqif, salah satu kabilah terhormat di Jazirah Arab. Namun, ternyata kedatangan Rasulullah dengan menempuh 100 km jalan kaki menunju Thaif dari Makkah, justru tidak disambut dengan baik, Rasul bahkan mengalami pengusiran yang tak terhormat. Penyambutan tak mengenakkan itu ditanggapi Rasulullah dengan ketenangan. Beliau melakukan shalat lalu memanjatkan doa. Di sebuah kebun kurma milik kedua anak Rabi'ah, Nabi berhenti seraya memanjatkan doa, sebagaimana dinukilkan Imam at-Thabrani dalam al-Mu'jam al-Kabir, al-Baghdadi dalam al-Jami' li Akhlaq ar-Rawi: "Allahuma Ya Allah, kepada-Mu aku mengadukan kelemahanku, kekurangan daya upayaku di hadapan manusia. Wahai Tuhan Yang Maharahim, Engkaulah Tuhan orang-orang yang lemah dan Tuhan pelindungku. Kepada siapa hendak Engkau serahkan nasibku? Kepada orang jauhkah yang berwajah muram kepadaku atau kepada musuh yang akan menguasai diriku? Asalkan Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli sebab sungguh luas kenikmatan yang Engkau limpahkan kepadaku. Aku berlindung kepada nur wajah-Mu yang menyinari kegelapan dan karena itu yang membawa kebaikan di dunia dan akhirat dari kemurkaan-Mu dan yang akan Engkau timpakan kepadaku. Kepada Engkaulah aku adukan halku sehingga Engkau ridha kepadaku. Dan, tiada daya upaya melainkan dengan kehendak-Mu."

Malaikat Jibril iba menyaksikan Rasulullah itu terluka fisik dan hatinya. Jibril berkata, "Allah mengetahui apa yang terjadi padamu dan orang-orang ini. Allah telah memerintahkan malaikat-malaikat di gunung-gunung untuk menaati perintahmu."

Para malaikat penjaga gunung itu berkata, "Wahai Muhammad! Sesungguhnya Allah telah mendengar perkataan kaummu terhadapmu. Aku adalah malaikat penjaga gunung dan Rabb-mu telah mengutusku kepadamu untuk engkau perintahkan sesukamu, jika engkau suka, aku bisa membalikkan Gunung Akhsyabin ini ke atas mereka."

Nabi dengan lembut berkata kepada Jibril dan malaikat penjaga gunung, "Walaupun mereka menolak ajaran Islam, aku berharap dengan kehendak Allah, keturunan mereka pada suatu saat akan menyembah Allah dan beribadah kepada-Nya." Nabi bahkan berdoa yang artinya, "Ya Allah berikanlah petunjuk kepada kaumku, sesungguhnya mereka tidak mengetahui."

Abbas bin Mirdas as-Sulami pernah menjelaskan, Rasulullah SAW pernah memohonkan ampun untuk umatnya pada malam Arafah. Doa itu dijawab oleh Allah dengan firman-Nya, Sesungguhnya Aku telah mengampuni mereka, kecuali orang-orang yang zalim karena Aku akan memperhitungkan dosa-dosa mereka atas orang-orang yang mereka zalimi. Nabi memohon lagi, Wahai Tuhanku, Engkau bisa memberikan surga bagi yang dizalimi dan mengampuni orang yang zalim.

Permohonan itu tidak mendapat jawaban pada malam itu. Pada pagi hari ketika beliau sedang di Muzdalifah beliau mengulang permohonannya dan kali ini Allah mengabulkan permohonannya itu. Rasulullah pun tertawa (tersenyum). Melihat hal itu, Abu Bakar dan Umar bertanya kepada Rasulullah, Demi ayah dan ibu, sesungguhnya waktu seperti ini tidak seperti biasanya Anda tertawa (tersenyum), apa gerangan yang membuat Anda tertawa? Semoga Allah selalu membuat Anda tertawa.

Rasulullah menjawab, Ketika musuh Allah (iblis) tahu doaku dikabulkan oleh Allah SWT dan mengampuni umatku, iblis itu mengambil debu dan melumurkannya ke kepalanya sambil bersumpah serapah mengharap kecelakaan dan kemusnahan untuk umat Muhammad. Kekesalan dan kekhawatirannya itu yang membuatku tertawa."

"Belajar menjadi manusia yang berakhlaq." gumam Alif lalu melanjutkan membaca.

"Kisah ini menunjukkan bahwa pertama, Rasulullah sangat mencintai umatnya. Beliau selalu mengingat umatnya sehingga beliau selalu mendoakan kebaikan bagi mereka, terutama di tempat-tempat mustajab dan di waktu-waktu mustajab, seperti halnya yang beliau lakukan ketika di Arafah.

Sebab, Arafah merupakan tempat mustajab sekaligus waktu mustajab bagi orang yang melaksanakan ibadah haji sehingga kemungkinan terkabulnya suatu doa di tempat dan waktu itu sangat besar. Kedua, Rasulullah menginginkan semua umatnya masuk surga dan tak seorang pun dari mereka yang masuk neraka, hatta, orang yang zalim sekalipun.

Jika yang didoakan untuk masuk surga hanya orangorang yang dizalimi saja itu doa biasa, apalagi doa orang yang dizalimi sendiri sudah mustajab. Namun, ketika yang didoakan agar dosanya diampuni dan kemudian masuk surga juga orang yang zalim ini baru doa yang luar biasa. Ketiga, kisah ini juga menjelaskan kepada kita, dosa orang yang berbuat zalim kepada orang lain termasuk dosa yang sulit diampuni karena ada sangkut pautnya dengan hak orang lain.

Sehingga, Allah akan memperhitungkan perbuatannya itu sebelum ia diampuni. Hal ini yang menjadi alasan, mengapa Allah tidak langsung mengabulkan doa Nabi, padahal beliau merupakan manusia yang sangat Allah sayangi. Terkait perbuatan zalim kepada orang lain, Ali bin Abi Thalib pernah menyebutkan, tobatnya orang yang menggunjing orang lain (zalim) lebih sulit dibandingkan tobatnya orang berzina.

Karena menurut dia, bertobat dari dosa zina (walaupun termasuk dosa besar) bisa langsung diterima oleh Allah dengan syarat harus tobatan nasuha. Sementara, tobatnya orang yang menggunjing orang lain (walau tidak termasuk dosa besar) lebih sulit karena sebelum orang itu meminta maaf kepada orang yang dibicarakan keburukannya, Allah tidak akan mengampuninya. Semoga kita tidak termasuk orang yang zalim kepada orang lain. Aamiin Ya Robbal a'lamin."

"Suatu ketika, Sayyidatuna Aisyah ra tengah duduk bersama Nabi Muhammad saw, tiba-tiba Nabi Muhammad saw mendoakan Sayyidatuna Aisyah. Di dalam doanya, beliau mengatakan, "Ya Allah ampuni Aisyah, segala dosa-dosanya yang terdahulu, yang akan datang, yang kelihatan dan yang tidak kelihatan." Mendengar doa tersebut, Sayyidatuna Aisyah tertawa bahagia, hingga kepalanya menunduk sampai ke bawah karena tawanya. "Ya, Aisyah, engkau bahagia dengan doaku?" tanya Nabi Muhammad SAW. kepada istrinya yang berjuluk humaira itu. "Ya, Rasulullah, bagaimana aku tidak bahagia. Engkau mendoakan aku dengan doa yang demikian agung?"

"Demi Allah, wahai Aisyah, itu adalah doaku untuk semua ummatku setiap selesai shalat." Begitulah cinta Nabi kepada kita Adiba, wujud kecintaan Nabi kepada ummatnya. Setiap saat selalu mendoakan untuk kebaikan ummatnya, yang banyak berlumuran dosa. Termasuk kita. Kita yang lalai dan kita yang terus bahagia dengan pujian orang. Semoga hati kita dijauhkan dari segala penyakit hati."

"Aamiin ya Allah," Chafiya mengusap wajah.

"Nabi Muhammad SAW tinggal di Madinah dengan berbagai komunitas Ahli Kitab seperti Yahudi dan Nasrani. Nabi Muhammad SAW berinteraksi secara baik dengan masyarakat Ahli Kitab di Madinah. Nabi Muhammad SAW bermuamalah dengan Ahli Kitab sebagaimana biasa. Nabi Muhammad SAW bahkan di akhir hayatnya masih tercatat hutang gadai dengan salah seorang warga Yahudi di Madinah. Praktis hubungan Nabi Muhammad SAW secara individu dengan Ahli Kitab di Madinah baik-baik saja. Pada prinsipnya Nabi Muhammad SAW tidak memiliki masalah secara pribadi dengan Yahudi dan Nasrani di Kota Madinah. Imam Nawawi menceritakan, suatu hari Nabi Muhammad SAW mendoakan seorang Yahudi yang memberikannya air minum.

"Diriwayatkan kepada kami di Kitab Ibnu Sunni, dari sahabat Anas bin Malik RA, suatu hari Rasulullah membutuhkan air minum. Kemudian seorang Yahudi datang membawakannya air minum. Rasulullah SAW (menerima dan) mendoakannya, 'Semoga Allah membaguskanmu.' Setelah itu tidak pernah terlihat uban pada rambut Yahudi tersebut sampai ia wafat." (Imam An-Nawawi, Al-Adzkar). Dari berbagai keterangan ini kita dapat menarik simpulan bagaimana interaksi yang baik antara Nabi Muhammad SAW dan Ahli Kitab Madinah. Interaksi seperti ini menjadi contoh yang baik di tengah pergaulan masyarakat yang kompleks dan heterogen. Jadi ... kita juga harus menjaga persatuan dan kesatuan Indonesia..

Hadits. "Sesungguhnya aku diutus (Allah) untuk menyempurnakan Akhlak." Kata Nabi Muhammad SAW. Jadi kita patut mencontoh beliau, dalam sebuah hadits. Nabi Muhammad SAW. adalah sosok manusia paripurna. Beliau telah memberikan teladan terbaik dalam menjalani kehidupan di dunia ini. Bagaimana menjadi seorang pemuda, menjadi sahabat, menjadi suami, menjadi pemimpin agama, bahkan menjadi pemimpin negara dengan landasan akhlak yang luhur. Ayah, suami aku akan berusaha mencontoh beliau. Beliaulah panutan dan cahaya. Hal ini ditegaskan Allah di dalam Al Qur'an Surat Al-Ahzab ayat 21; "Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu uswah hasanah (suri teladan yang baik) bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah."

Salah satu teladan yang diajarkan Nabi Muhammad saw. adalah bagaimana menjaga lisan dari tutur kata yang buruk. Dalam sejarah hidupnya, Nabi Muhammad saw. tidak pernah berkata kotor, mengumpat, ataupun mengeluarkan cercaan bahkan kepada musuhnya-kaum musyrik yang memusuhi dakwah Islam, sekalipun. Sebaliknya, Nabi Muhammad SAW. malah mendoakan mereka yang baik-baik. Ada banyak cerita terkait dengan hal ini sebagaimana tertera dalam Akhlak Rasul Menurut Al-Bukhari dan Muslim (Abdul Mun'im al-Hasyimi, 2018). Diantaranya adalah ketika pasukan Islam menang dalam Perang Badar. Nabi Muhammad saw. melarang umat Islam mengumpat korban Perang Badar dari kalangan kaum musyrik. Kata Nabi Muhammad saw., umpatan akan menyakiti hati orang-orang yang masih hidup. Nabi Muhammad saw. juga mengingatkan bahwa kekejian adalah sesuatu yang hina. Begitu pun ketika Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya melewati kaum Tsaqif. Ada seorang sahabat yang meminta Nabi Muhammad saw. berdoa agar kaum Tsaqif mendapatkan laknat dari Allah. Namun Nabi Muhammad saw. malah melakukan hal yang sebaliknya. Beliau mendoakan agar kaumTsaqif mendapatkan hidayah dari Allah saw. Nabi Muhammad saw. juga mendoakan kaum Dus agar mendapatkan hidayah ketika beliau diminta salah seorang sahabat untuk melaknatnya. Sebagaimana diketahui, kaum Tsaqif adalah penguasa wilayah Thaif pada saat itu. Tiga tahun sebelum hijrah ke Yatsrib (Madinah), Nabi Muhammad saw. dan para sahabatnya hijrah ke Thaif. Mereka hendak meminta perlindungan dan pertolongan kepada masyarakat Thaif dari penindasan kaum musyrik Quraisy. Namun apa dikata, Nabi Muhammad saw. dan sahabatnya malah mendapatkan perlakuan buruk dari penduduk Thaif. Kaum Tsaqif melempari Nabi Muhammad saw. dengan batu hingga kakinya terluka. Hal yang sama juga dilakukan Nabi Muhammad saw. ketika Perang Uhud selesai. Sebuah peperangan yang berat bagi pasukan umat Islam karena mereka kalah. Akibatnya, sebagian sahabat meminta agar Nabi Muhammad saw. melaknat kaum Quraisy. Namun permintaan itu dijawab sebaliknya oleh Nabi Muhammad saw.

"Sesungguhnya saya diutus dengan membawa kasih sayang. Saya tidak diutus sebagai tukang melaknat. Ya Allah ampunilah kaumku karena mereka tidak mengetahui," jawab Nabi Muhammad saw. Demikianlah teladan yang ditunjukkan Nabi Muhammad saw. Beliau tidak pernah mendoakan yang jelek, mengumpat, berkata kotor, atau mengeluarkan cercaan bahkan kepada musuhnya sekalipun. Tidak hanya itu, Nabi Muhammad saw. juga menegur Sayyidina Abu Bakar ketika mendoakan Sa'id bin 'Ash yang sudah meninggal dengan sesuatu yang buruk. Nabi Muhammad saw. baru akan 'berdoa yang keras' kepada musuh ketika mereka mengancam eksistensi komunitas umat Islam sebagaimana yang terjadi ketika Perang Ahzab."

Chafiya mendengarkan suara Alif.