Semenjak sore hari, Rumahku sudah berubah setelah pemasangan bleketepe, tarub, dan tuwuhan. Papa sudah berganti dengan baju beskap kebesarannya dan mama sudah dengan sanggul cantik dan kebaya kutu baru dan batik tulisnya. Kali ini, aku menggunakan Abaya dengan kerudung tipis menutupi kepalaku.
Undangan mulai berdatangan ke rumah kakekku dari kalangan keluarga dan sahabat karib. Tetangga pun mulai berdatangan yang diwakili oleh para wanita, karena pengajian ini untuk mengirimkan doa bagi kami berdua semoga langgeng sampai akhir jaman.
Mas Abi berada di rumahku untuk melakukan prosesi nyantri. Tetapi di balik semua itu, dia mengambil kesempatan dengan berpura-pura menaruh koper pakaiannya di kamarku. Padahal mama pasti sudah mengalokasikan kamar tamu di rumahku.
Ini adalah rumah eyang kangkung yang diturunkan turun temurun ke pada anak-anaknya. Siapapun bisa tinggal di rumah peninggalan keluarga turun temurun tersebut. Rumah bergaya rumah kuno khas yogyakarta dengan pendopo kayu di depan rumah dan pilar-pilarnya. Di ruang tamu yang luas bergaya terbuka biasanya bisa dipakai untuk acara selametan bersama para tetangga.
Ruangan itu sekarang semerbak dengan bau bunga melati, mawar dan sedap malam. Mama bisa duduk bersimpuh dengan anggunnya bersama papa yang duduk di samping mama. Aku masih berada di ruang keluarga duduk dengan kipas di tanganku dan menjadi pajangan para tamu dan tetangga yang datang untuk membantu acara ini. Budeku sebagai tuan rumah sudah sibuk mempersiapkan semua ini.
Budeku adalah janda yang memutuskan untuk tidak menikah lagi. Suaminya meninggalkannya setelah menghabiskan warisan dari eyangku. Akhirnya papa memutuskan untuk meminta bude menunggu dan tinggal di rumah eyang bersama anak perempuan satu-satunya. Budeku adalah adik satu-satunya dari keluarga papa dengan kecantikan khas seorang priyayi jawa.
Aku memicingkan mataku yang penuh dengan bulu mata melihat seorang lelaki yang familiar membantu sepupuku mengikuti perintah bude.
"Bismo, itu kamu kan?" tanyaku pada lelaki muda dengan rambut cepaknya.
"mbak laras mah bisa aja menemukan bismo walau ada di antara kerumunan orang di pasar." Sindir Ajeng melihat Bismo terdiam kaku melihat ke arahku.
"iya, mbakyu. Saya Bismo. Kakak cantik sekali," jawabnya sopan kepadaku. Bismo di dalam ingatanku adalah seseorang yang sangat sopan dan selalu melindungi Ajeng dan aku sewaktu kita bermain bersama. Bismo bahkan selalu menuruti semua keinginan gilaku bahkan aku memintanya menikahiku supaya aku bisa terlepas dari korban perjodohan.
"Mo, aku sekarang mau nagih janji kamu. Ingat ga?" selorohku padanya dengan muka seriusku.
"Kulo berjanji apa, nggih?" tanya Bismo dengan muka polos penuh tanda tanya. Aku berusaha menahan tawaku melihat ekspresi dari BIsmo dengan muka polosnya.
"Gimana sih kamu itu? Kamu janji kalau sampek saya dijodohkan maka kamu akan menyelamatkanku dan membawaku lari dari perjodohanku. Ayukkkk." Jawabku padanya dengan mukaku yang menahan tawa. Aku masih harus menatap dengan muka serius ke arah Bismo. Ajeng sedari tadi tersenyum mendengar godaanku kepada Bismo yang sedari kecil selalu penakut.
"Maksudnya apa ini?" tiba-tiba terdengar suara rendah dan sewot dari Mas Abi yang berdiri di samping Bismo di depanku. Ekspresi serius dan marah Mas Abi benar-benar bisa membunuh semua orang di sekelilingnya. Bahkan Bismo yang berbadan tegap sebagai seorang tentara menjadi kecil dan ketakutan melihat seorang lelaki dengan tangan di sakunya dan menatap tajam ke arahnya.