webnovel

Terus Terbayang

Hari masih pagi. Bahkan, matahari saja masih belum sepenuhnya terbit, tapi Lana sudah siap berangkat ke sekolah, membuat para pekerja di rumahnya heran.

"Non Lana, tunggu sarapan siap dulu, ya?" Asisten rumah tangganya berlari mengejar Lana yang berjalan cepat ke teras depan di mana sopirnya sudah menunggu. Sebelumnya, ia sudah mengirim pesan kepada Pak Diding—sopir pribadi keluarganya—untuk bersiap-siap karena dirinya akan berangkat lebih pagi dibanding biasanya.

"Nggak usah, Bi. Aku sarapan di sekolah aja." Lana menjawab cepat tanpa menoleh ke arah sang asisten rumah tangga.

"Tapi, Non-"

"Aku beneran buru-buru," potong Lana cepat. "Maaf, ya, Bik. Nanti aku sarapan di kantin aja." Lana akhirnya berhenti berjalan cepat ketika sudah sampai di teras depan.

Mobilnya sudah siap. Pak Diding pun langsung menyambut dan segera membukakan pintu begitu Lana tiba.

"Kita berangkat sekarang, Non?"

"Ya, Pak." Lana masuk ke dalam, melambai ke arah asisten rumah tangganya sebentar, lalu menutup pintu.

"Huft!" Lana membuang napas dengan keras ketika mobil mulai bergerak. Rasa tak sabar sekaligus gugup ia rasakan membayangkan pertemuannya nanti dengan Furi.

Pagi itu, Lana berencana menemui Furi di pos penjaga Jurang Akhir. Ia ingin mengucapkan terima kasih sekaligus memberikan sedikit hadiah untuk Furi. Di pangkuannya sudah siap sebuah kotak berwarna hijau tua dengan hiasan pita berwarna emas di luarnya. Isinya adalah sebuah jam tangan mewah lengkap dengan sertifikatnya yang ia ambil dari lemari koleksi papanya.

Lana tidak memiliki banyak waktu untuk membeli hadiah baru, sementara ia ingin segera memberikan hadiah dan mengucapkan terima kasih kepada pemuda yang menolongnya kemarin. Jadi, ia hanya menyiapkan hadiah dari apa yang ada di rumahnya saja. Ia yakin papanya tidak akan keberatan. Apalagi jika dirinya menjelaskan mengenai insiden yang hampir merenggut nyawanya kemarin.

Semalam tadi tidurnya kurang nyenyak karena terus dihantui oleh bayangan Furi yang pergi begitu saja begitu selesai mengantarnya pulang. Itu membuatnya merasa tak enak hati dan merasa bersalah. Bahkan, dirinya belum sempat mengucapkan terima kasih.

Mendekati Jurang Akhir, debaran di dada Lana terasa makin tak terkendali, membuat telapak tangannya berkeringat dan napasnya pun sesak.

"Pak Diding, tolong berhenti sebentar di depan pos PKJR* itu ya." Lana berkata kepada sopirnya dengan suara gemetar karena gugup.

"Ngapain, Non?" Pak Diding bertanya heran.

"Ada perlu sedikit," jawab Lana cepat. "Tapi, jangan bilang-bilang Papa sama Mama, ya, kalau Lana pernah ke sini."

Pak Diding hanya tersenyum, tapi tetap mengikuti kemauan anak majikannya itu. Ia menghentikan mobil tepat di depan pintu pos. "Jangan lama-lama, ya, Non. Nanti telat ke sekolahnya."

"Cuma bentar, kok." Lana menjawab sambil keluar dari mobil.

Ia berdiri di tepi jalan sambil mengamati petugas yang saat itu sedang mengatur jalan raya di tengah tanjakan. Hantaman rasa kecewa ia rasakan di dada ketika menyadari bahwa petugas itu bukanlah pemuda yang kemarin menolongnya.

"Ada yang bisa dibantu, Dek?" Seorang pria paru baya keluar dari pos, menghampiri Lana.

"Maaf, Pak. Apa Furi ada?"

"Wah." Pria itu mengamati Lana dengan dahi berkerut, lalu menjawab, "Kalau jam segini dia belum datang. Biasanya siang atau sore. Maaf, kalau boleh tau ada masalah apa, ya, sama Furi?"

"Hmm, nggak ada masalah apa-apa, kok, Pak." Lana bimbang, tapi kemudian ia memutuskan untuk menitipkan hadiah untuk Furi kepada bapak itu. "Kalau saya titip ini saja, untuk Furi apa bisa, Pak?"

"Ohh, bisa." Bapak itu menerima kotak yang diberikan oleh Lana masih dengan sorot bingung. "Nanti saya bilang gimana sama Furi?"

"Tolong bilang saja dari Lana, Pak. Furi pasti tahu."

"Ohh, gitu. Baik, Nanti Bapak sampaikan."

"Terima kasih banyak, Bapak." Lana membungkukkan badannya sedikit, lalu berbalik badan, dan kembali masuk ke dalam mobil.

Lana mendesah pelan. Ia sendiri tidak tahu mengapa, tetapi rasa kecewa karena tidak bisa berjumpa dengan Furi bercokol sangat kuat dalam dadanya. Itu membuat semangatnya untuk menjalani hari itu pun menguap. Kedua bahunya terkulai dengan wajah layu. Seperti ada sesuatu yang kurang hari itu, tapi apa, ia sendiri tidak tahu.

"Furi," desahnya pelan sambil menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, sementara matanya menatap kosong ke luar kaca.

Rasa kecewa dan gelisah itu terus berlanjut sampai saat Lana tiba di sekolah. Itu membuat kedua sahabatnya, Karen dan Yura, heran.

"Kamu kenapa, sih?" Karen bertanya dengan raut heran. "Sejak datang tadi muram terus."

Bukannya menjawab, Lana malah merebahkan kepalanya ke atas meja.

"Kamu nggak enak badan?" Yura menempelkan punggung tangannya ke dahi Lana.

"Entah," desah Lana.

"Lha? Emang yang kamu rasain sekarang, tuh, apa?" Yura menundukkan kepala agar bisa meneliti wajah sahabatnya itu.

Lana menggeleng masih dengan kepala berada di atas meja. Matanya terpejam erat saat senyum Furi kembali hadir di kepalanya, membuat hatinya terasa makin kacau.

Ia pun mencoba mengingat kembali sosok Furi dengan lebih baik. Dadanya bidang dengan postur tegak; Kulitnya gelap eksotis dengan beberapa otot yang menonjol di sepanjang lengannya; Penampilannya biasa saja dengan kaus putih yang sudah tipis dan celana hitam yang sobek di bagian lutut. Akan tetapi, senyum teduhnya, nada suaranya, dan perhatian sederhananya membuat Lana meleleh.

Sekali Lana mendesah berat. Hasrat hatinya mengatakan bahwa dirinya harus menemui Furi lagi, tapi untuk alasan apa?

Kemudian, sebuah tepukan keras mendarat di pundak Lana, membuyarkan lamunannya akan Furi.

"Ada Yudha!" Yura memekik tertahan.

"Hah! Kirain apaan." Lana yang tadinya menegakkan badan karena mengira ada guru datang pun kembali membaringkan kepala ke atas meja. Hal itu membuat Karen dan Yura saling pandang keheranan karena Yudha adalah gebetan Lana di sekolah.

Biasanya, Lana akan melonjak kegirangan ketika bertemu atau sekedar berpapasan dengan Yudha. Ia sudah menyukai cowok berkulit putih dengan tubuh tinggi semampai itu sejak awal masuk SMA. Bisa dibilang sudah hampir tiga tahun ini Lana menyimpan rasa suka untuk Yudha.

Yudha tampan dengan wajah dan fisik mirip dengan Kim So Hyun. Dia merupakan salah satu cowok paling diincar di sekolah. Akan tetapi, saat itu minat Lana kepada cowok itu tiba-tiba saja menguap entah ke mana. Penampilan bersih dan rapi Yudha tiba-tiba saja tidak lagi menarik bila dibanding dengan Furi yang apa adanya.

Kehebohan Karen dan Yura semakin menjadi-jadi ketika Yudha masuk ke kelas Lana. Tidak menghampiri meja Lana, hanya berhenti di dua bangku depan Lana untuk meminjam buku pada temannya.

"Sst, Yudha ngeliatin kamu!" Karen berusaha menahan pekik histerisnya.

Ia menarik sejumput rambut Lana, berusaha membuat sahabatnya itu menyadari kehadiran Yudha yang terang-terangan mencuri pandang ke arah Lana, tapi respon sahabatnya yang tidak biasa itu membuatnya menganga lebar. "Kamu beneran Lana, kan?"

Lana memang menegakkan badan, tapi tidak menoleh ke arah Yudha atau dua sahabatnya. Ia lanjut berdiri, lalu meninggalkan Karen dan Yura yang masih menatapnya heran sambil berkata, "Toilet."

Lana melewati Yudha yang juga terlihat terkejut dengan sikap cuek itu. Biasanya, ia pasti menyapa sambil melemparkan senyum malu-malu ke arah Yudha, tapi saat itu ia benar-benar sudah kehilangan minat terhadap cowok itu. Yang ada di pikirannya hanya Furi, Furi, dan Furi.

"Ada apa dengan Furi?" Ia bertanya pada dirinya sendiri.

***