webnovel

Pemilik Bar

Marko dan teman-temannya mengalihkan perhatian mereka saat mendengar suara seseorang wanita.

"Maya, ngapain kamu di sini?" tanya Bima penasaran.

"Mau ketemu pacarku lah."

"Pacar kamu? Pacar kamu yang mana?"

Huh, Marko mendengus kesal mendengar jawaban Maya. Marko pikir Maya orang yang bisa menjaga janji, tapi tidak disangka Maya orang yang suka ingkar. Melihat itu, Marko semakin muak dengan Maya. Apalagi Maya mengatakannya di depan teman-temannya.

"Iya Maya, pacar kamu siapa?" sahut Bagas yang tak kalah penasaran.

"Ini pacarku."

Maya menggandeng tangan Marko posesif, membuat pemiliknya merasa risih. Marko berusaha melepaskan tangannya, tapi Maya terlalu erat menggandengnya.

"Kamu sama Marko pacar?" balas mereka terkejut.

"Iya, aku dan Marko sudah resmi pacaran."

"Sepertinya Maya jadi gila gara-gara sering ditolak Marko," ucap Gilang yang langsung membuat Maya marah.

"Jangan sembarang bicara kamu ya! Aku sama Marko beneran sudah resmi pacaran. Iya kan sayang?"

Rasanya Marko ingin muntah mendengar Maya memanggilnya. Marko pun kesal dan langsung menarik tangannya.

"Marko," protes Maya.

"Marko, kamu sama Maya beneran pacaran?"

Marko tak menjawab. Pandangannya melihat ketiga temannya yang terlihat sangat penasaran. Mereka juga tidak sabar ingin segera mendengar jawabannya.

"Iya."

Setelah mengucapkan itu, Marko langsung melangkahkan kakinya pergi.

"Kalian dengar sendiri kan kalau aku dan Marko sudah pacaran?" kata Maya bangga.

"Kok Marko bisa mau sama nenek sihir ya?" kata Gilang kaget, tak terkecuali yang lainnya. Mereka benar-benar masih tidak percaya dengan yang mereka dengar.

"Apa kamu bilang? Aku aduin ya sama Marko, biar kalian di marahin."

"Aduin saja sana. Aku yakin Marko tidak akan perduli sama kamu."

"Aku itu pacaran. Jelas dia akan perduli sama aku."

"Kalau dia perduli sama kamu, dia tidak akan mungkin pergi."

"Itu mungkin karena dia sibuk."

"Sudah Gilang, tidak usah perdulikan dia. Percuma saja, ayo kita susul Marko," sahut Bima.

"Iya, ayo kita pergi."

Bima dan yang lainnya melangkahkan kaki mereka pergi meninggalkan Maya.

"Terima kasih ya Rafa. Sudah ngajak aku jalan-jalan," kata Debi setelah mereka sampai di parkiran kampus.

"Iya, sama-sama."

"Kalau begitu aku keluar dulu ya?"

"Eh, tunggu."

Rafa mengambil salah satu goodie bag yang ada di kursi belakang.

"Ini untuk kamu."

"Untukku?"

"Iya, untuk kamu."

"Bukannya kamu mau membelikan tas ini untuk Kakak kamu?"

"Iya, satu sudah cukup. Dan ini yang satunya untuk kamu."

"Gak usah deh, aku kebagusan kalau pakek tas ini."

"Gak apa-apa, biar kamu tambah cantik."

"Tapi....."

"Ambil saja. Aku sengaja membelikan tas ini untuk kamu."

Debi masih diam dan melihat goodie bag itu. Rasanya Debi tidak pantas memakai barang yang harganya fantastis baginya.

"Sudah, tidak usah banyak mikir-mikir. Tas ini sengaja aku belikan untuk kamu."

Rafa menaruh goodie bag itu di atas pangkuan Debi. Meski Debi merasa tidak enak hati untuk menerimanya, tapi Debi juga tidak mungkin mengembalikannya.

"Aku terima tasnya, tapi lain kali jangan seperti ini ya?"

"Iya, gak lagi-lagi kok. Tapi gak janji."

"Kalau gitu aku gak mau menerima tas ini."

"Eh, jangan dong. Iya deh, aku janji tidak akan membelikan kamu tas."

"Awas ya kalau kamu sampai mengingkarinya."

"Iya, aku tidak akan mengingkarinya."

"Ya sudah, kalau begitu aku keluar."

"Iya."

Debi membuka pintu mobil, dan berjalan keluar dari dalam sana.

Cklek

"Kok kembali lagi? Gak bisa jauh-jauh dariku ya?" kata Rafa tersenyum senang. Tapi senyumannya menghilang saat mengetahui seseorang yang membuka pintu.

"Marko, aku kira siapa."

"Om kira aku siapa? Wanita yang Om taksi ya?"

Rafa tersenyum sebagai jawaban untuk keponakannya.

"Jadi tadi Om habis jalan-jalan sama wanita yang Om taksi?"

"Iya Marko."

"Pantas saja aku cari-cari tidak ada. Gak tahunya malah jalan-jalan sama gebetannya."

"Memangnya ada apa kamu mencari Om?"

"Aku mau pulang."

"Tumben pulang cepet?"

"Iya, aku lagi sebel."

"Sebel kenapa lagi? Apa gara-gara wanita yang tadi pagi itu?"

"Iya, siapa lagi kalau bukan dia."

"Kenapa kamu gak putus saja sama dia? Daripada kamu terus dibuat kesel kayak gini."

"Aku pinginnya juga gitu Om, tapi aku pacaran sama dia karena ada alasannya."

"Terserah kamu mau bagaimana Marko. Kamu sudah dewasa, dan kamu bisa menentukan pilihan kamu sendiri."

"Iya Om. Sekarang kita pulang."

"Iya, siap."

Rafa menghidupkan mesin mobilnya, dan melajukannya pergi.

Di tengah jalan raya. Marko tidak sengaja melihat goodie bag yang ada di kursi belakang.

"Di belakang ada goodie bag apa Om?"

"Oh itu, itu isinya tas"

"Mau buat apa Om Rafa beli tas?"

"Apa kamu lupa Marko, satu minggu lagi kan Mama kamu ulang tahun."

"Ya Tuhan, aku sampai tidak kepikiran Om."

"Kamu ini bagaimana sih Marko. Ulang tahun Mama kamu sendiri, tapi kamu malah lupa."

"Maklumlah Om, aku kan lagi sibuk sama skripsi."

"Sekarang kan kamu sudah ingat. Jadi kamu mau membelikan Mama kamu apa?"

"Belum tahu Om. Nanti aku pikirin deh Om."

"Oke. Jangan-jangan, keburu ulang tahun Mama kamu tiba."

"Iya Om."

Meski suara musik memekakkan telinga, namun Debi yang sudah terbiasa. Merasa tidak terganggu. Debi melakukan aktivitasnya setiap malam. Menghampiri setiap meja untuk mengantarkan pesanan.

"Debi."

Debi yang saat itu baru selesai mengantarkan pesanan. Mengalihkan pandangannya saat mendengar namanya dipanggil.

"Rafa."

Debi tersenyum, dan berjalan mendekati Rafa.

"Mau pesan apa Rafa?"

"Aku pesan seperti biasa saja deh."

"Ada tambahan lagi tidak."

"Enggak deh, itu saja."

"Oke, tunggu sebentar ya?"

"Siap."

Debi berjalan mendekati bartender untuk mengambilkan pesan Rafa.

"Mas Doni, satu kopi hangat ya?"

"Ini bar Debi, bukan cafe."

"Tapi Mas, ada pelayan yang memesan itu."

"Memangnya pelayan sinting mana yang pesan kopi di tempat seperti ini?" balas Doni sembari tersenyum mengejek.

"Itu, laki-laki yang duduk sendirian," tunjuk Debi.

"Yang mana?"

"Itu Mas Doni, yang pakek kemeja biru."

Doni menatap laki-laki yang tidak ia kenali wajahnya, namun saat laki-laki itu mengalihkan pandangannya. Doni pun terkejut dan menuruti ucapannya tadi.

"Ya Tuhan, b*dohnya aku. Bisa-bisanya aku bicara seperti tadi. Kayak gak butuh kerjaan banget aku."

"Memangnya kenapa? Kenapa Mas Doni tiba-tiba panik?"

"Bagaimana aku tidak panik? Aku mengatai bosku sendiri."

"Memangnya laki-laki itu bosnya Mas Doni?"

"Iyalah, dia bosku, begitu juga kamu."

"Kok aku juga sih Mas Doni? Kan kita kerja bareng hanya di sini, tidak di tempat lain?"

"Memangnya kamu pikir aku bekerja di tempat lain juga? Aku hanya bekerja di sini tahu."

"Terus kok Mas Doni bilang kalau laki-laki itu bos kita? Dia kan teman kuliahku."

"Teman kuliah kamu dari mana? Itu Pak Juna, pemilik tempat ini."

"Apa?"