webnovel

Maaf Ya

Begitu kelas terakhirnya usai, Seira berjalan menuju halte, menunggu angkot. Sambil menunggu, sesekali Seira melirik jam yang melingkar di tangannya. 

Tittt!

Suara klakson mobil mengagetkan. Gadis itu mengalihkan pandangannya ke depan. Dilihatnya sebuah mobil hitam terparkir di hadapan. Kaca mobil itu terbuka perlahan memunculkan batang hidung seorang cowok yang dia kenal. 

"Nunggu angkot ya?" tanyanya tersenyum.

"Iya." Seira membalas sambil membungkukkan sedikit tubuhnya. 

Teringat dengan kejadian tadi, Seira kembali menegakkan badannya, dan jadi waspada. Keningnya mengerut saat dilihatnya cowok itu tertawa kecil. 

"Ayo masuk, aku antar." Cowok itu tersenyum kemudian. 

Seira ragu menatap cowok itu. 

"Nggak bakal diapa-apain kok, ayo masuk, biar aku antar." 

Entah sejak kapan cowok itu sudah ada dihadapannya membuat Seira mundur selangkah. Dia mendadak jadi tegang. 

Lagi, kali ini cowok itu menahan tawanya saat dilihatnya ekspresi Seira. "Kaya ke orang asing aja," kembali dia bicara. Tapi Seira masih setia bungkam, mendadak bisu. "Ya udah kalo nggak mau, aku duluan saja," katanya kemudian. Tapi belum juga beranjak kembali ke mobilnya. Barangkali gadis itu berubah pikiran.

Gadis itu menatapnya. Sesungguhnya ada banyak hal yang ingin dia tanyakan pada cowok itu, tapi bingung bagaimana harus memulai. Seira sadar, dia jadi bersikap formal padanya. "Nggak apa-apa?" dia angkat bicara. Cowok itu menatapnya. "Kita nggak bakal ngerepotin? Beda arah loh," lanjutnya.

Dia tertawa. Entah berapa kali cowok itu tertawa. "Kan aku yang nawarin. Ya udah kalo kamu mau, aku senang sebenarnya," katanya dengan nada bercanda dan membuat Seira mendengkus kecil. "Ya udah, yuk." Cowok itu berbalik, membukakan pintu mobil samping kemudi.

Seira terdiam menatap cowok itu. "Aku nggak mau jadi sopir, jadi duduk di samping aja. Kamu tuh doyan banget ya bikin orang jadi keki," katanya. Seira tertawa.

"Ya udah, makasih, Al," ucapnya dengan senyum kecil yang dipaksakan.

Alvin, cowok itu mengangguk dan menutup pintu mobil begitu Seira sudah sempurna masuk dan duduk dengan baik. Dia kemudian sedikit berlari ke samping, membuka pintu dan duduk di depan kemudi. Entah mengapa, ada sensasi aneh saat berada di dekat gadis itu. Gadis yang telah lama bersama dengannya, yah dalam hubungan sahabat. Ada suatu ketertarikan yang membuat dirinya ingin sekali menjaga Seira dengan baik. Menjadi sahabatnya, tentu saja Alvin tahu tentang pengalaman menyakitkan bagi Seira.

Mobil melaju meninggalkan gedung kampus, tanpa menyadari seseorang memperhatikan dari kejauhan dengan tatapan yang tidak bisa di artikan. Satu yang bisa ditangkap dari sorotnya, kemarahan, atau cemburu, mungkin.

Mobil melaju membelah jalanan kota dengan senja yang menjadi latar. Hening, keduanya tidak ada yang bicara. Hanya terdengar deru mesin dan kendaraan yang berlalu-lalang di jalanan. Angin berembus menerbangkan debu yang berbaur dengan asap kendaraan, menyatu menjadi polusi.

Seira mengotak-atik dashboard, mencari sesuatu. Dia sudah biasa bersama Alvin, jadi bisa melakukan apapun sesukanya seolah lupa dengan apa yang sempat terjadi tadi. Dia menyalakan musik untuk menemani keheningan mereka. 

Alvin sendiri mengetukan jarinya di stir, berpikir sesuatu. 

Ekhem! 

Dia berdeham kecil. Melirik Seira sekilas, cewek itu menatap ke luar jendela usai memilih satu lagu yang kini mengalun lembut. Mendengar deham keecil Alvin, dia menoleh.

"Tentang yang tadi, maaf ya," katanya memulai pembicaraan. Seira menatapnya, Alvin balas melirik sekilas lalu fokus lagi pada jalanan.

"Nggak apa-apa, meski ingin bertanya kenapa?" Seira membalas dengan pernyataan sekaligus pertanyaan. "Jujur aja, kaget tadi," katanya jujur. Alvin meliriknya lagi dan terkekeh.

"Maaf ya, nggak maksud kok. Sebenarnya aku mau nyapa kamu tadi." Alvin menjeda membuat Seira menatapnya bingung. "Tapi nggak sengaja ketemu dia." Raut wajah Alvin berubah memerah pertanda marah. Seira tercengang melihatnya, tapi hanya sesaat lalu kemudian berusaha untuk tak menggubrisnya karena Seira belum tahu apa penyebabnya. 

Dia diam, tidak mau memancing kemarahan Alvin walaupun ada banyak pertanyaan berkecamuk dalam benaknya.

Seira tahu apa yang terjadi antara Alvin dan Arsyad? Tentu saja dia tidak tahu, meskipun Seira selalu ada di tengah-tengah mereka, menjadi pelerai, atau perantara antara mereka karena sebenarnya bisa dibilang, Seira, Alvin, dan Arsyid telah lama berhubungan. Tapi untuk masalah ini, sungguh, Seira tidak tidak tahu dan memutuskan menunggu penjelasan keduanya atau salah satu dari mereka.

"Sudah sampai," suara Alvin memecah lamunan Seira akan kelana ingatannya ke masa lalu. 

Pandangan Seira mengedar, dilihatnya sekitar, benar saja, di depannya berdiri rumah bercat baru berpadu dengan putih. Dia memutar matanya dan kembali melirik Alvin yang kini sudah kembali seperti biasa, tidak ada raut marah seperti yang sempat Seira lihat.

"Thanks, Alvin. Masuk dulu?" tawar Seira. 

"Nggak, makasih Sei, mau ada urusan. Tapi lain kali mungkin. Titip salam buat Ayah," kata Alvin. Seira menatap Alvin, lalu mengangguk. 

"Tentu. Ya udah, aku turun. Kamu hati-hati di jalannya," katanya mengingatkan. Alvin mengangguk. Seira turun dari mobil dan kembali menutup pintu, kemudian melambai pada cowok itu yang kembali melajukan mobilnya.

    ****

Alvin memang sering mengantar jemput Seira sejak lama, tapi karena insiden rebutan tak terduga di lapangan itu membuat Seira merasa aneh meskipun Alvin sudah menjelaskan situasinya, tetapi apa yang dirasakan Seira justru sebaliknya. Ada ketidaknyamanan yang hadir lebih dari biasanya. Kedekatan Seira dan Alvin bukan rahasia umum lagi, di kampus hampir semua mahasiswi atau bahkan seluruh warga kampus sudah tahu perihal kedekatan Seira dan Alvin. 

Meskipun diketahui banyak orang, bukan saja hubungan keduanya diketahui, tetapi juga mereka memiliki nilai baik di masing-masing bidang. Sebenarnya, baik Seira atau Alvin sama-sama tidak menyukai perhatian banyak orang. Tapi tugas yang mereka dapatkan mau tak mau mendapatkan perhatian, tentu saja mereka tahu cara yang baik untuk menyikapi semua itu.

Seira tidak tahu harus mengatakan apa lagi. Ada terlalu banyak kata yang ingin dia ungkapkan, tetapi tidak tahu kata apa yang harus dia pilih untuk memulai. Ada perasaan berbeda saat berdekatan dengan Alvin, tapi Seira memilih untuk diam karena tak ingin menghancurkan hubungan yang telah terjalin sejak lama. Seira akui, Alvin memang baik, dan selalu bisa menjaganya. 

Gadis itu melamun dengan tatapan tertuju pada langit kamar yang bercat biru, warna kesukaannya. Matanya mengedip, pikirannya kembali tertuju pada sorot lain dari Arsyid. Bila tadi dia memikirkan Alvin, kini otaknya seolah tidak ingin melewatkan kesempatan untuk membahas satu cowok lagi.

"Astaga, ada apa dengan cowok itu, sih?" Seira mendudukkan tubuhnya dalam sekali gerakan. "Tumben banget tatapannya berisi, biasanya datar. Apa ada masalah?" Dia bergumam. "Ish!" Kemudian mendesah sambil mengusap wajahnya kasar.

Entahlah. Sungguh, dia tidak tahu apa-apa. tapi, sekali lagi, cara pandang yang Seira lihat dari Arsyid tadi di kampus membuatnya bertanya-tanya. Kali ini pandangan Seira beralih pada benda pipih yang tergeletak di kasur, tidak jauh darinya. Hanya menatap tidak berniat untuk mengambilnya, lebih tepatnya dia bimbang.

Ingin rasanya bertanya, atau sekadar mengomel, tapi nyatanya ada sesuatu yang entah apa itu menahan Seira untuk mengambil ponsel itu dan menghubungi Arsyid. "Ish!" Dia mendesih sebal lalu kembali merebahkan tubuhnya.