Dean melirik speed boat yang menyerangnya telah berganti menyerang sekelompok bodyguard di belakang mereka. Dean tidak menurunkan kecepatannya sama sekali, ia merasa masih belum aman. Ia melirik Kim yang menunduk sambil memegang kepalanya, ia tersenyum miring lalu melihat jumlah bahan bakarnya yang masih ada beberapa liter lagi.
"Semoga cukup sampai ke pantai." Mereka akan segera menepi di pantai Miami, Florida.
Dean melambatkan laju speedboat-nya saat ia melihat pantai. Kim masih setia dengan posisinya, Dean menggelengkan kepalanya lalu merapikan rambutnya yang kusut karena angin yang menerpa wajahnya. Dari jauh ia melihat ada kapal yang ukurannya sangat besar walau tidak sebesar Sun Night, kapal itu milik angkatan laut yang sepertinya pergi untuk menyelamatkan penumpang Sun Night. Dean terkesan dengan kecepatan mereka mengirimkan bantuan dan ia berharap penumpang Sun Night bisa diselamatkan semua.
"Sampai kapan kau akan seperti itu?" tanya Dean.
"Apa kita sudah aman?" tanya Kim, ia melihat Dean dengan posisi menunduk. Rambutnya berantakan.
"Kita sudah menepi. Ayo turun." Dean turun duluan dan menyandang tasnya.
"Ini di mana?"
"Miami."
"Aku tidak percaya dibawa sejauh ini oleh penculik itu." Kim turun dan mengikuti Dean dari belakang. Seumur hidup Kim baru kali ini ia berada di tempat yang sangat jauh.
"Kau ikut bersamaku dulu. Nanti akan aku antar ke Denver," ucap Dean.
"Tidak usah, aku bisa kembali sendiri." Lagi-lagi Kim menolak tawaran Dean.
"Tidak apa-apa, lagi pula setelah ini aku ingin ambil libur dulu dan aku belum memutuskan untuk ke mana."
"Kau sudah banyak membantuku dan aku tidak ingin merepotkanmu lagi."
"Lalu kau akan kembali naik apa?"
Kim kebingungan, ia sama sekali tidak tahu harus kembali ke Denver pakai apa. Uangnya pun sudah tidak ada.
"I-itu…." Kim tidak mampu menjawabnya.
"Tidak tahu, kan," ucap Dean. "Lalu setelah ini apa rencanamu ke depannya? Kau akan kembali ke tempat kerjamu yang lama?" Dean membalik badannya dan menatap Kim yang berada di belakangnya.
"Aku belum tahu, yang jelas aku tidak akan bekerja lagi di sana dan sepertinya aku harus mencari pekerjaan baru."
"Apa kau memiliki keluarga?"
"Tidak. Orang tuaku sudah meninggal lama dan kakekku meninggal dua bulan yang lalu."
"Mungkin itu salah satu alasan mengapa managermu menjual dirimu pada mereka, karena kau sudah tidak memiliki keluarga dan tidak ada yang akan peduli jika kau menghilang."
"Kau benar," ucapnya lemah.
"Apa kau ingin ikut bersamaku kembali ke New York? Pasti ada banyak pekerjaan di sana. Kau bisa membuka lembaran baru."
Kim diam. "Aku tidak bisa memutuskannya sekarang."
"Pikirkanlah matang-matang." Dean membalikan badannya dan berjalan kembali, Kim mengikutinya dari belakang.
Dean menuju ke sebuah hotel dan memesan dua kamar, satu kuncinya ia berikan pada Kim. Setelah meletakan tas dan membersihkan badan, Dean mengajak Kim keluar untuk makan dan berbelanja pakaian untuk Kim, kali ini ia membiarkan Kim memilihnya sendiri. Kim sudah berkali-kali menolaknya tapi Dean terus memaksanya dan akhirnya Kim menerimanya. Mereka menuju sebuah restoran tidak jauh dari hotel lalu berbelanja pakaian di pusat perbelanjaan, ada banyak toko berjejer di sepanjang jalan. Kim mengambil satu potong kaos biasa tapi Dean memilihkan hingga empat pakaian yang berbeda, bahkan ia memaksa Kim mencari celana serta perlengkapan lainnya. Kim pasrah dan tidak mau berdebat lagi dengan Dean.
"Aku pasti akan mengganti yang kau keluarkan untukku," ucap Kim ketika mereka keluar dari toko pakaian.
"Hahaha… tidak usah. Membelikan kau baju cuma perkara kecil. Kau tidak perlu sampai menggantinya," ucapnya santai.
"Dasar sombong. Apa gajimu cukup untuk berfoya-foya seperti ini," ucap Kim kesal.
"Jauh lebih dari cukup dan kadang aku bingung akan digunakan untuk apa gajiku itu."
Mereka duduk di sebuah taman, Dean membelikannya minuman kaleng dingin.
"Apa pekerjaanmu selalu seperti itu?" tanya Kim setelah meneguk minuman.
"Ya dan terkadang berurusan dengan nyawa."
"Apa kau tidak takut?" Kim bergidik ngeri.
"Hmm… tentu saja. Siapa yang tidak takut dengan pekerjaan yang beresiko sebesar itu," katanya. Dean menatap lurus ke depan.
"Apa kau tidak berniat berhenti?"
"Aku tidak bisa." Ia menatap Kim lalu tersenyum.
"Pasti berat untukmu." Kim tidak bisa membayangkan pekerjaan apa lagi yang dilakukan Dean. Dean tersenyum, ia tidak membalas ucapan Kim.
Dean dan Kim berada di taman itu sampai matahari tenggelam, mereka menikmati suasana taman sambil melihat orang berlalu lalang. Mereka berpisah dan masuk ke kamar masing-masing, Kim meletakan barang belanjaannya di atas sofa lalu merebahkan diri di atas kasur empuk, ia tersenyum. Badannya baru terasa sangat letih dan matanya sudah sangat berat. Kim tidak langsung tidur, matanya tertuju pada remot televisi yang berada di nakas, ia meraihnya dan menghidupkan televisi.
Berita soal tenggelamnya kapal pesiar Sun Night menjadi topik utama di seluruh stasiun televisi, Kim melihat penumpang kapal tersebut satu persatu naik ke kapal penyelamat. Ia merasa lega melihatnya, tapi menurut reporter ada korban yang tidak bisa diselamatkan dan jumlahnya belum pasti. Mengingat banyaknya penumpang kapal itu pasti ada beberapa orang yang tidak bisa menyelamatkan diri, terlebih orang yang berada di dekat bom yang meledak itu. Reporter itu juga melaporkan jika perusahaan pemilik Sun Night mengalami kerugian ratusan juta dollar, angka yang luar biasa fantastis. Kepolisian masih menyelidiki siapa pelaku pemasang bom tersebut.
"Jika aku tidak bertemu dengan Dean dan tidak diselamatkan olehnya, mungkin kini aku masuk daftar salah satu korban yang meninggal," ucapnya lirih. Kim mengehela nafas panjang. Kantuknya pun menghilang, Kim fokus pada berita yang ditayangkan di televisi berlayar datar itu.
***
Dean sibuk mengetik laporan pekerjaannya, ponselnya dari tadi terus bordering. Dean melirik ponselnya di sana tertera nama Lion, Dean mengdengkus kesal. Ia berniat mengabaikan telpon dari atasannya itu, menit berlalu tapi ponselnya terus bordering dan membuat Dean sangat kesal, kosentrasinya pun menjadi buyar. Ia meraih ponsel yang tergeletak di sampingnya dengan sangat kasar, lalu menggeser tombol hijau.
"Ya," jawabnya kesal.
"Begitukah caramu menjawab panggilanku!" Pria dibalik sambungan telpon itu marah, bagaimana tidak, ia menghubungi beberapa kali dan tidak diangkat.
"Kau sangat berisik, Victor. Aku sangat tergangu karena kau yang terus menghubungiku," berangnya.
"Hey! Aku ini atasanmu! Apa masalahnya jika aku menghubungimu." Victor berbalik marah.
Ia dan Dean selalu seperti ini, Dean memang tidak pernah menghormatinya sebagai atasan dari dulu. Victor pun tidak mempermasalahkannya, ia tidak peduli dengan sikap Dean yang terkadang akan sangat menyebalkan. Lagi pula karena dirinya lah Dean selalu mendapatkan tugas yang berbahaya, seperti menyelidiki kapal pesiar Sun Night misalnya. Ia tahu resikonya sangat besar, terlebih banyak orang-orang yang berpangkat tinggi terlibat dalam acara pelelangan itu. Tapi hanya Dean yang bisa ia andalkan untuk pekerjaan seperti ini, terlebih anggota unit S yang lain juga sibuk menjalankan tugasnya masing-masing.
"Kau, kan, tahu jika aku tidak suka diganggu di saat aku sedang fokus dengan pekerjaanku. Kosentrasiku bisa pecah," ucapnya kesal.
"Ok, ok… maafkan aku. Aku hanya ingin memastikan jika kau baik-baik saja," balas Victor. Dean mendengkus, wajahnya sangat masam.