Langkah Ara berhenti di pantri tempat para karyawan-karyawati biasa membuat kopi.
Gara-gara Misha, semalaman ia bergelut dengan pikirannya sendiri untuk menyetujui ide gila sahabatnya atau menolaknya mentah-mentah. Alhasil, ia terjaga semalaman dan mengantuk sekarang. Padahal pekerjaan yang baru saja dilimpahkan Anita selaku kepala divisinya 'ga ngotak' sama sekali alias super banyak!
"Ra, aku cariin taunya di sini aja!" ujar Misha tiba-tiba muncul di hadapan Ara. "Eh by the way, kamu udah dihubungi sama pihak acara belum, sih?"
Dalang dari segala macam perkara ini tidak membiarkannya bernapas sedikit pun!
"Ada," jawab Ara malas. "Tapi kalo kamu mau nanya panjang kali lebar ... nanti aja! Aku masih harus ngerjain tugas dari Bu Anita, oke?" tegas Ara.
Setelah memastikan gelasnya terisi penuh oleh kopi dari dispenser, Ara buru-buru pergi. Mana mau dia berlama-lama ke pantri itu apalagi bersama Misha. Intinya kalau tidak kabur sekarang, Ara tidak akan punya waktu lain untuk kabur!
Saking buru-burunya Ara berjalan, ia tidak sadar kakinya terpelecok dan air dalam gelas di tangannya mendarat tanpa aba-aba.
"Awas!" teriaknya sebelum tubuhnya terbanting sempurna di lantai marmer.
Tapi bukan itu yang ia khawatirkan ... melainkan air kopi yang kini mendarat ke jas setelan milik lelaki di hadapannya. "E-eh maaf, Pak! Maaf! Biar saya bantu bersihkan!" Buru-buru Ara berdiri, namun terjatuh lagi ke lantai yang dingin itu.
"Kamu gapapa?" Entah mimpi apa Ara semalam, laki-laki rupawan di hadapannya mengulurkan tangan untuk membantunya berdiri.
"S-saya ga-gapapa Pak, sa-saya bi-bisa berdiri ses-sendiri," jawab Ara tergagap.
Lelaki itu menoleh ke arahnya. "Baguslah kalau kamu gapapa, saya cuma mau ambil pena saya yang jatuh di sebelahmu. Kamu ga salah sangka, kan?" Lelaki itu melirik tangannya yang dijabat oleh Ara.
"E-eh... i-itu ta-tadi ada nya-nyamuk Pak!" Alasan yang tidak berakhlak keluar dari mulut Ara. Ia buru-buru melepas tangannya, kenapa pula ia terpesona sesaat.
Bruk!
Karena melepas tangan lelaki tersebut, Ara kembali jatuh.
Bagai jatuh, tertimpa tangga berikut kaleng catnya, Ara sudah tidak tahu bagaimana harus menaruh wajahnya sekarang. Ia benar-benar malu tetapi dengan santai lelaki itu segera memungut penanya dari lantai dan berdiri kembali. "Kamu ... nama kamu siapa?" tanyanya.
"A-ara, Pak. Diara Alvani," jawab Ara tergagap.
"Oh, kalau gitu kamu dipecat." Lelaki itu berkata tanpa ragu.
Sontak, mata Ara membulat sempurna. "M-maaf, Pak?" Ara masih tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.
"Kamu dipecat," ulang lelaki tersebut.
"T-tapi ke-kenapa, Pak?" Mata Ara memerah, sebisa mungkin ia menahan tangis yang ingin luruh dari kedua matanya. "Sa-saya minta maaf kalau saya ada salah, Pak. Ta-tapi tolong jangan pecat saya. Sa-saya akan bekerja lebih rajin lagi kok, Pak!"
"Sa-saya juga belum pernah bolos selama setahun bekerja ini lho, Pak. Saya juga belum pernah menggunakan hak cuti saya!" Ara masih terus mencoba untuk membujuk lelaki itu agar tidak memecatnya.
Ia tidak tahu apa jabatan lelaki di hadapannya ini, tapi melihat jas rapi yang dikenakannya Ara dapat berasumsi bahwa ia merupakan salah satu orang penting perusahaan. Mana ada karyawan biasa mau pake jas lengkap rapi dan komplit seperti lelaki itu.
"Kamu udah mengotori jas saya, lho. Masih minta ampun lagi." Lelaki itu menggelengkan kepalanya.
"Saya ga sengaja, Pak. Saya mohon maaf." Ara menundukkan kepalanya. "Saya ganti deh Pak jasnya Bapak dengan tabungan saya, asal sayanya ga dipecat." Ara masih terus berusaha untuk bernegosiasi.
"Memangnya kamu tahu berapa harga jas saya?!"
Nada suara lelaki itu menaik, membuat Ara langsung bergidik ngeri. "Ti-tidak tahu, Pak." Ara menjawab tanpa mengangkat kepalanya, ia memilih untuk melihat sepasang sepatu flat mengkilap miliknya daripada wajah lelaki itu.
Ganteng-ganteng galak.
"Kalau ngomong itu lihat ke orangnya, bukan ke sepatu." Teguran itu membuat Ara terkejut, terlebih saat lelaki itu menarik dagunya ke atas, mempertemukan pandangan mata keduanya.
"E-eh ...."
"Setelan ini ... hanya ada lima puluh pieces per tahunnya dibuat karena ini eksklusif banget. Kalau kamu ga percaya, kamu bisa cek di google dengan keyword Kiton K-50. Itu biar kamu ga ngeremehin harga setelah jas."
Lelaki itu melepaskan tangannya dari dagu Ara. Ia membalikkan tubuhnya dengan elegan. "Segera ke HRD untuk mengambil pesangon terakhir kamu, dan setelah itu beliau akan memberikan rekomendasi pindah kerja kepadamu."
Lalu, lelaki itu sudah berjalan meninggalkan Ara.
Ara rasanya ingin menangis saat sosok tersebut menghilang dari pandangan matanya. "I-ini aku beneran dipecat?" gumamnya lirih.
Misha, yang kebetulan menonton dari awal hingga akhir pertunjukan tadi segera menepuk pundak Ara pelan.
Plok.
"Ah, gilak. Ternyata Pak Josh ganteng banget, yah. Ra, kamu yang sabar yah. Meskipun kamu dipecat, seenggaknya kamu udah bikin kita semua bisa ngeliat lama muka ganteng Pak Josh. Itu prestasi lho," ucap Misha sambil menepuk terus pundak Ara.
Ara melihat ke sekeliling, mendapati kerumunan karyawati memandang siluet Pak Josh yang sudah menghilang dengan tatapan lapar ala buaya. "Gila kamu Mish, mana bisa aku senang setelah dipecat!" Ara menghempas pelan tangan Misha.
Gadis itu menyimpan kembali gelasnya yang sudah kosong dan bergegas menuju toilet.
"Ra, aku cuma bercanda kok, Ra. Ra, Ara ...."
Panggilan Misha sama sekali tidak dihiraukan oleh Ara. Perempuan itu dengan cepat masuk ke dalam bilik toilet dan duduk di tutup toilet.
Ara mulai menangis.
Hancur sudah kariernya yang dia impikan. Setelah kehilangan Yudis, kini dia kehilangan pekerjaannya.
Ara menangis semakin keras.
"Hiks ... hikss, habis sudah. Tu-Tuhan, kenapa Engkau memberi cobaan yang begitu besar? Hi-hiks ...."
Ara tahu bahwa mengeluh memang tidak ada gunanya, tapi saat ini ia benar-benar tidak kuat.
Ia masih tabah ketika Yudis meninggalkannya dan memilih Gea si perempuan janda kaya raya paket komplit dengan tubuh bak gitar spanyol itu, tapi ia tidak bisa tetap tabah ketika menerima berita pemecatan seperti ini.
Benar-benar tidak adil.
Bagaimana ia bisa membuat Yudis menyesal kalau kondisi finansialnya terombang-ambing?
Malang sekali nasib Ara.
Awalnya ia mengira dirinya baru saja ketiban pria tampan, mapan, dan rupawan. Ternyata, ekspektasinya ketinggian.
Memang Pak Josh tampan, mapan, dan rupawan, tapi tidak dermawan yang baik hati dan suka membantu.
Nasib sial karena yang menabrak lelaki itu malah Ara.
Tok. Tok. Tok.
"Ra, kamu di dalem?" suara Misha terdengar dari luar sembari mengetuk pintu bilik Ara. "Kamu dicariin sama Pak Arga, tuh."
"Ce-cepet banget aku dicarinya, hiks." Ara masih enggan keluar dan terus menangis, terlebih ketika Misha menyebut nama bapak berambut setengah botak yang bertugas di bagian Human Resource Development itu.
"Mis, emang setelah kemeja Kiton K-50 itu mahal yah?" tanya Ara yang masih penasaran dengan harga jas tersebut. "Itu tadi Pak Josh bilang cuma diproduksi lima puluh setel tiap tahunnya."
"Emm ... bentar aku coba tanya google." Misha lantas mengambil ponselnya dan mengetik keyword yang disebut oleh Ara. "Ga mahal sih, harganya kisaran lima puluh sampai enam puluh ribu ..."
"Lima puluh ribu?!" Ara langsung membuka bilik toiletnya.
"... dollar."
Gubraaak!
Ara luruh ke lantai. "Apanya yang ga mahal, Mis?"
-to be continued-