webnovel

Bagian 13

Beberapa saat kemudian, dia muncul dari danau dengan air yang menyembur ke sekitar. Rambutnya berwarna hitam pekat itu menempel pada pipi Rey itu.

Seluruh tubuh Rey benar-benar basah. Rey kemudian menatap ke arah ombak kecil di danau itu seraya bergumam kedinginan, "Uhh...."

Rey merasakan kalau ada bayangan melintas di hadapannya saat dia ditarik oleh sesuatu. Ketika dia kehilangan keseimbangannya, dia tenggelam dan menelan banyak air dan hampir kehilangan kesadarannya sebelum pada akhirnya Wolfie menariknya ke atas.

"Ah! Paman!!" Wolfie membawa Rey ke tepi danau, lalu menghela nafas lega setelah Rey mulai bernafas dengan normal lagi.

"Hey Paman... kamu akan demam kalau kamu basah kuyup seperti ini... biarkan aku menghangatkanmu oke?"

"Uhh..." Rintih Rey yang tidak fokus karena merasa kedinginan.

Melihat Rey tidak melawan, Wolfie menurunkan tubuhnya. Dia menggesekkan bibirnya melewati bibir Rey, menjilat tetesan air di tubuhnya. Lidahnya mengulum puting keras milik Rey, kemudian menghisap puting Rey di dalam mulutnya. Kemudian turun ke pinggangnya, lalu paha dan betisnya.

Saat Wolfie selesai menjilat seluruh tubuh Rey bagian depan, Wolfie memutar tubuh Rey, dengan perasaan bersungguh-sungguh menjilat setiap sudut punggungnya.

Bibirnya dengan cepat mencapai pantat Rey yang berbentuk bulat itu, dia membuka pipi pantat Rey kemudian menjulurkan lidahnya, bergerak-gerak di sekitar otot cincin lubang yang ketat itu...

"Uh... hmm..." Desar Rey tanpa sadar.

~~~~

Setelah memastikan dia menutup setiap bagian tubuh pucat milik Rey, Wolfie berbaring di sebelah Rey, menghela nafas dengan pelan.

Di bawah sinar bulan yang berkabut, Wolfie memasang wajah murung saat dia memperhatikan Rey yang sedang tidur nyenyak, dia tenggelam dalam lamunannya lagi.

Wolfie bukanlah seorang manusia dan dia tidaklah serumit yang dipikirkan oleh orang lain tentangnya.

Di dunia Wolfie, perasaan menyukai dan tidak menyukai seseorang akan di sampaikan secara langsung, perasaan seperti bagaimana dia tidak bisa menahan keinginan untuk mencium pria di hadapannya ini, dan bagaimana dia ingin memilikinya saat ini juga.

"Jangan diteruskan... oke?" Wolfie bergumam saat dia bermain dengan rambut Rey yang berwarna hitam kelam.

"Paman, penjaga di istana selanjutnya, kamu tidak akan mengerti bagaimana... Tolong jangan salahkan aku karena tidak memberitahukanmu jalan keluar dari labirin ini, aku benar-benar tidak ingin mengantarmu ke dalam kematianmu."

Wolfie memeluk Rey ketika dia berbisik, "Tolong jangan pergi."

Beberapa saat kemudian, ketika dia hampir terlelap, Wolfie duduk secara tiba-tiba. Dia mengusap matanya saat menoleh untuk memastikan Rey yang masih tertidur di sebelahnya. Dia merasa tenang dan tersenyum lagi.

"Kumohon jangan pergi oke-" Ucapnya sambil mengelus pipi Rey dengan lembut. Kemudian dia berbaring di sebelah Rey dengan memeluk tubuh Rey untuk memastikan Rey tidak merasa kedinginan di udara malam yang terbuka ini.

Pagi telah tiba saat cahaya matahari mulai bersinar menyinari bumi. Rey yang terbangun, mulai membuka matanya dengan perlahan dan langsung bertatapan dengan sepasang mata berwarna amber sedang menatapnya.

"AHH!" Rey seketika duduk menyebabkan dahinya terbentur dengan kepala Wolfie yang sedang berjongkok di depannya.

Wolfie mengerang kesakitan saat dia memegang kepalanya dan berguling di tanah.

Rey juga tidak lebih baik darinya saat dia menggosok dahinya untuk meredakan rasa sakit pada dahinya dan memberengut karena rasa sakitnya, "Apa yang sedang kau rencanakan lagi?!"

"Ugh... Aku hanya sedang melihatmu..." Kata Wolfie sambil mengusap kepalanya yang terasa sakit akibat terbentur dahi Rey.

"Kau... eh? Di mana bajuku..." Rey akhirnya sadar kalau dia telanjang. Dia mencoba menutupi bagian tubuhnya yang terbuka dengan kedua tangannya meskipun pada akhirnya gagal.

Wolfie menegakkan dirinya dan menjawab dengan penuh perhatian, "Aku mencucinya."

"... Semuanya?" Kata Rey tercengang. Dirinya tidak mungkin akan telanjang sepanjang hari ini bukan?

Wolfie mengalihkan pandangannya ke arah cabang pohon yang tidak jauh dari mereka, di cabang itu ada beberapa baju yang tergantung. Dia menjawab dengan tegas, "Yup! Se-mu-a-nya-".

"...." Rey terdiam mendengar Wolfie yang mengaku telah mencuci semua bajunya bahkan sampai pakaian dalamnya juga.

"Ayolah, Paman, jangan marah, ayo... ayo kita buat api unggun, dengan begitu kita bisa mengeringkan bajumu lebih cepat. Ada banyak ikan di danau, kita bisa bakar beberapa ikan juga! Ini pakailah kain ini untuk menutupi tubuhmu yang telanjang itu." Kata Wolfie menyerahkan sebuah kain putih besar kepada Rey untuk digunakannya sebagai selimut untuk menutupi dirinya.

Karena tidak ada pilihan, Rey meraih kain putih yang berukuran besar itu dan dia membungkus dirinya dengan kain itu, menutupi dirinya dengan sopan. Lalu dia memungut ranting dan daun, membantu Wolfie untuk membuat api unggun.

Duduk di seberang api unggun, Wolfie dengan anehnya terlihat girang, "Sudah lama sejak terakhir kali aku makan makanan yang dimasak loh, aku hampir lupa bagaimana rasanya!"

Setelah dia selesai memanggang ikan pertama, Wolfie tidak bisa berhenti menelan ludah karena kelezatan dan baunya. Dia tidak sabar untuk menancapkan giginya ke ikan bakar itu. Saat Wolfie mengangkat ikan itu ke depan mulutnya, dia berhenti. Kemudian, Wolfie menyerahkan makanan itu kepada Rey.

"Nih, kamu bisa memakannya." Wolfie menyerahkan ikan yang telah dibakarnya sepenuh hati.

Rey melihat ekspresi tersiksa dari wajah Wolfie, ekspresinya menyiratkan kalau Rey seolah-olah sedang menyiksa seorang anak kecil dengan cara mengambil makanan yang diinginkan anak kecil itu.

"..... Kamu bisa memakannya. Punyaku hampir matang." Kata Rey menatap ikan yang dibakarnya.

Tanpa ragu-ragu lagi, Wolfie dengan senang duduk di sudut lapangan ketika dia mengunyah ikan bakar itu. Dia makan dengan lahap berantakan tapi dengan senyum yang bahagia.

"Ikannya enak- - Hahahaha " Ucap Wolfie dengan mulut penuh makanan.

Serbuan mendadak dari emosi yang tidak dikenal Rey memenuhi hatinya, perasaan seperti riak gelombang danau ketika angin datang.

Dan kemudian, hari itu telah berakhir dengan aktivitas mereka yang memanggang makanan dan mengeringkan pakaian mereka. Matahari diam-diam terbenam saat Wolfie terus-menerus berbicara dengan semangat. Saat hutan menggelap, Rey dengan tidak terlalu yakin, tapi mungkin karena perapian itu, udaranya tidak terlalu dingin sekarang.

"Wolfie, biar aku ulangi sekali lagi, berhenti menempel terlalu dekat denganku, dan jangan..." Baru separuh kalimat diucapkannya, Rey merasakan sesuatu sedang menggesek-gesek pipinya.

Wolfie kembali ke sikap biasanya.

"Hentikan! Kamu bukan seekor anjing!" Rey berteriak dengan marah mendorong tubuh besar Wolfie.

Pemuda itu terdiam, lalu bertanya dengan pelan, "Kamu... tidak menyukai anjing?" Katanya dengan ragu-ragu takut akan jawaban dari Rey.

"Mereka menjijikkan." Jawabnya tanpa ragu-ragu. Pengalaman buruknya saat kecil dimana dia sering dikencingi oleh anjing merayap di ingatannya.

"..." Wolfie menundukkan kepalanya dan merasa kecewa dengan jawaban yang di berikan Rey.