webnovel

CAROLINE

Hidup Caroline berubah 180 derajat setelah ulang tahun ke-18 nya. Mengetahui seluruh anggota keluarga angkatnya ternyata adalah werewolf masih belum cukup, Ia harus menerima kenyataan bahwa kakaknya, Alex, adalah pasangan matenya. Belum lagi kenyataan bahwa selama ini sebenarnya Ia bukan manusia biasa. Caroline adalah Leykan terakhir yang hidup, bangsa superior yang sangat ditakuti dan dibenci oleh para werewolf. Apakah Ia harus melarikan diri atau menghadapi takdir barunya?

ceciliaccm · Fantaisie
Pas assez d’évaluations
252 Chs

Chapter 7

Aku berdiri di samping tempat tidurku memandang Alex dan menunggu jawabannya. Kulipat kedua tanganku di dadaku dengan kesal. Lalu dengan wajah polos ia mendongak. "Well... Tidak ada tempat tidur di kamarku dan aku tidak bisa meninggalkanmu terlalu lama. Lagipula kau mengijinkanku saat aku bertanya padamu kemarin." Jawabnya sambil mengusap wajahnya lagi, ia terlihat masih mengantuk.

"Aku mengijinkanmu?" Mukaku memerah. Aku mengijinkannya? Aku tidak bisa mengingat kejadian semalam, yang jelas setelah mengobrol di atap aku tertidur lelap.

Dan kami berciuman.

Ya Tuhan.

Aku masih bisa mengingat bibirnya yang menyusuri bibirku, dan deru hangat nafasnya di wajahku.

Mukaku semakin memerah setelah mengingat kejadian semalam. Aku berciuman dengan Alex, kakakku... Ew, bukan—Ia bukan kakakku lagi. Ulangku untuk mengurangi rasa jijik yang mulai menggerogoti akal sehatku.

"Cara, dengar, kita tidak melakukan apa-apa okay? Hanya tidur." Kata Alex setelah melihat perubahan ekspresi di wajahku. Ia mengangkat kedua tangannya, "Aku bersumpah."

"Okay." Jawabku sambil menghindari pandangannya.

"Lagipula bukan aku yang memeluk erat seperti gurita semalaman." katanya dengan senyuman terbodoh di wajahnya.

"Di—diam!" seruku dengan payah sebelum melangkah menuju kamar mandi secepat mungkin lalu menutup pintunya rapat-rapat. Aku tidak bisa mengunci kamar mandiku setelah Alex mendobraknya kemarin.

Kedua tanganku mencengkeram pinggiran wastafel erat-erat sambil memandang pantulanku di cermin. Rambut berantakan membingkai wajahku yang saat ini sedikit memerah. Kucoba untuk mengatur nafasku dan menenangkan pikiranku, lalu menciprati mukaku dengar air dingin.

Ketika kembali ke kamarku, Alex sudah menghilang. Kubuka lemariku lalu mengambil kaos untuk mengganti piyamaku. Tepat saat aku melepas piyama, pintu kamarku terbuka tiba-tiba diikuti oleh kepala Alex menyembul dari balik pintu. Dengan refleks kuambil kaosku dan menutup tubuhku yang hanya memakai bra.

"Alex!" teriakku, "Tutup pintunya!"

"Ah! Sorry!" Jawabnya sambil menutup kedua matanya lalu menutup pintu kamarku perlahan. Kupakai kaosku dengan secepat kilat lalu keluar dari kamar. Alex sedang berdiri sebelah tangga dengan cengiran menyebalkan di wajahnya.

"Sorry." ulangnya lagi. Kakiku melangkah dengan marah menuju dapur diikuti oleh Alex.

"Pintu diciptakan untuk diketuk!" Desisku padanya. Kami mengambil tempat duduk di depan Dad yang sedang membaca koran, Mum berdiri tidak jauh dari kami sedang memasak sesuatu.

"Ada apa, Cara?" Mum bertanya tanpa mengalihkan perhatiannya dari masakannya.

"Alex membuka pintu kamarku saat aku sedang berganti baju!"

Mum mengalihkan pandangannya dari telur goreng, wajah cemberutnya memandang kami berdua. "Alex..."

"Aku hanya mau memberitahunya untuk sarapan." Erang Alex membela dirinya sendiri.

"Kau tahu kan, benda bernama pintu yang harus diketuk sebelum kau masuk ke kamar orang lain?" tanyaku dengan sebal. Dad tertawa mendengarku lalu melipat kembali korannya, ia terlihat menikmati menontonku dan Alex bertengkar.

"Aw. Cara, aku tidak melihat apa-apa. Lagipula kita pernah mandi bersama beberapa tahun yang lalu." katanya sambil menyendok sereal ke dalam mangkuknya.

"Aku sudah berumur delapan belas Alex! Bukan enam tahun lagi." Gerutuku. Tiba-tiba Mum membanting piring yang sedang dipegangnya, membuat kami sedikit terlonjak terkejut.

"Kalian berdua berhenti berteriak! Dan Alex! Lain kali ketuk pintunya lebih dahulu." Mum duduk di kursinya sambil memijat pelipis kepalanya.

Aku tersenyum lebar mendengar Mum memihakku, ia selalu memihakku saat kami bertengkar. Alex memutar kedua bola matanya lalu menarik rambutku. Ia selalu melakukan hal itu setelah kalah dariku, dengan kesal kupukul lengannya cukup keras. Aliran listrik yang mengalir saat kami bersentuhan membuatku terkejut sendiri. Alex menarik salah satu sudut bibirnya saat melihat ekspresiku. Kutarik tanganku secepatnya menjauh darinya, kurasa aku masih belum terbiasa dengan perubahan ini. Mum memandang kami berdua dengan tatapan membunuh yang membuat kami berdua diam seketika.

Alex memaksa untuk mengantarku pergi ke sekolah. Mobil barunya yang mencolok membuat beberapa anak di sekolahku memandang dengan penasaran saat kami tiba di halaman sekolah.

"Kau akan menjemputku nanti siang?" tanyaku sebelum keluar dari mobilnya.

"Yea—Tidak, aku tidak bisa menjemputmu hari ini, Cara." Jawabnya dengan nada menyesal.

Kuangkat kedua bahuku setengah tidak peduli. "Okay. Bye Lexa." Kataku keras-keras sebelum keluar dari mobilnya. Alex selalu kesal setiap aku memanggilnya dengan Lexa, wajah cemberutnya adalah hal terakhir yang kulihat sebelum menutup pintu mobilnya.

Jen berjalan ke arahku sambil memandang mobil Alex yang berjalan menjauh. "Alex mengantarmu? Wow, kalau aku tidak sedang punya pacar aku akan mengejarnya." Kata Jen sambil tertawa, aku tidak ikut tertawa bersamanya. Tiba-tiba aku merasa cemburu yang tidak terasa masuk akal.

"Alex sudah memiliki pacar." Kataku pendek sambil berjalan menuju kelas sedangkan Jen mengikutiku dari belakang.

"Oh? Siapa pacarnya? Ugh, pasti menyenangkan memiliki pacar seperti Alex. Dia memperlakukanmu—adiknya, seperti itu. Apalagi pacarnya."

Langkahku terhenti seketika saat mendengar ucapan Jen. Apa yang akan dikatakannya jika ia mengetahui akulah pacar Alex.

"Cara?" Jenna ikut berhenti di sampingku.

"Kau sudah menemukan gaun untuk Prom?" Prom adalah satu-satunya topik yang dapat mengalihkan perhatian Jen.

"Belum! Bagaimana kalau kita pergi mencari gaun bersama? Oh! Kau sudah mendapatkan prom date?" Jen mulai bicara dengan berapi-api, sesaat aku menyesal telah mengganti topik pembicaraan.

"Aku—belum, kurasa aku tidak akan ikut Prom." Balasku membuat kedua mata biru Jen melotot, mulutnya sedikit menganga setelah mendengarku.

"Kau! Caroline Brennan, kau harus ikut. Titik. Aku akan memastikanmu ikut pesta Prom walaupun aku harus menyeretmu sekalipun. Dan mulai detik ini aku yang akan mencarikanmu Prom date." Katanya setengah terpekik membuat beberapa anak di lorong menengok ke arah kami karena pekikannya. Dengan wajah memerah karena malu kutarik tangan Jen menuju kelas.

"Aku tidak akan ikut Prom." Desisku padanya. Kami berdua duduk di bangku kami masing-masing. Jen menarik kursinya mendekatiku.

"Kenapa?" tanyanya setengah merengek, kadang-kadang ia bisa sangat menyebalkan.

"Karena... Aku tidak ingin." Aku merasa ngeri membayangkan Prom, dengan gaun, sepatu berheels  tinggi, make up, dan Prom date. Aku juga tidak yakin bisa mendapatkan partner saat ini, pasti semuanya sudah memiliki pasangan masing-masing.

"Kau yakin akan melewatkannya?" Jen bertanya dengan nada yang terdengar kecewa.

"Ya! Dan kumohon, jangan repot-repot membujukku untuk pergi." gerutuku.

Jen mendengus lalu mengangguk padaku, ia tahu tidak ada yang bisa mengubah keputusanku saat ini. Walaupun kedua matanya memandangku dengan keras kepala tapi akhirnya ia menyerah juga, "Tapi kau harus mengantarku mencari gaunku. Hari ini."

"Okay, okay..." Lagipula itu artinya Jen bisa sekalian mengantarku pulang.