"Dan sekarang adalah giliranmu."
Aku menatap wajah seriusnya yang memandangku di bawah cahaya redup lampu mobilnya. Tapi ekspresi di kedua mata birunya tidak sama dengan ekspresi wajahnya saat ini, keduanya memandangku dengan lembut. Untuk sesaat aku merasa familiar dengan tatapan matanya.
"Apa yang kau inginkan dariku?" tanyaku setengah berbisik. "Kau ingin aku membalas dendam?" lanjutku.
Ia menarik salah satu sudut mulutnya ke atas membentuk sebuah senyum yang sedikit sinis. "Balas dendam? Tentu saja. Aku sudah menghabiskan sebagian hidupku merencanakan pembalasan..." ekspresi di wajahnya sedikit ragu-ragu.
"Tapi?" desakku saat Ia tidak melanjutkannya.
"Yah, anggap saja aku sudah membatalkan rencana itu." Ia mengalihkan pandangannya ke lampu spion sekilas. "Sebenarnya aku tidak mengira kau akan bertemu dengan matemu..."
"Maksudmu Alex?"
"Ya." Ia kembali menatapku, "Kau benar-benar tidak terlalu beruntung, huh?"
"Aku tidak mengerti."
Ia tersenyum lagi, "Mungkin ini semua masih membingungkan bagimu, tapi cepat atau lambat ingatanmu akan kembali... Bahkan, mungkin kau sudah mengingatnya? Dalam mimpimu? Kalau begitu aku akan membantumu untuk mengingat siapa dirimu. Kau adalah Gabriella, putri dari Gregorius Gold dan Elizabeth, kakakku. Keluarga ayahmu adalah keluarga leykan berdarah murni yang menguasai bagian paling besar wilayah werewolf. Ayahmu adalah tangan kanan sekaligus pewarisnya. Leykan adalah jenis yang haus kekuasaan, mereka lebih dominan daripada Alpha werewolf. Setiap tahun hanya ada 6 leykan yang bisa lahir ke dunia, karena itu mereka kalah jumlah dibanding dengan werewolf. Jadi saat perang itu berlangsung walaupun leykan lebih unggul dalam kekuatan pada akhirnya mereka tetap saja kalah. Para werewolf memburu dan membunuh seluruh leykan yang ada, bahkan yang berdarah campuran seperti kami." Vincent mengatupkan rahangnya dengan keras, berusaha menahan amarahnya.
"Kau tidak tahu apa yang mereka lakukan pada Elizabeth..." Ia memejamkan matanya sejenak sebelum melanjutkan ceritanya, "Setelah pembantaian itu berakhir, para Alpha yang masih hidup berkumpul untuk melakukan sebuah perjanjian abadi. Apapun yang terjadi, mereka tidak akan membiarkan bangsa leykan kembali lagi."
Vincent terdiam sejenak membiarkanku memproses seluruh ceritanya di dalam kepalaku. "Dan kau sangat tidak beruntung... karena sejauh yang aku tahu, kau adalah leykan berdarah murni terakhir di dunia ini."
Walaupun aku sudah menduganya tapi tetap saja, mendengarnya langsung membuatku merasa seperti disiram seember air es.
Leykan.
Tanpa kusadari kedua tangan sudah mengepal dengan sangat erat sejak tadi, hingga aku merasakan kukuku yang mengiris kulit telapak tanganku. Kulepaskan genggaman tanganku dengan sedikit terkejut, darah membekas di ujung kuku-kukuku... Tapi aku tidak merasakan sakit.
"Seperti apa dia?" tanyaku dengan sedikit serak. Ibuku. Ibu kandungku. Aku bahkan tidak bisa mengingat Ibuku sendiri.
Vincent mengerutkan keningnya, "Kau menyimpan foto terakhir kedua orangtuamu. Sebelum aku memasukkanmu ke dalam panti asuhan, kau menjahitnya di perut boneka beruang yang kau bawa."
"Aku tidak mengingatnya." Gumamku pada diriku sendiri. "Bagaimana bisa aku tidak mengingat apapun?"
Vincent terlihat ragu-ragu sejenak, "Aku akan menjelaskannya lain kali, saat kau sudah mengingat lebih banyak."
"Lalu apa sebenarnya yang kau inginkan dariku?"
Ia menghela nafasnya sebelum menjawabku, "Sama seperti sebelumnya. Menyelamatkanmu." Ia kembali mengemudikan mobilnya menyusuri jalanan yang sepi. "Tapi kali ini kau harus melakukannya sendiri, kali ini adalah giliranmu. Aku tidak akan melindungimu atau menyembunyikanmu seperti sebelumnya. Aku tidak bisa."
"Tidak bisa?"
"Aku tidak pernah menggunakan kekuatanku selama sembilan puluh tahun terakhir ini. Semakin jarang kita menggunakan kekuatan, maka akan semakin mudah juga kita membaur dengan manusia. Kau pikir bagaimana aku bisa berada di tengah-tengah kerumunan werewolf tanpa terdeteksi? Ada beberapa werewolf di dunia ini yang hidup seperti manusia karena mereka tidak menyadari indentitas asli mereka, biasanya mereka dibesarkan di panti asuhan manusia. Mereka tidak pernah menggunakan kekuatannya, atau berubah ke bentuk serigala mereka. Jadi hingga mati mereka masih menganggap diri mereka manusia. Jika aku menggunakan kekuatanku sedikit saja untuk menolongmu, maka seluruh werewolf di tempat ini akan mengetahuinya."
"Aku bisa berpura-pura menjadi manusia."
Vincent menoleh ke arahku, "Kau sudah menggunakan kekuatanmu, Gabriella." Lalu Ia kembali menoleh ke jalanan di depan. "Aku tahu ini akan terjadi, untuk leykan berdarah murni sepertimu mengendalikan kekuatan sebesar itu lebih susah apalagi jika harus berusaha menyembunyikannya."
"Lalu apa yang harus kulakukan?" gumamku. Handphoneku bergetar di dalam tasku, tapi aku tidak mempedulikannya.
"Kau harus melepaskannya." Vincent kembali memandang jalanan di depan. Beberapa mobil melewati kami dari arah berlawanan.
"Melepaskan apa? Kekuatanku?" kukerutkan keningku dengan sedikit bingung.
"Bukan melepaskan apa, tapi siapa."
"Alex? Apa kau gila?"
Vincent terdiam sejenak, rahangnya mengeras lalu suaranya berubah menjadi lebih dingin. "Aku akan memberitahumu apa yang akan terjadi jika kau masih mempertahankannya. Kekuatanmu sedikit demi sedikit akan memperlihatkan dirinya lalu menguasaimu seutuhnya. Dan jika dilihat dari kejadian di hutan Ripper beberapa minggu yang lalu waktumu saat ini sudah semakin menipis. Kau membunuh semua binatang di dalamnya, bahkan beberapa rogue—"
"Hentikan." Potongku dengan marah.
"Lalu matemu menyembunyikan kejadian itu dari seluruh packnya... Ia sudah mengetahui siapa dirimu sebenarnya, Gabriella." Untuk yang kedua kalinya Vincent menghentikan mobilnya di pinggir jalanan yang lebih gelap, lalu Ia berbalik ke arahku. "Jika kau benar-benar mencintainya, kau harus melepaskannya."
"Hentikan—"
"Cepat atau lambat yang lain juga akan mengetahui siapa kau sebenarnya. Gabriella, kau sendiri tahu apa yang akan matemu lakukan untuk melindungimu. Pada akhirnya Alex Brennan akan mati di tangan Alpha lain atau... kau sendiri yang akan membunuhnya dengan tanganmu." Suaranya yang dingin terasa seperti tamparan bagiku. "Sama seperti saat kau membunuh seluruh binatang di hutan itu, kau tidak akan menyadarinya."
Rasa panik membuatku sulit bernafas. "Bohong." Ulangku dengan suara bergetar, "Kau berbohong." Sekeras apapun aku mencoba menyangkalnya, jauh di dalam lubuk hatiku aku tahu apa yang dikatakan Vincent adalah benar. Aku sudah menyakiti Alex saat kami bertengkar di pack meeting beberapa minggu yang lalu. Saat itu aku juga tidak menyadarinya.
Tanganku bergerak menutup mulutku untuk menahan isakan yang ingin keluar. Pandanganku menjadi kabur karena air mataku yang mulai menggenangi kedua mataku. "Aku tidak akan pernah menyakitinya."
"Kau tidak akan menyakitinya. Kau akan membunuhnya." Suaranya yang dingin sedikit lebih lembut dari sebelumnya. Tangannya meremas bahuku yang bergetar karena isakanku, dan anehnya hal itu malah membuatku merasa sedikit lebih baik. Mungkin ini karena Ia adalah satu-satunya keluargaku yang masih hidup, satu-satunya yang membuatku merasa tidak sendirian. Kuhapus air mataku lalu menatapnya lagi. "A—apa yang harus kulakukan?"
Ia menarik tangannya dariku. "Kita bisa pergi dan memulai hidup baru di tempat lain, berpindah dari satu tempat ke tempat lain. Sama seperti dulu. Aku akan memberimu waktu untuk memutuskan, jadi kau harus memikirkannya baik-baik... Hanya satu yang perlu kau ingat, jika kau sudah memutuskan untuk pergi, tidak ada jalan kembali untukmu."
"Vincent, aku tidak bisa—"
"Hanya ada dua jalan yang bisa kau pilih. Kau bisa tetap tinggal dan membunuh matemu, dirimu sendiri, dan aku. Atau kau bisa melepaskan segalanya dan memulai hidup baru lagi."
Vincent menghentikan mobilnya beberapa meter dari halte bus yang sama. Ia mematikan mesin mobilnya dan kami duduk dalam kegelapan. Kami sama-sama terdiam hingga akhirnya Ia memecahkan keheningan. "Namaku bukan Vincent."
Aku menoleh sedikit ke arahnya, "Kau tidak terlihat seperti pamanku." Gumamku. Ia terlihat seumuran denganku... dan normal. "Berapa umurmu?"
"118."
"Jadi aku berumur... 108?" tanyaku setengah tersedak. Ia mengangkat bahunya. "Lalu jika aku mati—"
"Tenang saja, aku akan mati lebih dulu." Potongnya dengan nada datar.
"Jadi siapa namamu?"
"Dante. Kita bisa melanjutkan reuni saat Prom nanti." Ia memandang jam digital di dashboard mobilnya, pukul 1 pagi. "Kurasa matemu sedang mencarimu saat ini. Kau bisa menghubungiku lewat nomor yang sama jika terjadi sesuatu."
Aku mengangguk lalu membuka pintu mobilnya.
"Gabriella, tunggu dulu."
Sebelum aku sempat menoleh ke arahnya, Ia sudah menarikku masuk ke dalam mobilnya lagi lalu memelukku sangat erat. "Aku tahu kau tidak akan berbuat bodoh seperti memberitahu matemu tentang pertemuan kita—"
"Aku tidak akan memberitahunya." Potongku. Lalu Ia melepaskan pelukannya dan mengangguk.
"Bye, Paman Dante." Gumamku dengan canggung saat keluar dari mobilnya.
"Jangan panggil aku Paman." balasnya sebelum aku menutup pintu mobilnya.
Aku menunggu hingga mobilnya menghilang dari balik tikungan. Suara sesuatu yang bergerak diantara pepohonan di seberangku menarik perhatianku. Halte ini berseberangan dengan taman kota yang cukup besar, aku tidak bisa melihat apapun selain bayangan pepohonan dan kegelapan. Kupercepat langkahku menuju ke rumah, saat sampai aku melihat mobil Alex yang diparkir di sebelah mobil Dad.
Dad berdiri di balik pintu saat aku masuk, Ia sedang menelepon dengan ekspresi serius. Pandnagannya beralih padaku seketika, "Cara!"
Tubuhku sedikit terlonjak mendengar suara Dad yang cukup keras. "Kau tahu ini jam berapa?! Kami semua mencarimu sejak tadi."
Mum muncul dari balik ruangan, Ia juga sedang membawa handphone di tangannya. "Cara!" suara pekikan Mum kembali membuatku sedikit terlonjak. "Sayang, dari mana saja kau?"
"Aku akan menelepon Alex." Gumam Dad sambil kembali menempelkan telepon di telinganya.
"Alex tidak ada disini? Tapi mobilnya ada di depan."
"Ia pergi bersama Jake untuk mencarimu karena kau menghilang, Ia menjemputmu di rumah Jenna beberapa jam yang lalu." Wajah Mum terlihat sangat kecewa saat memandangku. "Darimana saja kau? Kami sudah menghubungi Jenna, Eric, dan teman-temanmu, tapi tidak ada yang mengetahui keberadaanmu."
"Aku, aku hanya berjalan-jalan sebentar lalu tersesat sedikit." Jawabku sambil memaksa sedikit tersenyum.
"Sedikit? Cara, kau sudah pergi lebih dari 4 jam. Alex sangat menghawatirkanmu." Kali ini suara Mum terdengar marah. Aku tidak berani memandang wajahnya saat ini.
"Maaf, Mum. Aku tidak bermaksud—"
Ucapanku dipotong oleh pintu di belakangku yang tiba-tiba terbuka lebar, angin malam yang dingin ikut masuk ke dalam rumah. Kubalikkan badanku memandang Jake yang berdiri di depannya, Ia memandangku dengan wajah khawatir. "Cara, kau tidak apa-apa?"
"Dimana Alex?" tanyaku saat aku tidak melihatnya muncul.
"Kami berpisah di hutan Ripper. Ia meninggalkan poselnya di mobilku." Jake mengusap keningnya yang sedikit berkeringat, "Kukira Ia sudah kembali ke sini..."
Aku menggelengkan kepalaku dengan lemah. Tiba-tiba aku merasa tidak enak. "Kalian sudah berpisah lama?"
"Sekitar setengah jam yang lalu. Cara, darimana saja kau? Aku tidak pernah melihat Alex sepanik ini."
"Aku... Aku tersesat."
Jake menaikan kedua alis matanya dengan terkejut, "Kau tersesat... Lagi?"
Aku tidak menjawab pertanyaan Jake. Jantungku berdebar lebih cepat saat aku menyadari apa yang bergerak di tengah taman yang gelap tadi. Atau siapa.
"Jake, aku harus mencari Alex." kataku sambil setengah berlari keluar rumah, Mum dan Dad memanggilku tapi aku tidak mempedulikannya.
Aku tidak yakin apakah serigala Alex yang berada di taman itu tadi. Jika ya, maka Alex melihatku saat aku berada di halte tadi... dan itu artinya Ia juga melihat Paman Dante. Aku berlari menuju halte yang sama lalu berhenti memandang sekelilingku, Jake berlari menghampiriku tidak lama kemudian.
"Cara, apa yang kaulakukan? Kau seharusnya menunggu di rumah orangtuamu. Alex akan kembali nanti."
Perasaanku semakin tidak enak saat aku mendengar suara lolongan serigala yang terdengar tidak terlalu jauh, Jake berdiri mematung selama beberapa detik. Wajahnya terlihat tegang sebelum akhirnya Ia menarik lenganku. "Kita harus kembali."
"Apa itu?" tanyaku dengan panik. Kami berjalan dalam kegelapan menuju rumah orangtuaku. Kedua mata Jake berkilat mengawasi jalanan di sekitar kami.
"Jake, suara apa itu?" ulangku padanya.
Ia menggertakkan rahangnya dengan marah sesaat sebelum menjawab pertanyaanku. "Alex."