Semua orang yang kukenal ada di dalam, mulai dari teman-teman dari sekolahku dan beberapa orang dari pack Alex yang kukenal. Taman bermain ini tidak terlalu besar tapi cukup lengkap, beberapa balon menghiasi sekitar arena bermain mulai dari merry-go-round hingga bumper car. Aroma popcorn caramel dan gulali memenuhi udara. Aku tidak bisa menahan senyuman lebar yang muncul di wajahku, untuk sesaat aku melupakan masalahku.
Eric dan Jenna menarikku menuju roller coaster setelah semua orang mengucapkan selamat ulang tahun padaku, dan karena ini ulang tahunku jadi aku mendapat antrian pertama di semua arena. Kami menghabiskan dua jam pertama dengan mencoba semua permainan adrenalin dari roller coaster hingga Twister. Jenna menghilang bersama Dane beberapa saat kemudian, meninggalkanku dengan Eric berdua. Kami duduk di bangku dekat merry-go-round sambil menonton yang lainnya menikmati permainan. Beberapa orang melambai ke arahku, kebanyakan orang-orang dari pack Alex.
"Kau mengenal mereka?" tanya Eric saat aku membalas lambaian mereka.
"Tidak terlalu. Kupikir kau dan Jenna yang mengundang mereka." balasku sedikit heran.
"Kakakmu yang mengundang mereka, sebenarnya Alex yang merancang semua ini. Aku dan Jenna hanya memberi ide." Balasnya sambil meregangkan kedua tangannya. "Aku mau beli soda, kau ingin sesuatu, Cara?"
"Cola?" jawabku sambil tersenyum pada Eric yang mengedipkan salah satu matanya sebelum berjalan menjauh. Kusandarkan kepalaku di bangku lalu memejamkan mataku sejenak, udara malam yang sejuk berhembus dengan lembut di sekitarku. Suara lagu merry-go-round dan tawa terdengar jelas dari tempatku duduk. Aku tidak melihat Alex sejak kami berpisah di parkiran tadi, dimana dan apa yang dilakukannya sekarang?
Suara langkah kaki mendekat ke arahku lalu aku merasakan seseorang yang duduk di sebelahku. "Kuharap kau membeli diet cola, Eric." Gumamku tanpa membuka mataku.
"Ah... aku tidak membeli diet cola." jawab suara lain yang membuatku membuka kedua mataku seketika. Pria di sebelahku mengenakan kemeja dan celana jeans. Kedua mata birunya membalas tatapanku.
"Apa yang kau lakukan disini?" tanyaku dengan takjub. Baru beberapa hari yang lalu Ia meninggalkanku sendirian di hutan Ripper.
"Happy Birthday, Caroline." Vincent Brooks tersenyum samar padaku, tapi kedua matanya terlihat waspada.
"Alex tidak ada disini." kataku saat melihatnya mengedarkan pandangannya ke sekitar.
"Aku tahu. Tapi Ia menempatkan banyak anggota packnya di sisimu malam ini."
"Apa maksudmu?"
"Ia sengaja mengundang anggota packnya ke acara ini untuk menjagamu... atau mungkin lebih tepatnya, untuk mencegahmu kabur lagi." Jawabnya, tapi pandangannya masih berkeliling ke arena permainan di sekitar kami dengan waspada.
"Siapa... kau sebenarnya, Vincent?"
Pertanyaanku membuatnya kembali menoleh ke arahku. "Apa kau mempercayaiku?"
"Tidak." balasku dengan cepat.
Ia kembali tersenyum kecil. Tiba-tiba salah satu tangannya terangkat lalu mengacak-acak rambutku. Aku hanya bisa membalasnya dengan pandangan terkejut.
"Aku hanya mampir sebentar untuk memberikan kadomu." Ia mengeluarkan sebuah amplop kecil berwarna putih dari saku celananya.
"Apa ini?" tanyaku saat Ia menyerahkannya padaku.
"Hanya hadiah kecil. Kuharap kau menerima ajakan Promku setelah membukanya."
"Aku tidak bisa pergi bersamamu." ulangku lagi. "Lagipula kenapa harus Prom? Kita bisa berbicara di cafe."
"Caroline, mungkin kau belum menyadarinya tapi matemu adalah orang yang paling berbahaya untukmu."
Aku tertawa sinis mendengar ucapannya. "Mungkin kau juga belum menyadarinya, tapi aku lebih mempercayai Alex daripadamu."
Tiba-tiba Ia berdiri lalu menghela nafas, "Aku tahu. Tapi kuharap kau berubah pikiran setelah membuka kado dariku."
Kukerutkan keningku saat melihatnya berjalan menjauh. Amplop di tanganku tiba-tiba terasa berat.
***
Eric dan Jenna mengantarku kembali ke apartemen Alex beberapa jam sebelum makan malam. Aku berjalan masuk ke dalam lobby apartemennya, Alex memberiku duplikat kunci apartemennya beberapa hari yang lalu.
Pintu lift berdenting terbuka di depanku membuyarkan pikiranku tentang Vincent, seorang pria mendongak menatapku lalu berjalan keluar dari lift. Aku melangkah masuk ke dalam lift lalu membalikan badanku menghadap pria itu yang kini berhenti di depanku, salah satu lengannya menahan pintu lift agar tidak menutup.
Kedua alis matanya mengerut dengan terkejut, "Ah... ini dia." Ucapannya membuatku membalas tatapannya dengan bingung. Ia terlihat sedikit lebih tua dari Alex, penampilannya sangat rapi dengan rambut hitamnya yang disisir ke belakang. Setelan jas yang Ia kenakan terlihat mahal. Kedua matanya yang berwarna hitam sesaat mengingatkanku pada tatapan reptil yang dingin, dan entah kenapa aku tidak menyukai pria di depanku ini. Ada sesuatu yang terasa salah darinya. Akhirnya setelah beberapa saat Ia tersenyum padaku.
"Senang akhirnya bertemu denganmu, Luna."
Luna? Kukerutkan keningku padanya. "Anda adalah...?"
Ia mengulurkan tangannya padaku, "Edward Adler. Alpha dari pack Silver Moon." Ia menundukkan kepalanya untuk mengecup punggung tanganku. "Alex Brennan benar-benar pria yang beruntung." Katanya setelah melepaskan tanganku. Suaranya serasi dengan ekspresi di matanya yang dingin.
"Senang bertemu dengan anda juga, Mr. Adler." Balasku sambil berusaha tersenyum. Aku benar-benar tidak menyukai pria ini. Ia mundur satu langkah lalu melepaskan lengannya yang menahan pintu lift. Sebelum pintu lift tertutup Edward Adler kembali tersenyum padaku dengan ekspresi anehnya. Saat pintu sudah benar-benar tertutup aku bergidik.
Apa Ia baru saja menemui Alex? Mungkin karena itu Alex tidak bisa menemaniku hari ini.
Kukeluarkan kunci yang diberikan Alex, tapi gerakanku terhenti oleh suara tawa yang terdengar dari balik pintu. Dan bukan hanya berasal dari satu orang, tapi dua. Tanganku membuka kenop pintu yang tidak dikunci. Suara itu terdengar lagi, kali ini lebih jelas. Langkahku terhenti di pintu dapur apartemen Alex.
Ia sedang duduk di bar sambil memegang segelas Wine dan tertawa, di sebelahnya seorang perempuan berambut pirang melakukan hal yang sama. Dan aku mengenali perempuan itu, Evelyn Lance.
Rasa cemburu menjalari dadaku seperti api, membuatku merasa marah sekaligus sakit hati. Menyadari kedatanganku Alex mendongak ke arahku, senyum di wajahnya menghilang seketika.
"Cara..." Ia meletakkan gelas Winenya di meja. Evelyn mengikuti arah pandangan Alex, dan Ia tersenyum saat melihatku.
"Caroline!"
Tapi aku tidak membalas senyumannya. Kedua mataku terpaku pada Alex dan ekspresi sedikit bersalah di wajahnya saat ini. Padahal baru beberapa detik yang lalu Ia tertawa bersama perempuan itu. Rasa cemburuku terasa semakin kuat hingga membuatku mengepalkan kedua tanganku erat-erat.
"Aku dengar kau baru saja berulang tahun, Alex memberitahuku kau merayakannya hari ini. Happy Birthday, Caroline."
Kualihkan perhatianku dari Alex perlahan, menatap perempuan di sebelahnya yang sedang tersenyum padaku. Tiba-tiba muncul rasa benci yang sangat besar di dalam dadaku. Sangat besar hingga membuatku ingin melukainya. Alex berdiri dari tempatnya lalu berjalan ke arahku dengan cepat, salah satu tangannya menggenggam pergelangan tanganku lalu menarikku menjauh. Tapi aku tidak bergerak mengikutinya, pandanganku masih terfokus pada Evelyn yang sekarang terlihat sedikit bingung.
"Cara, kita harus bicara." Gumam Alex sebelum menarikku lagi. Ia melangkah ke depanku, menutupi Evelyn dari pandangan benciku. Lalu tangannya yang lain menarik daguku dengan lembut, mengalihkan pandanganku kepadanya lagi. Ekspresi di wajah Alex membuatku melupakan amarahku sejenak, Ia terlihat sedih, hanya sedikit tapi ekspresi itu muncul di wajahnya sekilas. Seumur hidupku, sepanjang yang kuingat Alex tidak pernah menunjukkan ekspresi atau perasaannya dengan bebas. Mungkin Ia menunjukkan perasaan senang atau bahagia, tapi hanya itu. Jika Ia merasakan perasaan yang lainnya, Ia selalu menutupinya dengan ekspresi datarnya.
Aku mengangguk kecil padanya lalu mengikutinya keluar dari apartemennya. Kami berjalan melewati lorong apartemennya, kedua mataku menangkap pantulan wajahku di cermin besar yang dipasang di depan lift. Nafasku tertahan saat melihat kedua mataku yang berubah, warnanya lebih cenderung lebih biru dari biasanya... dengan sedikit semburat berwarna violet di irisnya.
Alex masih menggenggam pergelangan tanganku dengan erat saat menarikku menuju pintu darurat. Ia melepaskannya setelah kami berada di dalamnya.
"Apa yang—ada apa dengan kedua mataku?" tanyaku. Aku yakin Alex menyadari perubahan warna mataku juga karena itu Ia berusaha menutupiku dari Evelyn.
"Jangan khawatir, warnanya sudah hampir kembali ke semula." gumamnya tanpa memandangku.
"Alex, apa yang terjadi padaku?" desakku saat Ia menghindari tatapan mataku. Suaraku menggema di sekitar tangga darurat, Alex menyisir rambutnya dengan kedua tangannya.
"Kau tidak perlu memikirkannya." Gumam Alex, kali ini kedua matanya tertuju padaku.
"Apa maksudmu?"
"Aku sudah membereskannya. Semua itu bukan salahmu."
Aku menatap Alex dengan bingung selama beberapa saat. "Alex... apa maksudmu?" tanyaku dengan setengah berbisik. Bukan salahku? Apa yang sudah kulakukan?
Alex mengatupkan rahangnya dengan kaku, seakan-akan sedang menahan rasa marahnya. "Apa yang terjadi di hutan itu bukan salahmu."
Suaraku terdengar serak saat aku membuka mulutku lagi, "Apa yang terjadi? Aku—aku bahkan tidak bisa mengingatnya."
Alex hanya terdiam, kedua matanya kembali menghindari tatapanku.
"Alex, katakan padaku." Desakku sambil meraih lengannya. "Apa yang terjadi saat itu? Apa aku yang membunuh semua binatang di hutan itu?"
Alex melepaskan tanganku dari lengannya lalu menangkupkan kedua tangannya di wajahku. "Kau tahu aku akan melakukan apapun untukmu, Cara." Bisiknya tanpa menjawab pertanyaanku lalu mengecup bibirku dengan lembut. Alex melepaskanku lalu keluar dari pintu darurat, meninggalkanku sendirian.
Kusandarkan punggungku di balik pintu. Aku tidak tahu apa yang kurasakan saat ini, bingung, marah, putus asa semuanya bercampur menjadi satu. Jika Alex ingin menyembunyikannya dariku, maka aku harus mencari jawabannya sendiri. Tapi aku tidak tahu darimana aku harus memulainya...
Handphoneku yang bergetar di saku jeansku mengalihkan pikiranku untuk sesaat, kurogoh saku jeansku untuk mengeluarkannya. Sesuatu yang berwarna putih terjatuh ke lantai, kupungut amplop berwarna putih yang sebelumnya diberikan oleh Vincent.
Sebuah pesan dari Jenna masuk ke dalam handphoneku, aku membalasnya pesannya lalu kembali mengalihkan perhatianku pada amplop di tanganku. Keempat sudutnya sudah terlipat karena berada di dalam saku jeansku. Kusobek ujung amplop tersebut untuk mengeluarkan kertas di dalamnya. Tapi tidak ada kertas di dalam amplop tersebut, yang keluar adalah sebuah cincin.
Aku berkedip memandang cincin di tanganku. Cincin emas putih ini memiliki batu berlian kecil di tengahnya. Untuk apa Vincent memberiku cincin? Tapi cincin ini juga tidak terlihat baru. Aku bisa melihat beberapa goresan halus di bagian luarnya dan sesuatu diukir di bagian dalamnya, sesuatu... sebuah nama.
Perutku terasa mual saat membacanya apa yang terukir.
G.R.E.G.
Sama dengan nama di dalam liontin yang diberikan Mum beberapa hari yang lalu. Nama orangtuaku. Tapi bagaimana mungkin Vincent bisa mendapatkan cincin ini? Tiba-tiba cincin ini terasa lebih berat di tanganku. Kugenggam cincin itu di dalam tanganku erat-erat, lalu menarik nafas dalam-dalam untuk menenangkan jantungku yang berdebar keras.
Bagaimana Ia mendapatkan cincin ini? Bagaimana Ia bisa mengetahuinya?
Aku menatap cincin di tanganku lagi, lalu menyimpannya kembali dengan hati hati di saku jeansku. Apa Vincent mengetahui asal usulku?
Saat aku kembali ke apartemen Alex, Evelyn sudah tidak ada di tempatnya, kurasa Ia sudah kembali. Alex berdiri di depan counter dapurnya dengan segelas penuh Wine di depannya.
"Aku hanya ingin mengambil tasku." Gumamku sambil berjalan menuju kamar Alex karena sebagian besar barangku kini berada di apartemennya. Baru satu langkah aku berjalan, salah satu tangan Alex melingkari pergelangan tanganku lalu menarikku ke dalam pelukannya. Tubuhku menabrak dadanya yang keras lalu Alex memelukku erat-erat, membuat seluruh nafasku keluar dari paru-paruku.
"Cara, kau harus mengerti..." bisiknya dengan lembut. Aku tidak tahu apa yang sedang dibicarakannya saat ini.
"Aku... tidak mengerti."
Ia mengendurkan pelukannya lalu menunduk menatapku, "Kau harus mempercayaiku."
Kalimatnya terasa seperti de javu. Vincent juga mengatakan hal yang sama beberapa jam yang lalu.
"Aku bahkan tidak tahu apa yang harus kupercayai darimu, Alex." Jawabku sambil tertawa pahit. "Beritahu apa yang terjadi padaku, lalu aku akan mempercayaimu."
Aku bisa melihat rahangnya yang mengeras sebelum akhirnya Ia melepaskan pelukannya dariku. Saat itulah aku mendapatkan jawabanku. Vincent benar, saat ini Alex bukan orang yang paling bisa kupercaya.
Kubalikkan badanku untuk menyembunyikan ekspresiku saat ini lalu berjalan menjauh darinya, tepat saat aku menutup pintu kamarnya air mata pertamaku jatuh.
Hai, Volder & Caroline mau libur lebaran dulu sampai tgl 27 Mei. Mohon maaf lahir batin manteman! ?