webnovel

Nada yang Hilang

Lemparan pensil hampir saja menghantam jidat seorang cowok yang baru saja datang. Bukan karena tidak sengaja. Melainkan pelaku pelemparan pensil tersebut sudah geram dengan orang yang dari tadi keluar masuk ruang rekaman sambil diiringi dengan nyanyian yang menurutnya begitu memekakkan telinga.

"Lo apa-apaan, sih, Sa? PMS?" tanya Ekamatra, laki-laki yang sejak tadi mengusik ketenangan Aksa.

"Lo nggak liat gue lagi ngapain? Bisa tenang dikit, nggak?" ketus Aksa dengan menatap tajam ke arah Ekamatra.

"Ye… orang lain aja nggak heboh kayak lo. Kayak nggak pernah denger gue nyanyi aja, deh," balas Ekamatra lagi.

"Lo ganggu banget, Eka. Gue lagi kerja bukan main doang!" sentak Aksa lagi.

"Santai, Bro. Kalo lo ngerasa keganggu, ya, negurnya baik-baik, dong. Bukan malah main lempar-lempar sesuatu ke gue? Kalau gue kenapa-kenapa gimana?"

Aksa menarik napas panjang. Berhadapan dengan Ekamtra ini selalu menguras emosinya. Sahabatnya itu selalu pandai membalas semua ucapannya. Padahal kan, dia bisa saja langsung mengerti apa maksud Aksa untuk tidak diganggu. Bukan malah balas ketus kepadanya.

Aksa sedang mumet mencari nada-nada untuk melengkapi melodi yang sedang dia susun. Tapi, kehadiran Ekamatra yang begitu menganggu membuat beberapa kali fokusnya hilang.

Wajar saja Aksa marah. Ini sudah ke-tiga kalinya Ekamatra masuk ke ruangan tempat Aksa sedang fokus bekerja. Jika orang lain langsung mengerti saat melihat Aksa tengah berkutat dengan buku-buku catatan nada miliknya, beda lagi dengan Ekamatra.

Laki-laki itu seakan tidak melihat keberadaan Aksa di situ sehingga dia seenaknnya saja bernyanyi dengan begitu lantangnya. Bahkan keluar masuk ruangan dengan pintu yang dibiarkan terbuka.

"Harusnya lo sadar diri, dong. Kalau liat orang lagi kerja itu, mulutnya dijaga. Jangan buat orang lain jadi keganggu."

"Ya mana gue tahu kalau lo lagi kerja. Makanya gue bilang, kalau terganggu bilang. Atau bila perlu kasih peringatan di depan pintu kalau lo lagi kerja. Jangan langsung main kasar gini, dong," gerutu Ekamarta.

Di tengah perdebatan itu, Lengkara—sang learder The Heal—pun datang melerai. Dari kejauhan dia sudah bisa mendengar suara Aksa dan Ekamatra yang saling beradu itu.

"Apa lagi ini? Lo berdua nggak ada kapok-kapoknya, ya, berantem mulu," kesal Lengkara yang sudah berdiri di ambang pintu dengan dua tangannya di pinggang.

"Teman lo tuh. Otaknya sering nggak dipake," cibir Aksa yang kembali menarik kursi kerjanya dan berniat untuk kembali fokus ke kerjaannya. Kalau sudah ada Lengkara seperti ini, Aksa lebih baik diam karena pasti Lengkara akan memberi mereka hukuman jika perdebatan tidak penting itu terus berlanjut.

"Heh! Lo kalo ngomong jangan suka sembarangan. Gue nggak suka, ya, lo hina-hina otak gue," sentak Ekamatra sambil menendang kaki kursi yang diduduki Aksa.

Mendapat perlakuan seperti itu dari orang yang sudah membuatnya kesal, tentu saja amarah Aksa kembali naik. Dia sudah berusaha untuk menahan kekesalannya, tapi Ekamatra sendiri yang memancing-mancing dirinya untuk kembali emosi.

"Lo kok nyolot, sih? Udah tahu salah tapi masih bisa kayak gini ke gue?" marah Aksa.

"Iya? Kenapa? Gue nggak suka, ya, lo hina-hina fisik gue. Kenapa? Mentang-mentang lo tampan sama pinter, gitu? Jadi lo bisa seenaknya hina soal otak gue?" cerocos Ekamatra.

Lengkara mendesah. Dia sudah jengah dengan perdebatan yang sering terjadi ini. Dan semua yang mereka debatkan sangat-sangat tidak bermutu sama sekali.

"Stop lo berdua. Gue udah muak, ya, liat lo berdua kayak anak kecil gini," lerai Lengkara. "Eka, lo liat, kan, Aksa lagi kerja? Harusnya lo lebih pengertian ke dia. Dan untuk lo Aksa. Gue udah berulang kali bilang ke lo buat jangan ngomong kasar lagi. Nggak semua orang bisa maklum sama sifat lo itu."

"Tapi, Kar, dia yang mulai duluan," keluh Aksa.

"Lo yang mulai duluan, ya? Main lempar-lempar pensil ke gue. Kalau ada masalah itu bilang baik-baik, bukan main kasar kayak gini," ujar Ekamatra lagi.

"DIAM!" teriak Lengkara akhirnya. "Lo berdua diam sekarang. Eka keluar dan setorkan 5 lagu ke gue dalam waktu 1 minggu."

"Tap—"

"Aksa juga gitu. Nggak ada tapi-tapian. Nggak ada yang ngebantah. Ini hukuman untuk kalian berdua yang udah buat gue sakit kepala sepagi ini. Awas kalo nggak ada setoran dari kalian dalam waktu satu minggu ini, siap-siap aja nggak naik panggung untuk tour berikutnya."

Setelah mengutarakan hukuman yang kesekian kalinya untuk dua orang itu, Lengkara pun keluar dari ruang rekaman tidak lupa juga menyeret Ekamatra agar perdebatan keduanya tidak lagi berlanjut.

"Awas kalo lo hina-hina otak gue. Gini-gini gue pernah nyumbang lagu buat album Th—hmp…." Belum selesai gerutuan Ekamatra untuk Aksa, Lengkara sudah membungkam mulut laki-laki itu.

Ekamatra memang sering beradu mulut dengan siapa saja, apalagi dengan Aksa. Bagi Ekamatra, Aksa adalah orang yang paling ampuh untuk dia ajak berdebat karena dia orang yang sama cerewetnya dengan dirinya.

Ada beberapa kali Eka—panggilan anak-anak The Heal untuk Ekamatra—sengaja mengganggu Aksa karena dia merasa bosan. Tapi, di beberapa kesempatan juga, mereka berdebat karena memang ada hal yang menjadi pemicunya.

Sama seperti pagi ini, Eka yang mengganggu Aksa saat lagi kerja. Padahal, Aksa sudah tidak pulang dari kemarin ke asrama hanya untuk merampungkan pembuatan lagunya.

Tapi, saat nada-nada yang sulit sekali dia rangkai itu mulai muncul kembali di kepalanya, Eka dengan seenaknya datang sambil nyanyi-nyanyi tidak jelas dan mengaburkan nada-nada yang ada di kepala Aksa.

Moodnya sudah terlanjur rusak karena Eka, jadi Aksa kesulitan untuk kembali fokus. Jika moodnya turun drastis saat pagi hari seperti ini, maka akan sulit baginya untuk mengembalikan moodnya ke tingkat paling atas.

Kadang, Aksa perlu beberapa saat untuk mengembalikan moodnya. Juga, butuh beberapa metode.

Dan yang menjadi kebiasaan Aksa saat bersiteru dengan para personil, dia akan memilih pulang ke rumah Ibunya daripada kembali ke asrama.

Hari ini, dia terpaksa kembali ke rumah Ibunya karena masih tidak ingin bertemu dengan orang yang menjadi sumber kekesalannya. Daripada rasa kesalnya kembali datang saat bertemu Eka nanti di asrama, lebih baik dia mengamankan diri di rumah dan menunggu sampai rasa kesalnya hilang.

***

Karena hari masih siang, jadi kondisi rumahnya juga masih sepi. Ibunya pasti lagi ada di kantor. Dan mungkin kakaknya masih ada di tempat kerjanya.

Aksa hanya mengambil minuman dingin dari kulkas, kemudian langsung masuk ke kamarnya. Mungkin dia akan mencari idenya lagi di dalam sana selama berjam-jam.

Begitu tangannya mendorong pintu bercat putih miliknya, bau khas kayu langsung masuk ke dalam indera penciumannya. Meskipun rumah Ibunya ini bernuansa modern, tapi kamarnya terkesan beda nuansa daripada yang ada di luar ruangan.

Aksa memilih kamarnya dibuat dengan memperbanyak unsur kayu di dalamnya. Dia ingin ruang pribadinya terkesan alami dan sejuk. Karena, saat dia melihat kayu atau beberapa tanaman, dia merasa tubuhnya bisa lebih rileks.

Aksa akan pulang ke rumahnya hanya karena dua alasan. Alasan pertama karena berdebat dengan penghuni asrama, sama seperti yang terjadi padanya pagi ini dengan Ekamatra. Atau alasan keduanya adalah, ingin melepaskan segala kelelahan setelah melakukan tour karena di kamarnya ini dia bisa merasa rileks dan energinya seakan terisi kembali.

Jadi, hal yang akan dia lakukan pertama saat tiba di kamarnya, setelah hampir dua bulan dia tidak datang berkunjung adalah dia akan mengurus beberapa tanaman yang ada di dekat jendela.

Dia tidak perlu khawatir dengan keberadaan debu di kamar tersebut karena Ibunya atau kakaknya yang akan membersihkan kamarnya ini mungkin seminggu dua kali. Dan kebetulan sekarang kamarnya sudah bersih, entah itu dibersihkan hari ini atau kemarin.

***

Setelah menyibukkan diri dengan tanamannya, Aksa memilih untuk tidur siang sejenak. Saat dia bangun, ternyata penghuni rumah yang lain sudah pulang. Dia bisa mendengar suara peralatan dapur yang saling beradu. Juga sesekali suara kakaknya yang seperti berbicara dengan Ibunya, mungkin.

Aksa pun memilih keluar dari kamar dan bergabung dengan mereka berdua. Dia tidak menyangka kalau tidurnya bisa sampai malam seperti ini. Dan sekarang bertepatan dengan jam makan malam.

"Eh, lo udah bangun?" Pertanyaan basa-basi itu dari kakak Aksa.

"Bacot lo," cibir Aksa.

"Aksa! Jangan ngomong gitu ke Mas," tegur Ibunya. Aksa hanya mencebikkan bibirnya karena Ibunya yang kembali menegurnya. Padahal, kan, dia hanya bercanda.

"Kapan kamu berhenti dari band-band itu?"

Tangan Aksa terhenti saat Ibunya kembali melayangkan pertanyaan yang tidak pernah ingin dia dengar. Apalagi menjawabnya. Kekesalannya kembali mencuat hanya karena pertanyaan beberapa kata itu.