"Argh, gue kesel banget deh! Gagal semua rencana gue! Di pikirannya Sam itu cuman ada Fanesha aja apa gimana, sih? Kenapa dia enggak pernah natap gue? Kenapa dia seolah natap Fanesha terus? Gue juga mau ditatap sama Sam! Gue mau kalau Sam itu tau, ada gue yang suka sama dia!"
Menghempaskan dirinya di sofa dengan agenda marah-marah setiap saat jelasnya sudah menjadi rutinitas dari Alesha setiap harinya. Sisi yang menjadi sahabat terbaik hanya bisa mengusap dadanya perlahan, sabar dengan kelakuan sahabatnya itu.
"Tadi pagi gue udah coba buat bikinin Sam sarapan kan, sampai gue lupa beli susu coklat kesukaan gue, tapi Sam malah bahas Fanesha terus. Gue kesel banget sama dia! Yang perhatian sama Sam itu gue, bukan Fanesha, Si. Tapi kenapa sih Fanesha selalu jadi nomor satu di hati Sam?" lanjut Alesha masih dengan pembahasan yang sama. Entah seminggu ini sudah berapa kali dirinya menggerutu sebal perkara Fanesha dan Sam saja. Seolah Sam kini adalah titik bahagia yang dimiliki oleh Alesha.
"Perkara hati emang enggak bisa diganti sama apa pun juga, Sha. Mungkin ada baiknya lo sadar diri sama apa yang terjadi. Sam itu emang suka sama Fanesha, sekuat apa pun lo berusaha, sekuat apa pun lo berjuang, endingnya sama. Di hati Sam itu cuman ada Fanesha. Kan udah gue bilang dari awal kalau lo mendingan sadar diri aja. Fanesha sama Sam itu sebanding, sedangkan sama lo jomplang."
Sebenarnya kata-kata yang Sisi katakan ini menyakitkan hati Alesha tidak, sih? Seharusnya jika menyakitkan, gadis tersebut paham dengan apa yang Sisi katakan, kan? Seharusnya sedari awal Alesha tak memaksakan perasaannya. Seharusnya sedari awal Alesha tak perlu berperilaku seolah mengejar-ngejar Sam. Ya Tuhan, kenapa mata Alesha tak bisa dibuka? Kenapa Alesha tak bisa menerima kenyataan yang ada? Padahal sadar diri itu sangat diperlukan dan sangat dibutuhkan. Sadar diri itu yang utama.
"Gue udah jatuh cinta banget sama Sam. Seperti yang lo ucapin tadi, perkara hati itu gak bisa dibohongi, Si." Alesha memang tukang ngeles, selalu saja bisa menjawab apa yang Sisi katakan, apalagi membalikkan perkataan Sisi. Ya terserah Alesha saja lah, lama-lama Sisi juga capek mendengarkan celotehan gadis yang menjadi sahabatnya itu.
Sisi memejamkan matanya, berusaha merilekskan pikirannya yang sudah terkontaminasi dengan emosi. Emosi karena Alesha tak kunjung mengerti juga dengan banyak hal. Emosi karena Alesha terlalu memaksakan keadaan dan kehendaknya.
"Ya terus sekarang lo mau kayak gimana, Sha? Lo mau apa supaya Sam bisa dapetin hati lo?" tanya Sisi dengan lirih, sesungguhnya yang sebenarnya terjadi saat ini emosinya ingin sekali meluap, namun ia urungkan. Sisi masih ingat kalau Alesha ini sahabatnya walaupun masih sangat menyebalkan.
"Tadi tuh Sam bahas tentang logat bicaranya Fanesha. Katanya logat bicaranya Fanesha tuh bule gitu, padahal ya biasa aja. Apa gue bikin diri gue jadi kayak Fanesha ya? Supaya Sam bisa suka sama gue. Supaya Sam tuh bisa nerima gue gitu loh, bisa cinta sama gue." Ide gila yang dilayangkan oleh Alesha hanya bisa membuat Sisi menggelengkan kepalanya tak percaya. Alesha ini obsesi dengan Samudra Keith atau bagaimana sih? Sampai segininya sekali gadis itu untuk mendapatkan hati dari bos mereka berdua.
"Gila ya lo! Ngapain lo berusaha sama kayak Fanesha? Yang ada kalaupun Sam suka sama lo, suka karena lo mirip sama Fanesha, bukan suka karena pribadi lo sendiri." Realistis saja, apa yang dikatakan oleh Sisi memang ada benarnya, kan? Sam memang akan menyukai Alesha walaupun kemungkinannya memang hanya beberapa persen saja, namun jika memang benar kemungkinan tersebut, pria tampan itu akan mencintai Alesha karena menyerupai sosok Fanesha. Alesha tak menjadi dirinya sendiri.
Alesha mengangguk, turut setuju dengan apa yang sahabatnya itu katakan. "Tapi kan apa salahnya mencoba gitu loh, Si? Lagian juga cuman perkara logat. Logat tiap orang kan beda-beda, logat juga bukan ciri khas banget yang sampai enggak bisa ditiru sama orang lain. Gimana kalau gue tiruin logatnya Fanesha ya? Pasti cocok banget deh!" sahut Alesha yang tetap saja tak mau berpikir realistis.
Sisi hanya menggelengkan kepalanya, pusing. Gadis itu memegang kepalanya yang terasa sakit perkara sang sahabat yang tak bisa dikasih saran itu. Alesha selalu saja maunya menang sendiri. Alesha itu selalu saja maunya mendapatkan apa yang memang sudah menjadi keinginannya.
"Kata gue, lo mendingan sadar diri aja deh, Sha. Jangan mau disamain kayak Fanesha. Lo bisa kok dicintai sama orang lain dengan apa yang lo miliki, dengan apa yang lo punya. Mungkin emang bukan Sam aja orangnya." Lagi, lagi, dan lagi Sisi berusaha memberitahu. Berharap jika Alesha kali ini mau mendengarkan, namun hati kecilnya mengatakan semua akan nihil juga pada akhirnya.
"Tapi gue maunya Sam gimana? Orang lain bisa suka sama gue, tapi gue sukanya sama Sam."
Kan, apa yang Sisi katakan, semuanya akan terasa percuma jika Alesha yang menjadi teman obrolan. Alesha yang keras kepala, Alesha yang egois, Alesha yang memang maunya menang sendiri.
"Lo bisa suka sama Sam tapi Sam sukanya sama Fanesha." Harus dengan bahasa apalagi sih Sisi mencoba untuk menjelaskan? Harus dengan bahasa kasar yang seperti apa supaya sahabatnya ini paham? Kenapa Alesha sangat batu sekali? Lama-lama kesabaran Sisi habis agaknya jika harus berurusan dengan makhluk langka satu ini.
"Ya berarti gue harus sama kayak Fanesha!" jawab Alesha dengan kilat.
Sialan banget memang sahabatnya yang satu ini! Bisa-bisanya ia berpikiran sedangkal itu. Bisa-bisanya ia berpikiran hal yang sangat out of topic sekali. Andai saja Sisi adalah sahabat yang kurang ajar juga, pastinya Sisi akan menjedotkan kepala Alesha di pintu supaya otaknya yang sedikit miring itu bisa kembali ke tempatnya. Alesha ini menggadaikan otaknya atau bagaimana sih? Kenapa pikirannya sangat sempit sekali? Kenapa Alesha tidak berpikir maju ke depan? Sangat menyebalkan memang.
"Ya apa yang gue omongin itu ada benernya dong, Si? Gue berarti harus sesuai sama tipenya Sam. Semua orang pasti punya tipe dan supaya gue bisa disukai sama Sam, gue harus sesuai sama tipenya dia. Otomatis kalau Sam suka sama Fanesha, tipenya Sam adalah Fanesha dan gue harus kayak Fanesha. Ini simpel dan sangat make sense, kan?" tanya gadis bernama lengkap Alesha Priscanara dengan sangat bodoh. Polos namun bodoh memang.
"Otak lo make sense! Jangan bego cuman perkara cinta deh! Gue enek lama-lama dengerin curhatan lo! Lo bucin terus setiap hari, mana bertepuk sebelah tangan lagi. Kata gue sih mending sadar diri aja. Lo udah berjuang sebisa lo, cuman kurang sadar diri sih."