webnovel

CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia panggil dengan sebutan Abi. Bisa jadi lelaki itu adalah akar penderitaan yang ia rasakan selama ini. Wahyu Nugraha Pambudi, adalah sosok abi yang memiliki dua orang istri. Kebencian Mahira pada sang abi yang berpoligami membuat Mahira berjanji tak akan mau dipilihkan jodoh oleh abinya. "Sholeh, dan rajin sholat kalau ujung-ujungnya poligami buat apa Bi?" "Mahira, sampai kapan kamu akan memilih-milih jodoh?" "Sampai ada lelaki yang mau berjanji hitam di atas putih ditempeli materai, tidak akan berpoligami sampai akhir hayatnya." Mahira sangat membenci lelaki alim dan sholih. Baginya lelaki seperti itu hanya pencintraan untuk menggaet banyak perempuan cantik untuk dijadikan istri dengan dasar Sunnah Rasul. Aydin Wira Althafurrahman seorang ustadz muda yang sehari-hari berdakwah diperkampungan kumuh dan para preman, adalah lelaki pilihan sang Abi namun tak pernah di tanggapi Mahira.Demi ingin mempersunting Mahira yang keras kepala dia rela berpenampilan seperti seorang preman. Akankah Aydin mampu merobohkan prinsip Mahira? Bagaimana lika liku perjalanan cinta Mahira dan Aydin? Akankah Mahira menemukan laki-laki yang mau berjanji tidak poligami? Ikuti kisahnya di CALON IMAM PILIHAN ABI.

ANESHA_BEE · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
58 Chs

NITIP SALAM

Aydin panik saat ada dua orang wanita yang memanggilnya dengan sebutan ustadz. Mahira pun tak kalah terkejut.

"Bang, mereka manggil abang?"

"Iya kali." Aydin pura-pura polos. Dia hanya berusaha untuk menyembunyikan kegugupannya.

"Pak Ustadz, boleh ya kita minta foto. Soalnya kami ngefans sama ustadz."

"Dari mana kalian tahu saya ustadz?"

"Ga tahu sih. Cuma saya sering lihat ustadz ini ngimamin sholat di sini. Jadi kami panggil ustadz saja. Soalnya kami tidak tahu siapa namanya."

"Kalau sudah tahu namanya, tidak usah panggil ustadz ya. Saya belum pantas dipanggil ustadz." Aydin melihat reaksi Mahira. Ternyata gadis itu hanya menunjukkan reaksi heran. Tatapannya terarah pada dua wanita yang menyapa dirinya.

"Oh begitu ya? Ya sudah maaf Pak ustadz."

"Nama saya Wira. Tidak usah pake ustadz ya. Sekali lagi karena saya belum pantas dipanggil ustadz."

"Baiklah Mas Wira. Boleh kan saya panggil Mas?"

"Iya boleh."

"Suara Mas Wira bagus banget. Saya sampai merinding dengernya."

"Alhamdulillah."

"Saya minta foto ya?"

"Maaf saya tidak suka difoto mbak."

"Yah... sayang banget. Padahal mau saya upload di instagram biar semua temen-temen saya pada tahu. Ada imam yang suaranya bagus dan masih muda."

"Alhamdulillah.. Maaf ya mbak."

"Iya sudah mas tidak apa-apa koq. Kami permisi dulu ya. Takut ceweknya marah.." Dua wanita itu langsung pergi meninggalkan Aydin dan Mahira. Keduanya sekilas saling melihat lalu mengangkat bahunya karena tidak tahu maksud dua wanita tadi.

"Siapa cewek abang?" Mahira menoleh ke kanan dan ke kiri.

"Mungkin kamu kali yang dimaksud."

"Hahaha.... ada-ada saja si mbak itu."

"Kenapa ketawa?"

"Enggak papa sih. Aneh saja lihat mereka. Abang beneran ustadz ga sih?"

"Terserah orang mau anggap aku apa. Tapi aku lebih suka di kenal sebagai Wira. Kalau aku jadi imam atau guru ngaji bukan berarti aku ustadz kan? itu karena panggilan hati. Aku ya Aku."

"Oh begitu ya, Bang? ternyata abang asik juga. Abang dari luar tampak biasa aja kayak anak muda pada umumnya. Tapi ternyata bisa jadi imam dan guru ngaji."

"Sudah donk Mahira, dipuji sama kamu, nanti aku terbang lho."

"Hehehe.. Udah ah.. Aku pulang dulu ya bang."

"Iya duluan aja."

"Mau nitip salam sama temennya Anisa ga? Yang ngajar di rumah singgah itu ada yang namanya Indah sama Naura. Pilih mana?"

"Ga keduanya."

"Oh ya udah deh. Malu ya?" Mahira tersenyum lalu meninggalkan Wira. Dia naik ke atas motornya. Gadis itu teringat kembali mobil mewah yang kemarin ada di sini. Ternyata kali ini tidak ada. Bisa ditarik kesimpulan kalau mobil itu bukan punya Wira.

"Hira.. aku jadi ya nitip salam buat temennya Anisa," ucap Wira saat Mahira baru saja mau memakai helmnya.

"Iya bang buat siapa?"

"Buat kamu."

"Eh... iya deh aku terima salammu. Udah ya aku balik dulu," jawab Mahira dengan cueknya. Wira hanya tersenyum. Gadis itu walau jutek, tapi ada sisi lucunya yang membuat Wira selalu saja bisa tersenyum.

'Kalau saja kamu tahu, kalau aku adalah orang yang dijodohin sama kamu, apa kamu mau menerima salamku?' Wira beranjak. Mengambil tasnya. Kali ini dia memang tidak memakai mobil. Dan beruntunglah kali ini dia bertemu Mahira, Jadi gadis itu tidak curiga.

******

"Abang sudah tidak apa-apa?" tanya Mahira saat dia dan Anisa menengok Edo di rumah sakit sore harinya. Setelah Mahira sampai di rumah tadi, Anisa menelponnya kalau sore ini mereka diminta Andri menjaga Edo di rumah sakit.

"Ya belum lah. Tapi gue musti cepet pulang."

"Belum sembuh kenapa pulang?"

"Kasihan anak-anak gue tinggal. Kalau diserang kelompok timur bagaimana?"

"Bang, lo boleh khawatir sama mereka. Tapi kondisi lo itu belum sepenuhnya pulih. Yang ada lo bukannya nglindungi mereka tapi malah nyusahin mereka.

"Bodo amat. Gue musti pulang sekarang."

"Susah bilangin batu."

"Serah lo."

"Udah-udah.. kalian ini ya kalau udah adu mulut, susah dilerai. Pusing gue jadinya. Bener kata Hira Bang, lo harus sembuh dulu. Kalau nanti lo maksa buat pulang terus terjadi infeksi, lo malah ngrepotin orang-orang di sekitar lo. Lagian udah ada Bang Andri sama yang lain. Mereka pasti akan berusaha jagain anak-anak."

"Tapi gue denger nanti malam kelompok timur bakal nyerang kita. Gue ga bisa enak-enakan di sini sementara yang lain dalam keadaan bahaya."

"Abang ini ya.. kalau udah tahu mereka bakal nyerang, telepon pihak berwajib aja gampang. Biar mereka yang urus. Ngapain capek-capek ngladenin mereka?"

"Ga semudah itu, Hira. Kalau gue nglibatin pihak berwajib, nanti yang ada anak buah gue yang cari uang di jalanan bisa terancam keselamatannya. Mereka pasti akan dendam."

"Pikiran lo picik. Udah ayo kita pulang saja, Nis. Males banget nemenin orang yang keras kepala kayak batu."

"Tapi Hira..."

"Enggak mau? ya udah gue pulang aja sendiri. Males gue lama-lama di sini." Hira mengambil tasnya lalu berjalan keluar dari ruangan Edo.

"Hira..!!" langkah Hira terhenti saat Edo memanggilnya. Gadis itu menoleh ke arah Edo yang sedang menatapnya.

"Kenapa lagi?"

"Jangan pergi! Gue ga akan pulang sebelum sembuh." Mahira yang mendengar hal itu tersenyum.. Akhirnya dia menang melawan Edo.

"Kalian ini lucu sih. Dua orang yang sudah dewasa tapi kelakuan masih kayak ABG yang lagi jatuh cinta. Udah kayak film bollywood aja." Anisa terkekeh melihat Mahira dan Edo. Keduanya terlihat salah tingkah.

Edo tahu dia telah melakukan kesalahan. Harusnya ia membiarkan Mahira pergi tadi. Tapi rupanya hati dan mulutnya tidak bisa sejalan. Yang pada akhirnya kalimat itu meluncur begitu saja karena tak rela jika Mahira marah padanya.

Mahira kini duduk di samping Anisa. Menunggui Edo sementara. Karena Andri harus kembali ke basecamp. Isu yang beredar, kelompok timur akan membuat perhitungan dengan kelompok barat malam ini.

Pikiran Edo tak tenang. Dia merasa sangat khawatir dengan keselamatan anak buahnya. Dia tahu jika Andri dan yang lainnya tidak akan mungkin menang melawan mereka. Siapa yang bisa dia mintak tolong? Apa dia akan melibatkan polisi kali ini? Edo memikirkan baik-baik. Mungkin ada baiknya dia meminta bantuan pada seseorang.

Mahira melihat Edo mengambil ponsel lalu menelpon seseorang. Entah siapa. Mahira memilih berbincang dengan Anisa tentang dirinya yang sudah diterima kerja di SD.

"Nelpon siapa bang?"

"Temen."

"Siapa?"

"Cewek gue." Edo asal aja menjawab pertanyaan Mahira. Hanya bermaksud menggoda agar Mahira tidak bertanya-tanya lagi.

"Oh.. Nisa, kita pulang yuk. Sebentar lagi ceweknya Bang Edo dateng. Nanti kita ganggu lagi." Mahira tak mau melihat Edo. Sedangkan Edo panik karena Mahira akan benar-benar akan meninggalkan dia.

"Serius mau pulang? gue malah pengen ketemu ceweknya bang Edo. Pengen lihat wajahnya kayak apa. Pasti cantik ya bang?" Tanpa permisi, Mahira keluar dari ruang perawatan Edo. Dadanya terasa sesak saat mendengar Edo menyebut sudah mempunyai kekasih. Dan akan datang sebentar lagi.

'Kalau cewek lo mau datang, ngapain tadi lo nyuruh gue jangan pergi?' Mata Mahira berkaca-kaca. Dengan setengah berlari ia menuju tempat parkir. Ia pergi, bersama luka akibat ucapan Edo.

******

Tinggalkan jejak di chapter ini ya.