webnovel

CALON IMAM PILIHAN ABI (END)

Memiliki seorang ayah yang taat agama, sholeh dan mampu menjadi imam yang baik bagi keluarganya tidak membuat seorang Ghaziya Mahira Kazhima berbangga hati. Justru dia sangat membenci sang ayah yang ia panggil dengan sebutan Abi. Bisa jadi lelaki itu adalah akar penderitaan yang ia rasakan selama ini. Wahyu Nugraha Pambudi, adalah sosok abi yang memiliki dua orang istri. Kebencian Mahira pada sang abi yang berpoligami membuat Mahira berjanji tak akan mau dipilihkan jodoh oleh abinya. "Sholeh, dan rajin sholat kalau ujung-ujungnya poligami buat apa Bi?" "Mahira, sampai kapan kamu akan memilih-milih jodoh?" "Sampai ada lelaki yang mau berjanji hitam di atas putih ditempeli materai, tidak akan berpoligami sampai akhir hayatnya." Mahira sangat membenci lelaki alim dan sholih. Baginya lelaki seperti itu hanya pencintraan untuk menggaet banyak perempuan cantik untuk dijadikan istri dengan dasar Sunnah Rasul. Aydin Wira Althafurrahman seorang ustadz muda yang sehari-hari berdakwah diperkampungan kumuh dan para preman, adalah lelaki pilihan sang Abi namun tak pernah di tanggapi Mahira.Demi ingin mempersunting Mahira yang keras kepala dia rela berpenampilan seperti seorang preman. Akankah Aydin mampu merobohkan prinsip Mahira? Bagaimana lika liku perjalanan cinta Mahira dan Aydin? Akankah Mahira menemukan laki-laki yang mau berjanji tidak poligami? Ikuti kisahnya di CALON IMAM PILIHAN ABI.

ANESHA_BEE · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
58 Chs

AKU MENCINTAIMU

Mahira langsung membelalakkan matanya saat melihat Wira juga ada di dalam kamarnya. Yang ia ingat, terakhir kali dia bertemu dengan Edo. Setelah itu dia tidak ingat apa-apa lagi.

"Bang Wira ngapain di kamarku?" pekik Mahira pada Wira yang kini berdiri bersebelahan dengan Edo.

"Sebaiknya kita keluar saja dulu. Biarkan Aydin dan Mahira bicara berdua." titah Wahyu pada anggota keluarga yang lain agar memberi ruang pada Mahira dan Aydin bicara.

Mahira mengedarkan pandangannya ke seluruh ruangan. Satu-per satu anggota keluarga yang menemaninya tadi keluar dari kamar. Dan sekarang hanya tinggal dia dan Wira saja di dalam kamar.

"Bang Wira kenapa tidak ikut keluar? nanti suamiku marah kalau abang ada di sini." Mahira ingin duduk tapi kepalanya masih terasa pening.

"Tidak apa-apa. Tidak akan ada yang marah sama aku." Wira duduk di pinggir tempat tidur. Sangat dekat dengan Mahira.

"Maksudnya apa sih, Bang. Bukannya abang tahu agama? laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom tidak boleh dalam kamar yang sama. Apalagi aku sudah menikah, Bang. Abi mana sih, kenapa aku ditinggalin berdua sama abang. Nanti Bang Aydin marah lho bang." Mahira heran karena Wira malah tersenyum melihatnya.

"Aydin ga akan marah. Percaya sama aku."

"Astaghfirullah.. jilbabku?" Mahira baru menyadari kalau sekarang dia tidak mengenakan jilbab. Dia tiba-tiba beranjak dari tempat tidur, lalu mencari jilbabnya. "Jilbabku mana sih, Ya Allah. Bang Wira tutup mata. Awas kalau lihat aku. Dosa, bang." Mahira mencari jilbab instan yang ada di almarinya.

Wira terkekeh melihat tingkah istrinya. Dia sengaja diam dulu karena ingin melihat reaksi Mahira yang konyol sebelum ia menjelaskan semuanya. Wira menutup mulut dengan sebelah tangannya. Menahan tawa yang sebenarnya ingin dia keluarkan. Tapi tiba-tiba ia melihat Mahira mau membuka pintu kamar. Wira buru-buru mengejar Mahira.

"Abang minggir. Kenapa aku tidak boleh keluar? Abang ini bagaimana sih membiarkan kita berdua di dalam kamar? sadar Bang. Kita ini bukan Mahrom. Dosa bang. Apalagi sebentar lagi suamiku akan ke sini." Mahira menatap tajam pada Wira. Dan berusaha merebut handle pintu. Tapi Wira malah justru menghalangi Mahira. Dan hal itu membuat istri yang baru saja dinikahinya itu marah.

"Hira, aku mau bicara sama kamu. Tolong jangan bersangka buruk sama aku."

"Bagaimana aku tidak bersangka buruk. Kamu bukan siapa-siapaku, sekarang kamu ada di kamarku. Cuma berdua sama aku." Mahira masih berusaha untuk membuka pintu.

"Siapa bilang kita bukan siapa-siapa?" Wira mengambil buku nikah keduanya dari sakunya. Kejadian tadi membuat pihak KUA memberikan langsung pada Wira agar ditandatangani oleh Mahira juga.

"Apa ini?" Mahira bukannya tidak tahu itu apa? tapi dia hanya ingin memastikan buku apa yang di pegang Wira.

"Buku nikah kita." Ucap Wira santai.

"Kita? kapan kita menikah? Aku nikahnya sama Aydin, bang. Abang jangan jadi halu begini deh gara-gara ga bisa dapetin aku. Nanti dimarahin Abi lho. Tolong.. Tolong..!!"

"Hush jangan teriak-teriak. Nanti dikiranya kita sudah ngapa-ngapain."

"Abang lama-lama beneran halu ya." Wira dengan tiba-tiba mengangkat tubuh Mahira. Dia ingin bicara denga. istrinya. Tapi dalam keadaan duduk. "Abang turunin!" Wira menurunkan Mahira di atas kasur pengantin. Mahira segera duduk dan menatap Wira.

"Kamu jangan marah-marah. Kamu tahu tidak siapa nama lengkap Aydin?" Mahira menggeleng. "Ini baca. Siapa nama lengkap Aydin itu." Wira menyerahkan buku nikahnya pada Mahira.

"Aydin Wira Althafurrahman." Mahira membekap mulutnya. "Jadi Abang?" Wira mengangguk. Tanpa di sangka Mahira melempar buku nikah itu sembarangan. Dia menangis.

"Hira, kamu kenapa menangis?" Wira berusaha menenangkan istrinya.

"Jangan sentuh aku. Abang dan Abi semuanya bersekongkol mengerjai aku, kalian tega sama aku."

"Bukan begitu, Mahira. Semua tidak seperti yang kamu kira. Tolong dengarkan abang dulu."

"Dengerin apalagi, Bang? hampir satu bulan aku dirundung kesedihan mendalam. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana cara tersenyum. Setiap hari aku menangis karena mengira Abi begitu jahat sama aku."

"Tapi kenyataannya tidak kan? ayo duduk dan dengarkan penjelasanku."

"Enggak bang enggak.. Aku kecewa sama abang. Selama ini abang tahu. Tapi abang menyembunyikan dari aku."

"Aku hanya ingin memberi kejutan, Hira."

"Tapi bukan begitu caranya." Mahira menepis tangan Wira. Dia berniat ingin membuka pintu. Tapi lagi-lagi Wira menahannya. Lelaki itu memeluk Mahira dari belakang. Gadis itu tetap meronta. Tapi tenaga Wira yang besar, membuat Mahira tak bisa lepas dari pelukan Wira.

"Pertemuan kita di rumah singgah itu tanpa sengaja. Aku tahu setelah melihat kamu yang mirip dengan foto yang diberikan oleh Abimu. Aku tahu semua tentang kamu. Termasuk traumamu dengan lelaki sholih. Aku tidak mau mengaku, karena aku ingin mendekatimu. Dan meyakinkanmu bahwa aku buka seperti yang kamu pikirkan. Aku bisa saja mengaku. Tapi aku yakin kamu tidak akan memberiku kesempatan untuk bicara. Karena kamu lebih dulu membenciku."

"Berarti selama ini semuanya adalah rencanamu, begitu?"

"Rencana Allah, Mahira. Sejak pertemuan di rumah singgah, kita sering bertemu, itu bukan suatu kesengajaan. Mungkin itulah cara Allah mendekatkan kita. Waktu itu abimu juga tidak tahu kalau aku diam-diam sudah mendekatimu. Aku hanya ingin kamu melihatku sebagai Wira yang sebenarnya. Jika kamu melihatku sebagai Aydin, maka aku yakin kamu akan terus berburuk sangka padaku."

"Bagaimana aku bisa percaya sama kamu?"

"Kamu bisa tanya orangtuamu dan orantuaku. Apa aku pernah bersekongkol membohongimu? Kamu sudah mengenalmu, Kan? sebagai Wira. Apa kamu masih ragu denganku? apa kamu masih tidak percaya denganku? Kalai memang dimatamu aku salah, aku minta maaf. Aku mohon kamu jangan berfikir yang bukan-bukan sama aku. Aku mencintaimu. Sejak aku melihat fotomu. Walau aku tidak pernah bertemu denganmu, entah kenapa aku yakin kalau kamu adalah jodohku. Keyakinan itu diperkuat dengan istikharahku, Mahira. Kamu juga begitu kan? akj mendengarnya dari Abimu."

"Lalu kenapa Abi melarangku bersama Bang Wira. Tapi menikahkan aku dengan Aydin. Pada kenyataannya kalian adalah orang yang sama."

"Itu karena Abi sangat menyayangimu. Dia ingin memberi kejutan padamu. Coba waktu itu kamu mengajukan nama bukan Wira. Abi pasti akan mendengarkan keinginanmu. Abi hanya ingin kamu tahu kalau semua orangtua akan selalu menginginkan yang terbaik untuk anaknya. Dan doa orangtuamu diijabah oleh Allah kan?" Wahyu memang ingin Wira yang menyampaikan hal ini pada Mahira. Karena Wahyu yakin Mahira akan lebih mendengar Wira.

"Tapi abi dan Abang Jahat."

"Tapi akhirnya kamu senang kan? ayo ngaku." Wira melepaskan pelukannya. Lalu membalikkan tubuh Mahira, hingga keduanya kini saling berhadapan.

"Aku mencintaimu Mahira. Apa kau juga mencintaiku?" Mahira tersipu malu saat Wira mengatakan hal itu sedekat ini. Apalagi Wira menatap kedua matanya dengan lembut. Mahira pun menunduk.

"Iya, Bang." Mahira mengucapkan dengan menunduk. Ia malu pada lelaki yang kini telah sah menjadi suaminya.

"Until jannah, Insyaallah." Wira mencium kening istrinya, lalu memeluknya dengan erat.