webnovel

Cakya

Cakya yang terkenal dingin, dan jarang bicara. Seketika dunianya berubah ketika dihadapkan dengan gadis pindahan dari luar kota. Ada apa dengan gadis ini...? Mengapa dia sanggup menjungkirbalikkan dunia Cakya yang damai.?

33nk · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
251 Chs

Semua perbuatan harus dibayar lunas satu persatu

Sinta masuk menemui Wika di UGD. Masih terlihat muka Wika yang sepucat kapas, sama persis seperti zombi di film-film. Bahkan Wika yang ceria, selalu tersenyum dan optimis tidak meninggalkan jejak di mukanya.

"Dek...", Sinta bicara lirih, hatinya teriris melihat keadaan Wika yang miris memprihatinkan.

"Mbak...", suara Wika lemah, bahkan seperti tidak ada tenaga hanya untuk berbicara.

"Kamu kemana saja dek...? Mbak nyariin kamu kemana-mana, entah sudah berapa kali mbak telfon kamu tidak pernah kamu angkat", Sinta bicara dengan nada paling rendah, Sinta tidak mau membuat Wika semakin merasa tertekan.

"Mbak...", suara Wika tercekat, seolah ada yang mencekik tenggorokannya sehingga suara tidak bisa tembus keluar.

"Ada apa...?", Sinta bertanya pelan, jemarinya menghapus air mata Wika dengan lembut.

Wika langsung menyerbu kepelukan Sinta, tangisnya pecah tidak mampu dibendungnya lagi. Wika menangis sejadi-jadinya, seolah dia ingin mengeluarkan semua beban yang sedang menumpuk di pundaknya.

Sinta ikut terbawa suasana, air matanya menetes membayangkan nasib gadis malang yang ada diperlukannya saat ini. Sinta mengusap pelan punggung Wika, memberi kekuatan kepada Wika agar tetap kuat.

Setelah menangis hampir setengah jam, Wika sudah mulai tenang, kemudian melepaskan pelukannya. Sinta menggenggam jemari tangan Wika.

"Kamu kenapa dek...?", Sinta kembali bertanya penuh kasih.

"Aku g'ak apa-apa mbak", Wika berusaha untuk tegar.

"Dek... Kalau kamu g'ak mau cerita, mbak g'ak bisa bantu kamu", Sinta bicara pelan, jemari tangan kanannya menempel di pipi kiri Wika.

Wika menggenggam jemari tangan kanan Sinta yang menempel dipipi kirinya dengan tangan kirinya, kemudian mencium telapak tangan Sinta. Air matanya menetes tanpa permisi membasahi pipinya.

"Wika hamil mbak...", Wika bicara dengan suara tercekat.

Sinta menarik Wika kedalam pelukannya, "Kamu yang kuat dek", Sinta memberi kekuatan kepada Wika.

"Wika mau mati aja mbak. Wika g'ak berani menghadapi mama, ayah, bang Dirga dan Candra. Wika malu mbak...", Wika bicara putus asa.

"Siapa yang menghamili kamu dek...?", Sinta menyelidiki siapa ayah si jabang bayi.

"Satia, teman akrabnya bang Dirga. Bahkan bang Dirga yang mendorong Wika agar jadian sama bang Satia", Wika bicara dengan nada yang paling rendah.

Darah Sinta terasa mendidih mendengar nama Dirga disebut-sebut oleh Wika. "Lalu dimana dia sekarang...?", Sinta berusaha menjaga nada suaranya setenang mungkin.

"Waktu melakukan itu, dia janji akan tanggung jawab mbak. Tapi... Setelah tahu Wika positif hamil, dia malah pergi sama cewek lain mbak", Wika kembali terisak meratapi nasibnya yang malang, kenapa dia bisa begitu bodohnya percaya kepada Satia.

"Terus... Kamu maunya gimana sekarang...?", Sinta bertanya penuh kasih.

"Wika g'ak tahu mbak, yang jelas Wika g'ak berani pulang kerumah. Wika takut menghadapi ayah, mama, bang Dirga dan Candra", Wika masih berusaha menyelesaikan ucapannya disela tangisnya.

"Kalau kamu mau, kamu bisa tinggal sama mbak dulu", Sinta memberi saran.

Wika langsung memeluk malaikat penolongnya, "Terima kasih mbak", Wika menghujani Sinta dengan tangisan.

***

Alfa segera kembali keruangan setelah melakukan operasi, saat Alfa membuka pintu, Alfa langsung disuguhi pemandangan Erfly yang masih tertidur pulas di atas sofa. Alfa menggantung jas dokternya, kemudian memesan makanan lewat HPnya.

Alfa duduk bersandar diatas kursinya, berusaha sereleks mungkin. Merenggangkan otot-ototnya yang kaku akibat melakukan operasi tadi.

Suara azan magrib berkumandang, seperti alarm, Erfly langsung terbangun begitu mendengar suara azan. Erfly menghidupkan HPnya yang dari tadi dimatikan olehnya, karena mau istirahat dengan tenang.

"Kamu sudah bangun dek...?", Alfa bertanya pelan, sembari memijit keningnya yang sedikit pusing.

"Udah Ko, Koko udah lama selesai operasinya...?", Erfly balik bertanya.

"Barusan dek", Alfa beranjak dari kursinya menuju kulkas, Alfa menyeduh teh hijau yang ada diatas kulkas untuk meredakan rasa pusingnya.

Erfly langsung melipat selimut yang dia pakai, kemudian merapikan diri asal.

"Kamu mau kemana dek...?", Alfa bertanya bingung saat melihat Erfly telah bersiap untuk pergi.

"Mushalla Ko, Erfly mau sholat magrib", Erfly menjawab santai.

"Kamu makan disini aja, Koko udah pesan makanan barusan", Alfa memberi perintah.

"Iya", Erfly bicara pelan sebelum berlalu meninggalkan ruangan Alfa.

***

"Assalamu'alaikum", Sinta mengucap salam saat membuka pintu rumahnya.

"Wa'alaikumsalam", Tasya muncul dari arah kamar, perutnya sudah mulai terlihat menonjol karena kehamilannya sudah masuk minggu ke 10. "Mbak...", Tasya menyalami Sinta, dan mencium punggung tangannya seperti biasa.

"Kamu habis sholat dek...?", Sinta bertanya asal, karena melihat Tasya masih memakai mukena.

"Alhamdulillah, iya mbak, barusan", Tasya menjawab apa adanya.

"Dek, ini Wika. Untuk sementara dia akan tinggal disini", Sinta mengenalkan Wika.

Wika dan Tasya langsung bersamaan, dan menyebutkan nama mereka masing-masing.

"Wika bisa pakai kamar disamping Tasya", Sinta menunjuk ke sebuah pintu yang dimaksud.

"Kalau gitu, Tasya ganti seprainya dulu mbak. Takut berdebu, karena lama tidak ditinggali", Tasya mengusulkan.

"Terima kasih ya dek, maaf merepotkan", Sinta bicara pelan, kemudian melemparkan senyuman tulus kepada Tasya.

Sinta langsung menuju ruang makan, menyiapkan makanan yang dia beli sebelum pulang. Kemudian Sinta menuju kamarnya untuk mandi dan bersih-bersih. Beberapa menit kemudian Sinta kembali keluar, terlihat Wika masih duduk membisu diruang tamu, sama seperti dia tinggalkan tadi.

Tasya keluar dari kamar tamu, membawa seprai dan selimut kotor kearah ruang cuci. "Dek biar aja di keranjang, besok mbak antar kelondry aja", Sinta mengingatkan.

"Ngapain mbak, ngabisin uang saja. Tasya saja yang cuci besok", Tasya protes.

"Dek jangan bandel deh, mbak g'ak mau terjadi apa-apa sama kandungan kamu. Kita makan dulu, mbak tadi udah beli makanan", Sinta bicara kepada Tasya agar dia tidak kembali kedalam kamar lagi. "Dek, kita makan dulu, habis itu kamu mandi terus istirahat", Sinta menggenggam tangan Wika.

Wika hanya mengangguk lemah. Kemudian mengikuti Sinta keruang makan. Mereka makan dengan tenang, tidak banyak yang mereka bahas selama dimeja makan.

***

Erfly kembali ke ruangan Alfa setelah sholat. Diatas meja Alfa sudah tersaji dengan rapi makanan pesanan Alfa. Erfly tidak perlu aba-aba lagi, langsung menyantap makanan yang ada.

Setelah makan HP Erfly berbunyi, "Assalamu'alaikum", Erfly bicara pelan.

"Wa'alaikumsalam, kamu dimana dek...?", Gama bertanya dari ujung lain telfon.

"Erfly lagi makan diluar, kenapa bang...?", Erfly bertanya pelan.

"G'ak apa-apa, abang hanya mau ngasih tahu, lemari dan tempat tidurnya udah datang, kata bang Utama InsyAllah besok sebagiannya lagi", Gama berusaha mencari celah agar bisa bicara serius dengan Erfly.

"Iya bang, InsyAllah besok Erfly lunasin sama papa", Erfly bicara pelan.

"Dek... Kamu kenapa...?", Gama bertanya cemas.

"Erfly baik-baik aja bang, hanya capek aja", Erfly berusaha memberikan alasan yang masuk akal.

"Ya udah, kamu istirahat. Sampai ketemu besok disekolah dek. Assalamu'alaikum", Gama menyudahi hubungan telfon lebih cepat.

"Wa'alaikumsalam", Erfly menjawab pelan.

***

Setelah makan dan memastikan Wika istirahat. Sinta langsung pamit keluar rumah, "Dek, mbak keluar bentar ya", Sinta bicara pelan kepada Tasya.

"Mbak mau kemana...? Ini sudah malam mbak", Tasya bicara khawatir.

"Mbak ada urusan sedikit dek, Assalamu'alaikum", Sinta berlalu pergi.

"Wa'alaikumsalam, hati-hati mbak...", Tasya menjawab pelan.

Sinta menuju rumah keluarga Wiratama, setelah tahu Dirga ada di taman belakang rumah, Sinta langsung menghampiri Dirga. "Setan...!", Sinta langsung mendaratkan tamparan penuh amarah dipipi kanan Dirga. Dirga jatuh tersungkur, karena tidak siap menerima serangan mendadak Sinta. "Kamu apa-apaan sih...?", Dirga tersulut emosi karena tidak ada angin, tidak ada hujan, dia menerima hadiah tamparan.

"Semua perbuatan harus dibayar lunas satu persatu", Sinta mengucap kata perkata dengan penuh emosi.