Seorang wanita berambut panjang dengan rambut terikat tali pita berwarna putih mengambil sebuah teko yang telah mengeluarkan asap dari mulutnya. Kemudian ia menuangkan ke dalam cangkir kecil yang berisi bubuk kopi hitam dan susu kental manis rasa vanilla. Air yang dituangkan dalam gelas berubah menjadi coklat karena perpaduan keduanya. Uap panas membumbung tinggi ke angkasa dan mengeluarkan aroma khas kopi robusta. Gadis itu kemudian menaruhnya ke atas nampan dan membawanya kepada Gus Roy yang sedang duduk bersila sambil menghisap dalam-dalam rokok kreteknya.
"Loh mbak? Kenapa cuma satu saja? Kan ada dua bocah tampan ingin kopi susu biar enggak grogi gitu. Kan kasihan mereka kalau merokok tanpa ditemani kopi susu. Yasudah, tolong buatkan dua gelas lagi ya mbak. Oh ya, sama bawakan pisang goreng ya." Perintah Gus Roy.
"Siap, gus." Wanita itu menyanggupi perintah tersebut sambil menganggukan kepalanya kemudian pergi ke dapur. Gus Roy menghisap lagi rokoknya sambil memandangi Cak Dul dan Mas Piet yang sedang memelas memohon petunjuk dan hidayah kepada Gus Roy agar warung tempat mereka bekerja tidak diteror lagi oleh sosok astral. Salah satunya kakek cangkul tanpa kepala.
"Lah kok pada diam? Kalian ini kenapa sih? Katanya punya masalah dan ada sesuatu yang ingin dicurhati kepada saya? Cuaah. Aneh kalian ini"
"A-anu gus." Kata Mas Piet. Namun seketika Gus Roy menutup mulutnya kemudian mengambil tangannya lalu diarahkan ke secangkir gelas panas yang berisi kopi robusta dengan susu kental manis cap banteng joget. "Silakan diminum dulu, mas. Dan elu Dul, jangan sekali-kali sungkan sama aku kalau kutawarkan kopi ini untukmu!"
"Siap, Gus!" Sahut Cak Dul dengan penuh semangat kemudian mengambil rokok dari dalam saku celananya dan dinyalakan rokok tersebut. Dihisap dalam-dalam rokok yang memiliki cita rasa daun mint masuk ke dalam paru-parunya. Sedangkan Mas Piet masih terdiam menunggu kopi yang dipesankan Gus Roy datang. Ia tak banyak bicara karena masih ada sedikit trauma malam itu ketika warung yang ditempatinya untuk bekerja didatangi oleh sosok pembawa cangkul tanpa kepala. Masyarakat sekitar Paciran selalu menyebutnya "Kakek Cangkul Tanpo Ndas alias tanpa kepala" atau kakek cangkul tanpa kepala. Kedatangannya selalu tengah malam dengan ditandai kabut yang muncul secara tiba-tiba dan sosoknya selalu memakai topi jerami berbentuk lingkaran, bercelana pendek, berkaos putih yang kotor dan selalu membawa cangkul. Jika seseorang didatangi oleh makhluk tersebut, maka selama semalaman ia akan mendapatkan teror seperti sebuah cangkul berdarah yang tiba-tiba berada di pinggirnya, atau sosoknya akan selalu hadir dimanapun ia pergi. Terkadang ia akan pergi ketika ayam berkokok.
"Hei! Bagaimana kalian ini? Sudah dibelikan kopi susu sama pisang goreng kok malah tidak ada menjamahnya. Memikirkan apalagi kalian ini? Ayo diminum dulu kopinya kemudian dimakan pisang gorengnya. Sudahlah enggak usah malu-malu. Dul! Piet! Ayo dimakan."
"Siap Gus!" Sahut keduanya seraya mengambil segelas kopi panas. Cak Dul menuangkannya ke lepek kemudian meniupnya hingga dingin dan meminumnya secara perlahan. Mas Piet lebih memilih untuk meminumnya langsung dari gelas secara pelan-pelan namun pasti.
"Tapi ingat Dul! Aku masih belum menerima kalau kamu masih mendekati si Yuli lagi."
Cak Dul yang sedang menikmati kopinya mendadak ingin memuntahkannya kembali dari mulutnya dan keringat yang awalnya panas mendadak menjadi dingin. Ia teringat bahwa si Yuli gadis pujaannya adalah adik Gus Roy dan ia tak setuju bila Cak Dul mendekatinya apalagi memiliki hubungan spesial dengan si Yuli. Namun walau demikian, Cak Dul masih yakin pada pendiriannya bahwa Yuli mau bersamanya walaupun terkesan mustahil. Sepanjang malam bayangan wajah Yuli selalu terngiang-ngiang sampai ia susah untuk tidur karena parasnya bagaikan bulan purnama yang senantiasa menerangi dalam kegelapan malam. Jika rembulan selalu membuat air laut menjadi pasang naik, maka daya tarik dari Yuli akan membuat perasaan cinta Cak Dul menjadi naik.
"WOI! Kalian ini malah diam aja sih. Dul! kau jangan melamun disini, kalau sampai kesurupan aku enggak mau mengeluarkan setan dari dalam dirimu. Biarin aja dah jiwamu diganti jiwa setan." Tegas Gus Roy. Mas Piet mendadak tertawa dan Cak Dul hanya tersenyum kecil hingga gigi-gigi kuningnya terlihat sambil menggaruk kepalanya yang diselimuti oleh rambut gondrongnya.
"Kalian ini memang agak aneh kok. Mumpung hari ini aku bahagia dan sedang baik hati. Kenapa kalian ini malah meremehkan pemberianku? Hah, iya aku sangat minta maaf karena tidak mampu membelikan makanan mewah seperti pizza, spaghetti, hamburger dan minuman bersoda. Kenapa? Karena kita tidak punya uang."
Gus Roy meminum Kembali kopinya yang sudah dingin. Uapnya kini sudah tak terlihat, hanya cairan berwarna coklat muda yang dipenuhi ampas kopi robusta di dasar gelas. Sesekali ia hisap rokok kretek yang ia pegang di tangan kirinya. Tujuh batang rokok habis ia lumat dan kopi masih tinggal setengah gelas. Ia masih menunggu dua bujang ini berbicara. Namun setelah menunggu hingga ulat keluar dari kepompong menjadi kupu-kupu, tak ada sepatah kata apapun yang keluar. Hanya hening yang menemani. Sesekali suara sepeda motor yang lewat menemani keheningan warung yang saat ini mulai sepi dari pembeli karena hari akan memasuki senja.
"Jadi begini, Gus. Setiap malam ini kita selalu bimbang karena saat berjualan rasanya enggak nyaman gitu. Selalu ada yang mengganggu. Kita ini salah apa sih kok sampai segitunya ada makhluk aneh yang mau obrak abrik malam yang sungguh memukau." Cak Dul memulai pembicaraannya dengan nada lirih. Walaupun ia masih duduk bersila namun tatapan matanya menuju ke bawah. Gus Roy hanya memalingkan wajah Cah Dul dan Mas Piet sembari menghabiskan rokok yang sudah mulai menipis. Ia lalu tertawa cekikan mendengar jawaban dari Cak Dul.
"Ngomong apa sih? Kamu itu hanya omong kosong saja. Memang siapa gerangan yang mengganggu kalian? Hah?!".
"Masa anda tidak tahu, Gus? Tentang makhluk tanpa kepala yang selalu membawa cangkul itu?" Tanya Cak Dul.
"Seharusnya itu cerita mistis klasik. Dan memang itu mitos yang aku dengar kali terakhir saat menuntut ilmu di pondok dengan Kiyai Chozin? Tapi kenapa dia bisa muncul pada zaman ini?"
"Demi Allah, Gus. Aku tidak berbohong. Aku sama Mas Piet baru saja buka warung kopi di pinggir Pantura sudah kena teror selama beberapa hari ini. Pusing kita, Gus."
Gus Roy hanya diam saja tak menjawab keluhan dari Cak Dul. Ia bingung harus berkata apa kepada Cak Dul dan Mas Piet. Namun yang jelas, ada sesuatu dalam benak Gus Roy.
"Maaf Dul, Piet. Ada sesuatu yang membebani hatiku. Agak gelisah hatiku saat ini. Bagaimana kita menghabiskan senja dengan kopi Arabika yang baru dikirim dari Wonosalam? Mau enggak?"
"Yasudah deh, Gus." Sahut Mas Piet dengan nada kecewa. Selang beberapa menit kemudian datanglah satu teko kopi Arabika yang masih panas dan diseduh dengan tanpa ampas. Aromanya sangat wangi namun ada sedikit aroma jeruk. Gus Roy memulai jamuan kecil itu dengan menuangkannya ke cangkir kecil berwarna kuning dengan motif bunga mawar yang baru saja mekar di pagi hari. Setelah itu Mas Piet mulai menuangkannya ke dalam cangkir yang memiliki bentuk dan motif sama seperti Gus Roy. Selesai menuangkan, ia merasakan sesuatu yang aneh menghampirinya. Tercium bau darah di dekat kopi itu. Jantungnya mulai berdetak kencang, keringat dingin bercucuran di keningnya, gerahamnya mulai menggigil, bulu kuduk berdiri di lengannya yang penuh lemak, dan tatapannya tajam mengelilingi sekitar walaupun rasa takut menyelimuti tubuh tambunnya. Aroma amis mulai mendekat dan semakin mendekat. Ia merasa ada tangan yang menggerayangi pundaknya. Bau amis sudah menguasai hidungnya. Ia ingin berteriak tetapi lidahnya begitu kaku.
"Mas, kamu kenapa? Kok melamun?" Kata Cak Dul.
"M-mas, kok aku merasakan firasat buruk ya?"
"Sudah. Ayo diminum dulu. Keburu malam nanti. Jalan gelap. Apalagi di Dagan enggak ada penerangan sama sekali. Lewat kuburan Zombok pula. Malas aku lewat sana"
"Ayo diminum dulu kopinya. Rugi kalau nanti dibuang." Kata Gus Roy sambil menengahi mereka berdua. Senja masih penuh suka cita namun Mas Piet masih berusaha untuk larut dalam romantisme di atas teror yang akan mengancamnya nanti.