Pagi itu suasana jalan Pantura mulai dipadati oleh kendaraan bongkar muat seperti truk dan mobil boks. Mobil dan sepeda motor saling beriringan di jalanan aspal yang tak berlubang. Matahari mulai mengintip dari balik celah lautan biru yang tenang tanpa ombak dengan ikan yang berenang mencari makanan ataupun bermigrasi ke lautan lain. Cak Dul dan mas Piet melanjutkan aktivitas jualan di warung kopi seperti biasanya. Walaupun keduanya melewati dua malam yang cukup mencekam dengan segala terornya, ndas buntung itu masih menjadi pertanyaan bagi mereka. "Opo iyo bakal merene neh?" Kata mas Piet sambil menyeruput kopi panasnya perlahan-lahan. Ia sengaja menyeduh kopi pahit tanpa gula sedikitpun agar matanya senantiasa terbuka melayani pengunjung yang akan datang.
"Tanganku hampir aja sobek mas. Bisa-bisa habis uangku buat jahit nih tangan. Apalagi rumah sakit jaraknya jauh dari sini. Setahuku yang bagus di rumah sakit Matahari Terbit. Itupun harus memakan waktu selama satu jam dari warung. Ditambah jalan Sukodadi lagi rusak parah, cah." Kata cak Dul sambil menghisap dalam-dalam rokok kretek lalu menyemburkan asap ke udara pagi yang semestinya penuh dengan oksigen. Dua bujang ini terpaksa melekan sampai pagi agar tidak terlambat bekerja. Cak Dul sejak pagi-pagi buta mandi di kosannya yang sepi agar tidak digedor-gedor lagi oleh penghuni lain, ditambah biar lebih khusyuk membayangkan wajah Yuli yang mampir ke kosannya kemarin sambil mengantarkan buah salmon dari mak Tun.
"Mas, kamu mandi dulu sana. Warkopnya aku jaga sekarang. Badanku enggak seberapa capek kok. Toh badanmu sudah bau tanah dan keringat ditambah lagi bajumu sudah kotor."
"Sebentar lah, kopiku belum habis ini loh. Sayang, kopi robusta asli kok dibuang begitu saja. Walaupun habis pun, ampasnya masih bisa dioles ke rokok. Biar lebih mantap aroma dan rasanya. Kayak Aironmen."
Cak Dul kemudian merubah posisi duduknya yang awalnya bersila jadi menaikkan lutut. Punggung tangannya menyentuh kening, ia berpikir bagaimana agar warkop ini bisa aman dan kebal dari serangan pengunjung sekaligus penghuni dari dunia lain? Sambil menghisap rokok kretek yang tinggal setengah, dicarilah ide yang pas agar masalah bisa selesai. Di malam mendatang pasti akan ada pengunjung usil yang akan mengganggu mereka. Walaupun cak Dul memiliki badan yang tegap dan kekar, namun kekuatannya tak mampu menghalau kehadirannya.
"Mas, aku punya kenalan orang pintar di daerah Solokuro. Tapi kamu keberatan tidak kalau kita konsultasi sama beliau?"
"Demi keamanan dan ketertiban warung kopiku, aku siap melakukan apa saja, cak. Siapa orang pintar itu? Ayo segera kita temui dia."
"Namanya Gus Roy. Seorang mantan santri dan ahli kebatinan yang kini menjadi pengusaha angkringan Panji Kedaton. Tapi semoga saja beliau masih punya ilmunya." Dan dihisaplah rokok kretek itu lagi lebih dalam hingga menembus paru-paru cak Dul yang sudah menghitam sejak lama. Ia ingin bekerja, namun mas Piet membuat keputusan agar warkop buka siang nanti.
###
Gus Roy, ia bukan Roy Marteen sang bintang film terkenal di Indonesia. Ia lahir di Desa Takeran, Lamongan saat penerangan di jalanan masih minim dan listrik masih belum familiar di desa. Kedua orang tuanya adalah petani jagung yang tidak terlalu mujur. Bapaknya bernama Kasim, keturunan sesepuh desa dan ibunya Sumiatun adalah anak seorang pemuka agama setempat. Pak Kasim punya prinsip agar tidak menyusahkan tetangga dengan tidak berhutang. Lebih baik tidak makan sama sekali daripada kenyang namun punya hutang. Sejak kecil, Roy selalu dididik untuk senantiasa mengaji dan belajar ilmu agama secara mendalam. Bapaknya selalu mengajarkan ilmu tasawuf dan kebatinan agar Roy senantiasa mensyukuri terhadap apa yang diberikan Tuhan kepadanya serta tidak terlalu cinta kepada dunia.
Umur 7 tahun Roy dipondokkan oleh bapaknya di pesantren Karangasem Lamongan yang jaraknya hanya 1 jam perjalanan dari Takeran. Di pesantren, Roy tergolong santri yang rajin belajar dan mengaji Al-Quran, ia tak pernah sekalipun membantah gurunya dan selalu ta'dhim kepada kiyainya. Apa yang diucapkan oleh kiyai tak pernah sekalipun ditolak. Metode belajar yang paling disukainya adalah bandongan, dimana seorang santri belajar secara pribadi dengan seorang kiyai untuk mempelajari kitab kuning.
Pergaulannya dengan teman-teman santri cukup luas, ia tak pernah membeda-bedakan dalam berteman. Mulai dari santri rajin sampai malas, santri baik sampai nakal sekalipun ia tak sungkan untuk saling bertutur sapa. Hal ini membuat kawan-kawannya segan kepadanya sampai berani mempertaruhkan jiwa dan raga jika ada senior-senior yang memalak padanya.
Saat nyantri Roy sangat suka olahraga pencak silat Merpati Putih, selain untuk membela diri juga agar dirinya senantiasa sehat dan enggak mudah sakit. Dia bergabung saat kelas 5 dan di pencak silat inilah Roy mulai mengenal dengan tradisi-tradisi klenik. Seperti saat kenaikan tingkat sabuk dari dasar ke tingkat dua, ia harus mencari sabuk di sebuah pemakaman. Sebelum memulai ujian, semua siswa termasuk Roy harus membaca mantra dan doa-doa agar selamat dari gangguan jin. Lalu setiap siswa harus mencari sabuk tahap selanjutnya agar lulus, jika tidak menemukan sabuk otomatis tidak lulus. Roy lulus dengan baik dengan melawan rasa takutnya walaupun harus menerima risiko apapun itu. Ia menemukan sabuk di bawah pohon kamboja yang cukup besar dan angker.
Lulus dari sekolah dasar, ia melanjutkan pendidikan menengah pertama di pesantren daerah Jombang yang bernama Nurul Anyar guna memperdalam lebih matang ilmu agamanya. Alasan memilih Jombang karena bapaknya kenal dekat dengan kiyai-kiyai disana, ia juga berpesan agar anaknya digembleng lebih mantap dalam penguasaan kitab kuning, bahasa Arab dan ilmu tirakat.
"Le, kamu bapak pondokkan di Jombang. Temui seseorang yang bernama kiyai Chozin. Mintalah ilmu darinya secara ikhlas dan mengharapkan rida Allah saja. Jangan kau harapkan harta, jabatan, ataupun wanita. Sudah itu saja. Jangan nakal ya, nak."
"Ya, bapak. Saya akan ikuti perintah ayahanda."
Roy mulai merantau menuju Jombang dengan mengendarai bis antar kota rute Lamongan-Jombang. Dengan berbekal pakaian, alat salat, uang 50 ribu rupiah, dan alat tulis ia berangkat dengan mantap seraya meniatkan untuk belajar ilmu agama Islam dengan baik. Setelah sampai, ia mulai mencari pondok pesantren Nurul Anyar dengan menggunakan jasa ojek pengkolan di terminal. "Ternyata jaraknya cukup jauh juga dari Jombang kota." Gumamnya. Sesampai di pintu gerbang, ia terperanjat dengan bangunan yang sederhana namun bertingkat lima. Tanpa pikir panjang Roy mulai menemui seorang kiyai yang bernama Chozin. Dicarilah dia di sebuah tempat yang tidak dikenalinya sama sekali. Ratusan santri dengan berbalut kain sarung dan baju muslim berpeci hitam berlalu lalang melewatinya. Masih belum ditanya kepada salah satu santri di pondok itu, "Dimana Kiyai Chozin?"
Ia terus berjalan sampai ke dalam masjid yang besar. Lantainya terbuat dari marmer, tidak pintu sama sekali sehingga siapapun bisa masuk atau keluar di wilayah masjid, penyejuk ruangan hanya udara dari luar dan tak ada pendingin seperti kipas angin. Di dalam berkumpul banyak santri, kira-kira 30 anak yang duduk secara khusyuk menunduk ke bawah. Tangannya terus-menerus menulis di sebuah buku yang kertasnya berwarna kuning dengan tulisan-tulisan Arab. Mereka semua melakukan hal yang sama. Tidak ada satupun santri yang berani berbicara, berlarian di barisan belakang, ataupun bercanda ria dengan teman di sampingnya. Roy hanya mendengar seorang laki-laki yang suaranya sudah mulai serak karena usia. Keningnya penuh dengan kerutan, jenggotnya sepanjang 7 sentimeter dan telah memutih, tubuhnya kurus kering, tetapi pandangannya masih begitu tajam. Di kepalanya terbalut sorban kain berwarna putih, duduknya bersila sambil memegang sebuah buku. Mulutnya tak berhenti mengeja bahasa Arab ke bahasa Jawa. Sesekali ia menggunakan nada baca indah yang bisa didengar oleh siapapun, bahkan burung-burung yang bertengger di langit-langit masjid tak mampu mengepakkan sayapnya karena keindahan suaranya.
Para santri yang mendengarkan terdiam dan menyimak dengan baik. Roy pun ikut mengamati ngaji bandongan itu, sampai tak terasa ia hanyut di dalamnya. Selama satu jam Roy menikmati kajian tersebut walaupun dari kejauhan. Setelah selesai, para santri langsung maju ke orangtua itu kemudian meraih tangannya lalu menciumnya secara bergantian.
Saat semuanya telah pergi, Roy berlari dan menyalami tangan orangtua yang begitu terhormat. "Assalamu'alaikum, Kiyai Chozin. Ngapunten, nama saya Roy sa…" Ia memutus pembicaraan dengan isyarat jari telunjuk ke atas. "Wa'alaikumsalam. Ojo gupuh. Monggo duduk dulu disini." Kedua orang yang usianya berbeda sangat jauh layaknya kakek dengan cucu itu duduk lesehan di atas lantai marmer dingin.
"Ada apa kamu kesini?"
"Saya mau belajar kepada panjenengan kiyai. Mencari ilmu langsung dari panjenengan. Karena panjenengan niku memiliki disiplin ilmu yang begitu tinggi." Sontak orangtua itu tertawa pelan tanpa memperlihatkan giginya. Jari jemari kanannya terus memutar bola-bola kecil tasbih. Mulutnya tak henti-henti berkomat-komat menyebut "Astaghfirullah".
"Kamu itu lucu kok. Baru sekali aku menemukan orang seperti kamu. Ilmu itu asalnya dari Allah, bukan dariku. Aku ini hanya manusia biasa. Ilmuku hanya sekedar yang kupunya saja dan masih terus untuk belajar. Dan. Ehem! Kamu ini anak si Kasim itu yang dari Lamongan kan?"
Roy terkaget dan matanya terbelalak tak percaya kepada orang tua ini. Benarkah ini kiyai Chozin yang dikatakan oleh bapaknya sebelum berangkat? Konon, kata bapaknya, kiyai Chozin memiliki keistimewaan dapat menebak masa depan tanpa kesalahan sekalipun. Itu adalah ilmu yang bisa diajarkan kepada orang lain. Namun tak sembarang orang mampu mendapatkan ilmu darinya, hanya orang pilihan yang boleh belajar ilmu tersebut.
"Kamu yakin akan siap menerima konsekuensi dan mau menuruti segala perintahku?"
"Saya siap menerima perintah dari anda, kiyai. Bahkan taruhan nyawa pun saya siap, kiyai."
"Dalam hatimu masih ada keraguan, nak."
Roy membusungkan dadanya ke depan dan mengangkat kepala seraya menajamkan pandangan ke kiyai Chozin. "Insya Allah saya siap, kiyai!"
"Baiklah. Esok kita mulai belajar. Sebelumnya, aku akan memanggil ustad Rofiq untuk mencarikanmu kamar agar kau bisa beristirahat."
###
Langit masih gelap dengan cahaya bulan dan bintang yang menyinari permukaan bumi. Angin malam menghembuskan ilalang dan pepohonan secara perlahan. Binatang-binatang tanah masih tertidur bersama keluarganya di dalam sarangnya masing-masing. Kecuali seekor burung hantu yang bertengger di dahan pohon dengan matanya yang selalu mengawasi daratan apabila ada mangsa lewat, langsung diterkam dengan kuku tajamnya.
"Laa haula wa laa quwwata illaa billah"
"Laa haula wa laa quwwata illaa billah"
"Teruslah berucap kalimat itu, Roy. Jangan kau berhenti mengucapkannya. Fokuslah dan jangan sampai memikirkan apapun selain Allah. Hilangkanlah rasa sombong, prasangka buruk, iri, hasad, dan merasa benar."
Roy duduk bersila, matanya terpejam, mulutnya tak henti berkomat kamit membaca kalimat itu. Jari kanannya terus menerus memutar tasbih. Roy dan kiyai Chozin kalut dalam malam yang sunyi mengagungkan ciptaan Allah. Nafsu yang melekat dalam diri Roy, berusaha sekeras mungkin untuk dikendalikan agar tak sepenuhnya menguasai. Hingga sampai suara azan Shubuh berkumandang, murid dan guru beranjak ke masjid untuk menunaikan sembahyang.
###
Setiap hari Roy selalu belajar ilmu dari kiyai Chozin, saat siang ia mengkaji kitab kuning dengan beragam disiplin ilmu seperti tafsir Al-Quran, ilmu hadis, fikih, kalam, dan tasawuf. Selain itu penguasaan terhadap bahasa Arab dipelajarinya lebih dalam. Sedangkan saat malam tiba, ia menjalani ritual pembukaan mata batin dengan kiyai Chozin dengan membaca kalimat "Laa haula wa laa quwwata illaa billaahil 'adhim" secara terus menerus.
Hingga suatu saat, Roy mulai merasakan ada yang berubah dari pandangannya. Ia heran mengapa keadaan lebih ramai dari biasanya? Namun sosok yang meramaikan jauh berbeda dari yang biasa ditemui. Jika ia menemui manusia, hewan, dan tumbuhan, maka ini adalah sosok yang "baru" baginya. "Ada apa kau diam saja, nak?" Kiyai Chozin terlihat bingung kepada Roy yang matanya melotot seperti ada kejanggalan. Namun ia tak menghiraukan.
"Kiyai? Mengapa ada wanita tak berkerudung di atas sana? Bukankah disini tak boleh ada wanita walaupun berkurudung, kiyai?"
"Oh, jadi mata batinmu sudah terbuka ya? Alhamdulillah. Selamat, nak" Kata kiyai Chozin sambil menengadahkan tangan. Ia begitu bersyukur dan bangga karena berhasil mendidik murid terpilihnya dengan baik. Kemudian mulutnya berkomat-kamit dan kakinya ia buka ke samping. Dihantamlah tanah yang dipijak dengan kaki kanannya lalu tanah tersebut terbelah menjadi dua. Ada 5 gulungan berwarna merah, biru, kuning, cokelat, dan hijau. Diambilah guulungan-gulungan tersebut dan diserahkan kepada Roy.
"Ambilah gulungan ini, Roy. Ini adalah bagian dari keris pusaka. Jagalah baik-baik! Kelak kau atau orang lain membutuhkannya. Sekarang pergilah dari pesantren ini dan beramalah."
"Sendika, kiyai. Terima kasih banyak."
###
Setelah belajar dari pesantren Nurul Anyar, Roy membangun usaha warung kopi yang diberi nama Panji Bukan Petualang yang terletak di Takerharjo, Lamongan. Sebuah desa yang jaraknya cukup jauh dari kota yaitu 1 jam perjalanan sepeda motor. Warungnya sangat laris dan tidak pernah sepi dari pembeli. Kala fajar tiba, koki sudah memasak nasi dan berbagi menu. Pukul 6 pagi, pelanggan sudah banyak yang mengantri untuk beli sarapan di warung Gus Roy. Pelayan serta pelanggannya lebih akrab memanggil Gus Roy karena ia memang paling tajir dan juga pernah belajar di beberapa pondok pesantren. Selain karena ia punya keturunan seorang kiyai. Warung kopi Panji Bukan Petualang tidak hanya menyediakan kopi bubuk murni, namun ada beragam makanan seperti nasi goreng, mie goreng, sate ayam, sate kambing, soto ayam, ayam penyet, tempe bacem, dan bebek peking sambal bajak.
Selain berbisnis makanan dan minuman, ia juga membuat konten video tentang tata cara membuka usaha, memasak makanan yang wuenak, bahkan cara menamtkan sebuah permainan daring digelutinya. Walaupun penontonya tak sebanyak pelanggan warungnya, namun Gus Roy pantang menyerah untuk membuat konten menarik.
Umurnya sekarang sudah tidak muda lagi. Sekitar 48 tahun namun otot-otot tangannya masih kekar berurat. Badannya kurus namun tegap bak seorang prajurit tentara. Setelan sarung, baju kokok hitam, peci hitam dan batu akik di jari manisnya adalah ciri khas seorang Gus Roy. Sejak ia membuka usaha warung kopi, rokok kretek beraroma cengkeh menjadi camilan hariannya. Ditambah kopi hitam tanpa gula membuat mata menjadi melek. Dia adalah kakak kandung dari Yuli, gadis idaman cak Dul yang selama ini enggak pernah dinikahinya. Maklum, Gus Roy agak kurang cocok dengan penampilan cak Dul yang tidak jelas masa depannya sehingga Yuli sukar berjodoh dengannya.
Di suatu siang yang cerah, tiba-tiba ia kedatangan dua orang tamu yang sudah tidak asing di telinganya. Dua orang pria berbadan tegap berambut gondrong keriting dengan seorang pria tambun berambut cepak datang dengan wajah lesu seperti habis kesurupan.
"A.. assalamu'alaikum." Kata Cak Dul dan Mas Piet.
"Wa'alaikumsalam. Ada apa, Dul? Mau ketemu Yuli toh? Sudah tidak usah nyari-nyari adekku lagi dong. Kayak enggak ada perempuan lain aja. Toh aku juga tidak sudi punya ipar seperti kamu." Kata Gus Roy sambil menghisap rokok kreteknya dalam-dalam kemudian dikeluarkan asap dari mulutnya.
"Emm, bukan Gus." Lanjut cak Dul dengan suara agak serak dan ketakutkan.
"Saya kesini mau minta tolong untuk mengusir setan di warung kopi kita. Beberapa hari ini kita sering terkena teror."
Gus Roy menaruh puntung rokoknya ke asbak kemudian menyeruput kopi hitam yang berada di samping asbak. Ia tertawa terkekeh melihat alasan dan tingkah konyol dua bujang ini. Di zaman yang sudah modern masih saja ada orang yang berpikir ataupun mengalami kejadian-kejadian takhayul. Ia masih bisa menerawang kejadian yang dialami oleh cak Dul dan mas Piet beberapa malam lalu.
"Jadi kalian habis diteror toh sama kepala buntung itu?"
"Ya, gus. Kita sudah enggak kuat lagi menghadapi kenyataan ditinggal kekasih tercinta. Eh, maksudnya lelembut itu." Kata mas Piet.
"Hemmm. Mumpung besok sudah malam Jumat Kliwon, kalian harus datang kesini jam 9 malam. Boleh pakai motor dan memakai baju apapun. Tapi ingat, jangan sekali-kali kalian membawa kain batik. Apalagi motif barongan biar enggak kena akibatnya. Paham?"
"SIAP, GOS!" Teriak cak Dul dan Mas Piet.
"Yasudah, ayo sini makan dan ngopi dulu."