webnovel

Bunga Menari

*Sudah Tamat* Terbelenggu dalam peliknya kisah masalalu membuat Clarista hampir masuk rumah sakit jiwa. Di akhir batasnya, seakan sudah takdir ia dipertemukan dengan laki-laki yang memiliki kepribadian dengan sosok seseorang dari masalalunya itu. Berkali-kali menolak, takdir tetap menjadikan laki-laki yang baru hadir ini sebagai pendampingnya. Hingga Clarista lelah menolaknya, pasrah dia pada takdirnya. Tapi ... apa kali ini akan berakhir sama lagi? Apakah laki-laki yang baru ini juga akan meninggalkan selamanya seperti sosok masalalunya? Lantas, ia ... apakah akan berakhir menjadi seorang pasien di rumah sakit jiwa seperti yang sebelumnya terlintas dalam benaknya?

Lee_TaaRi · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
264 Chs

Jadi Tukang Ojek?

Melihat mata Refi yang menatapku kasihan entah mengapa aku tak kesal maupun kebingungan.

"Kakak jangan terlalu beranggap buruk tentang diri sendiri. Aku nggak akan ngomong banyak karena udah petang, bentar lagi bang Dimas jemput. But, makasih, aku tahu kakak memang yang terbaik, love you hehe," ujarnya membalas ucapanku tadi.

Sama sepertinya aku mengula senyum tipis. Memang benar seperti yang di katakan, tak lama setelahnya bang Dimas datang. Karena merasa perlu, aku mengantar Refi sampai ke depan pintu.

Dari sini aku bisa melihat kakak kandung dari Riki. Dia kelihatan jauh lebih cerah ketimbang terakhir kali aku bertemu dengannya.

"Hai, adik ipar. Kabar baik, 'kan?" tanyanya dengan tampang tengil.

"Abang ojek jangan genit ya, mbaknya yang disana udah ada yang punya!" tegur Refi membuatku tergelak.

Siapa bilang aku ada yang punya? Riki kan bukan siapa-siapa. Namun jika aku membantah dengan tegas nanti bisa dikira baperan ya, 'kan?

Eum kurasa memang tersenyum tipis adalah satu-satunya jalan terbaik yang bisa ku lakukan saat ini.

"Baik kok, Kak," jawabku mengabaikan Refi yang melotot tak suka.

"Ih kak Ta nggak usah bersikap baik sama dia kali, orang macam bang Dimas nggak pantes dihormati!" nasehat gadis itu lagi.

Bang Dimas menirukan ucapan Refi, tentu saja keduanya berdebat cukup lama hingga aku berdehem dan mungkin saja kini mereka sudah sadar bahwa ada diriku.

"Hehe, udah hampir malam, kalau gitu aku sama abang pamit ya kak Ta. See you dan makasih buat hari ini!" pamit Refi sambil melambaikan tangannya.

Aku mengangguk lantas membalas lambaian tangannya itu. menghembuskan nafas berat, ah sial sekali setelah mengerjakan home work lantas lanjut belajar ternyata bisa membuat kepalaku pusing bukan main ya.

"Non mandi sana!" teriak bibik yang entah ada dimana orangnya saat ini.

Hihi kan sekarang memang sudah lewat jam mandi, wajar saja jika bibik sampai berteriak seperti itu hm.

"Iya, Bik. Udah dijalan juga nih kalem aja kali," balasku yang juga berteriak padanya.

Gegas aku ke kamar lantas mandi. Usai mandi karena tak banyak hal yang bisa ku lakukan maka aku memutuskan untuk segera tidur saja. Mengantuk? Tentu saja tidak namun entah mengapa rasanya memang tak begitu nyaman jika tidur malam.

Sepertinya gawai milikku bordering. Namun sama seperti tadi, aku benar-benar malas beranjak.

Setengah jam berlalu dan rasa kantukku tak kunjung datang. Sebaliknya ponsel it uterus saja bordering membuatku jadi ingin membantingnya saja, namun karena tak yakin apa aku memiliki cukup uang untuk membelinya lagi maka ku urungkan niatku itu.

Berhubung bosan, ku ambil gawai lantas membukanya.

Gila saja, lima puluh tiga panggilan tak terjawab dengan ratusan chat masuk. Malas membukanya, ku telpon balik saja dia.

"Kenapa, Kak?" tanyaku tak mau basa-basi pada Riki.

Hem ya lebih cepat lebih baik lah bagiku. Aku benar-benar bosan saat ini. Semoga saja dengan mengobrol begini rasa bosanku bisa teratasi.

"Seriusan Refi sama abang kesana?" balas Riki tergesa-gesa.

Ah, rupanya dua orang itu tak meminta ijin ya saat datang kemari hingga Riki bertanya langsung padaku begini.

"Iya, Kak. Mereka datang, lebih lama Refi sih karena aku dan dia belajar bareng, why?"

Hembusan nafas kasar terdengar dari seberang. "Nggak usah mau kalau diminta ngajarin Refi, pasti lo kesusahan ya, 'kan? Guru les private-nya aja udah pada malas ladenin dia."

"Rista, jangan karena dia manis lo jadi tertipu semudah itu. pasti capek ya ngajarin anak setan?" tuturnya. Meski hanya terdengar suaranya saja namun aku sangat yakin kalau Kak Riki mengkhatirkanku.

Dan dia tadi menyebut adiknya anak setan ya? Uh sedikit keterlaluan sih. Gadis manis seperti Refi kan lebih mirip dengan bidadari ketimbang setan. Dia jadi kakak rupanya benar-benar menyebalkan sekali ya!

Beruntung karena aku bukan adiknya. Coba saja aku jadi adiknya sudah ku giling halus dia dan kasi makan ke harimau saja haha, bercanda kok, sound like a psycho?

"Ngomong apa sih?" godaku karena sudah kelewat bosan.

"Ta…!" rengeknya yang malah terdengar lucu di telingaku. Kan jarang-jarang aku mendengar kak Riki merengek begini.

Hem, sesekali menggodanya bukan hal yang buruk kok. Toh kelihatannya kami sudah 'agak' dekat bukan? Hehe, pasang watados saja.

"Iya-iya, kenapa sih, hm? Refi ya? Kak, she is pretty girl. Refi itu baik, ramah dan dia pintar juga. Satu bab kilat yang biasanya butuh waktu sebulan untuk penjelasannya tapi dia hanya butuh dua jam buat memahami dengan baik," paparku pada akhirnya.

Di seberang tak terdengar lagi suara apa-apa. Agaknya kak Riki mungkin kebelet lantas menaruh ponselnya begitu saja.

"Bohong ya?"

Suara kak Riki kembali terdengar dan untuk kali ini dia memang sepertinya tak percaya padaku. Aneh, mengapa dari suaranya saja aku sudah bisa menebak bagaimana ekpresinya saat ini ya?

"Bohong dari mana sih? Aku ngajarin dia cuman dua jam, terus ada lima contoh soal yang aku coba buat sendiri. Refi hebat, dia bisa mengerjakan tiga soal dengan baik bahkan kalau saja dia nggak salah ngehitung bagian penyelesaian maybe bener empat loh. Kayak gini kakak masih mau bilang Refi anak setan?" jelasku yang tak mengada-ngada sama sekali.

Tawa kak Riki terdengar.

"Itu karena kamu memang berbakat, aneh aja kalau kamu nggak masuh peringkat tiga besar. Maaf btw," balas kak Riki.

Seketika aku menjauhkan ponsel untuk mengubah posisi yang semula telentang kini menjadi tengkurap.

"Untuk?" sahutku.

"Refi yang nyusahin kamu," katanya.

Aku mencibir dalam hati.

"Dia nggak nyusahin sama sekali kok."

Di seberang terdengar suara bang Dimas yang memanggil Riki meminta kakak kelasku itu untuk turun dan makan malam.

"Nggak perlu bohong kali, aku tahu awalnya dia pasti nysahin. Btw aku minta maaf bukan buat ini aja, dia datang kesana karena semalam aku bilang kalau kamu hebat dan jagi di semua mata pelajaran. Kayaknya aku terlalu banyak bicara makanya Refi buktiin langsung kesana. Dan jujur, kamu yang mendeskripsikan kalau adikku baik benar-benar di luar ekpsektasiku," terang Riki.

Dia ini sungguh-sungguh mengatakannya hingga membuat sudut bibirku berkedut.

"Rista, makasih dan maaf ya? Kalau aku, atau mereka para setan ini banyak bicara jangan bosen-bosen sama kami. Eh? Ngggak sadar manggil aku-kamu haha, nyaman ternyata," ujarnya absurd.

Seketika aku juga baru sadar jika sapaan kami berubah. Dan mendengar kak Riki memanggil dirinya aku memang jauh lebih nyaman ternyata.

"Nggak grastis, Kak," sahutku out of topic.

"I know, My lady. So, kamu minta apa sebagai bayarannya?"

Mendadak pipiku rasanya panas sekali mendengar panggilan itu. My lady, so sweet haha.

"Jadi tukang ojek aku?" pintaku yang disambut dengan tawanya.

To be continued ….