"Tidak juga. Tetapi aku bakal lebih terganggu kalau misalnya aku diam begitu saja."
Harry kembali dengan kebiasaannya. Mencondongkan badannya dan mulai meremas-remas kepalanya. "Mustahil bagi siapa pun untuk menemukannya." Suaranya kembali memecah. "Aku juga tidak yakin apa aku bisa menemukannya. Sementara kejadiannya sudah sangat lama berlalu."
"Delapan tahun."
"Sembilan."
Toksoplasmosis itu menyergap kepalanya sejenak lalu rasa sakit itu berakhir. "Tapi aku masih sempat menjenguknya beberapa kali usai dia meninggal."
Ivan mengangkat kedua tangannya. "Aku tidak mau mendengar soal itu. Sepertinya aku bisa langsung menghubungi pengacara Furuya Satoru dan memberitahunya tentang mayat gadis itu. Tenang saja, aku tidak akan menyebut namamu."
"Lalu apa setelahnya?"
"Aku tidak tahu. Aku bukan pengacara. Selanjutnya ya, terserah pengacara itu nanti."
"Satu-satunya orang yang bisa menemukan Stefa adalah aku. Hanya aku. Sementara aku tidak bisa meninggalkan rumah singgah ini. Seperti ada batas teritorial yang harus aku patuhi. Kalau aku nekat dan akhirnya ketahuan, mereka aku mengira aku melanggat aturan pembebasan bersyarat dan bisa-bisa mengirimku lagi ke penjara. Kau tahu, Pendeta, aku sudah tidak mau lagi kembali ke penjara."
"Apa bedanya, Harry? Toh, setelah ini kau akan mati. Anggap saja itu sebagai penebusan dosamu."
Harry menjadi diam, seperti sibuk menyelami pikirannya sendiri dan mulai mengetuk-ngetuk meja dengan ujung jarinya. Dia menatap Ivan lekat-lekat, dengan mata gersang tanpa mengerjap. Dia mulai bersuara dengan suara pelan, "Pendeta, aku tidak mau mengakui tindakan pembunuhan."
"Kenapa tidak? Setidaknya kau punya sekian riwayat kejahatan tak kalah brutalnya. Kau menghabiskan sebagian besar hidupmu di penjara. Pun kau mengidap toksoplasmosis yang akan menggerayangi usiamu dan kau akan mati. Kenapa kau tidak mempunyai keberanian untuk mengakui secara resmi? Lagipula, orang tidak bersalah akan dihukum mati karena ulahmu."
"Ibuku masih hidup."
"Di mana dia tinggal?"
"Shibuya."
"Siapa nama ibumu?"
"Kau akan menghubunginya, Pendeta?"
"Tidak. Aku tidak mau mengganggunya. Siapa namanya?"
"Yukie Kazuya."
"Dia tinggal di Jalan Hirohito, kan?"
"Bagaimana kau…"
"Ibumu sudah meninggal tiga tahun lalu, Harry."
"Hah? Bagaimana kau…"
"Google hanya butuh sepersekian menit untuk bisa menemukan identitas ibumu."
"Google? Apa itu?"
"Sebuah fasilitas pencari di internet. Dusta apa lagi yang akan kau katakan? Berapa banyak kebohongan yang sudah kau katakan padaku hari ini?"
"Kalau aku berbohong, mengapa kau kemari?"
"Aku tidak tahu. Tetapi itu sebuah pertanyaan yang bagus. Kau telah mengutarakan banyak cerita dan kau mempunyai sejumlah catatan kriminal yang buruk. Sementara kau tidak punya keberanian membuktikan apapun."
Harry mengangkat pundaknya seolah-olah tidak pedulu. "Aku tidak perlu membuktikan apapun. Aku bukan terdakwa kali ini." Matanya menyipit.
"Kartu sasana olahraga dan kartu pelajarnya ditemukan di sungai merah. Bagaimana mungkin itu sama dengan yang kau ceritakan?"
"Waktu itu ponselnya ada di dalam dompet. Begitu aku menyergapnya, benda kualat itu tidak mau berhenti berdering, terus-menerus berbunyi. Aku kesal dan mengambil dompet itu darinya dan melemparkannya keluar jembatan. Tapi aku tetap menawan Stefa. Aku sangat membutuhkannya. Gadis itu mengingatkanku pada istrimu yang manis, Pendeta."
"Tutup mulutmu, Harry!" sergah Ivan. Sebelum lepas kendali, dia masih berusaha menarik napas panjang agar bisa menahan diri. "Kau tidak perlu membawa istriku dalam hal ini."
"Maaf, Pendeta." Sambil setengah cekikikan. "Kau ingin bukti lain, Pendeta? Coba kau lihat ini." Sebuah cincin emas dengan sebutir permata biru dikaitkan pada kalung yang melilit lehernya. Harry mengeluarkan cincin itu dari kalungnya dan memberikan cincin itu pada Ivan. Cincin itu tipis dan kecil, seukuran jari perempuan. "Ada tulisan BF di salah satu sisinya," kata Harry sambil meringis. "Bella Stefa. Di sisi lainnya tertulis SMA Kanto 2002. SMA Kanto tercinta."
Ivan meremas kuat cincin itu dan menatapnya setengah tak percaya.
"Kau tunjukkan cincin itu pada ibunya, pasti dia akan langsung menangis," katanya. "Satu bukti lagi yang aku miliki, Pendeta. Bukti yang akan menggemparkan seluruh masyarakat Kanto. Yaitu Stefa sendiri. Semakin aku memikirkannya, semakin aku tidak ingin mengganggunya."
Ivan meletakkan cincin itu di atas meja dan langsung disambar oleh Harry. Setelah itu dia memundurkan kursi, meraih tongkatnya dan berdiri. "Aku tidak suka disebut pembohong, Pendeta. Pulanglah dan bersenang-senanglah dengan istrimu yang cantik itu."
"Pembohong, pemerkosa, pencuri, pembunuh, dan pengecut. Mengapa kau tidak berniat melakukan satu saja hal baik dalam hidupmu, Harry?! Sebelum akhirnya tubuhmu membusuk."
"Jangan menggangguku." Kemudian dia sudah menghilang dari balik pintu.
Teori yang agaknya cukup masuk akal diucapkan oleh pihak jaksa penuntut tentang kesalahan itu didasarkan pada keputusasaan bahwa mungkin suatu hari, entah kapan itu, mayat korban akan ditemukan oleh seseorang. Mayat itu dimungkinkan hanyut di sungai merah, namun meski begitu, mayat itu tidak tenggelam di dasar sungai untuk selamanya, kan? Sungai merah pada akhirnya akan mengapungkannya; tepatnya, di dalam tubuh manusia terjadi proses pembusukan dari kuman dan bakteri. Sementara dari proses pembusukan itu, menghasilkan banyak udara sehingga tubuh lama-lama menjadi bengkak dan akhirnya muncul ke permukaan air.
Pasti akan ada momen keberuntungan yang tidak terduga seperti yang terjadi di film-film. Mungkin mayat Bella Stefa akan ditemukan seorang nelayan bertepatan dengan keputusasaannya karena tidak mendapatkan ikan. Atau ditemukan seorang bocah yang kebetulan sedang mencari ikan-ikan kecil di pinggiran sungai. Apabila mayat itu berhasil ditemukan, maka akan diidentifikasi dan bisa diketahui penyebab kematiannya. Semua hal yang nampak buram akan dijernihkan. Sebagian keraguan dipastikan menghilang, tidak ada lagi pertanyaan-pertanyaan. Polisi dan jaksa penuntut bisa dengan tenang dan puas untuk menutup kasus tersebut, tanpa memerlukan drama untuk memanipulasi fakta-fakta.
Memberikan keputusan bersalah itu tidak terlalu rumit, meskipun mayat korban masih belum ditemukan. Jaksa penuntut dengan pengalamannya menghadapi perkara selama ini terus-menerus menyerang Furuya Satoru, dan dakwaan-dakwaan itu dengan gencar mendesak untuk segera diproses dalam persidangan. Pihak keduanya—jaksa penuntut dan pengacara—masih bergantung dengan harapan kemunculan mayat korban. Namun sembilan tahun telah berlalu dan sungai merah masih belum berkenan untuk bekerja sama. Berbeda dari tahun-tahun sebelumnya ketika harapan dan doa masih kerap dipanjatkan, sembilan tahun berjalan, mimpi-mimpi tentang kasus itu sudah berhenti lama sekali. Meski kasus itu masih membuat sebagian benak pengamat ragu, otoritas yang berwenang sama sekali tidak terguncang atas keputusan yang mereka berikan pada Furuya Satoru.
Berselang beberapa tahun, pihak-pihak penegak hukum yang berpandangan sempit, dan katanya usai melakukan banyak hal untuk kasus itu, mereka tetap sangat yakin bahwa mereka telah berhasil menangkap pelaku pembunuhan Bella Stefa.
Jaksa penuntut umum tersebut adalah seorang laki-laki kawakan dan tangguh yang bernama Midorima Tetsu. Dia dipilih dan terpilih kembali selama dua puluh tahun tanpa perlawanan yang serius. Dia pensiunan Angkatan Laut yang hobi bertarung dan memenangkan kejuaraan di ajang pertarungan Angkatan Laut di berbagai satuan. Sebagai jaksa penuntut umum, riwayat keberhasilannya sangat tinggi dalam mendapatkan keputusan bersalah dari pengadilan, tertera di situs internetnya dan selama berbulan-bulan pemilihan, dia dipromosikan dalam bentuk poster-poster mencolok dengan harapan bahwa masyarakat Kanto akan puas dengan kejahatan-kejahatan yang sebentar lagi tanggal, dengan harapan besar bahwa semua penjahat Kanto akan mendapatkan ganjaran. Dia tidak pernah menunjukkan rasa simpati terhadap seseorang yang didakwanya. Seperti rutinitas jaksa penuntut umum di sebagian besar kota kecil yang lebih sering menghadapi kasus pencurian mobil daripada kasus lain, namun kejenuhan itu akan tersegarkan bila timbul kasus-kasus sensasional seperti kasus pembunuhan dan/atau kasus pemerkosaan Di balik kejenuhan itu, Tetsu hanya pernah menangani dua kasus pembunuhan besar dalam sejarah kariernya. Kasus Bella Stefa adalah yang pertama dan yang paling terkenal. Tiga tahun berselang, pada tahun 2005, Tetsu memenangkan sebuah kasus dengan penjatuhan keputusan hukuman mati, di mana kasus tersebut lebih gampang. Kasus yang melibatkan adanya transaksi narkoba yang gagal dan menimbulkan mayat-mayat berjatuhan di jalan-jalan desa.