webnovel

Sentuhan lembut

Kevin sedang menonton cctv real time dari cctv yang ditempatkan di luar rumahnya. Dia memperhatikan Aurel berjalan ke gerbang rumah tetapi berbalik tanpa membunyikan bel. Kevin mengernyitkan alisnya ketika dia melihat wanita itu mondar-mandir di depan gerbang. Sepertinya dia kesulitan dalam mengambil keputusan.

Kevin menangkupkan dagunya dan bertanya-tanya apa yang sedang dipikirkan Aurel. Dia memperbesar sosok Aurel di layar bermaksud untuk mempelajari ekspresi Aurel dengan hati-hati. Petunjuk apa pun yang tampaknya sedang dipikirkan wanita itu akan membantunya memutuskan tindakan apa yang harus dia ambil.

Matanya menyipit ketika melihat Aurel sedang menggosok tangannya dengan lembut. Ketika dia memperbesar pemandangan itu, dia memperhatikan bahwa tangan Aurel luar biasa merah.

Kevin tersentak berdiri begitu tiba-tiba sehingga kursinya bahkan jatuh ke belakang. Dengan gerakan cepat tangannya, Kevin menekan salah satu tombol untuk membuka gerbang.

Tidak menduga gerbang akan terbuka sendiri, Aurel tentu terkejut. Dia mengambil langkah mundur seolah-olah berniat untuk pergi dari sana tetapi melihat Kevin yang sudah berjalan menuruni tangga menuju gerbang dengan pakaian santainya, Aurel mematung.

Beberapa langkah kemudian, Kevin mencapai Aurel. Sebelum dia bisa menyembunyikan tangannya, Kevin meraih dan menariknya ke arahnya. Dia mengerutkan kening ketika dia melihat luka itu. Matanya terbakar oleh amarah.

Dia bertanya-tanya siapa yang telah berani melukai istrinya.

"Siapa yang melakukan ini?" Dia bertanya dengan suara rendah dan marah.

Aurel buru-buru menarik tangannya dan menyembunyikannya di belakangnya. Dia menutup bibirnya dan menggelengkan kepalanya.

Kevin mengerutkan kening ketika dia memikirkan kenapa Aurel tidak mengatakan padanya siapa yang menyakitinya. Kevin membungkuk dan memeluk Aurel sebagai ganti dari diamnya. Dengan tangan lembut yang melingkari bahunya, Kevin membawa Aurel ke dalam rumah.

Setelah mendudukkannya di sofa, Kevin pergi untuk mengambil kotak obat. Dia berjongkok di depannya sebelum dengan hati-hati membersihkan lukanya dan membalutnya. Aurel tidak pernah tahu bahwa Kevin punya sisi lembut dan peduli seperti itu. Kevin mengerutkan kening pedih dari awal hingga akhir dia mengobati lukanya. Seolah-olah dialah yang terluka.

"Apakah kamu pulang ke rumah?" Kevin bertanya dengan dingin, ketika dia selesai membalut lukanya dengan kain kasa.

Aurel menunduk. Dia tidak bisa lagi menahan emosinya. Air mata mengalir deras di pipinya. Kombinasi kesedihan, ketidakberdayaan, dan amarah membanjiri dirinya. Dia sedih dengan bagaimana keluarganya memperlakukannya. Dia ingin membalas tetapi sadar dirinya tidak mampu. Dia tidak memiliki sumber kekuatan dan tidak ada yang akan mendukung dan melindunginya.

Kevin memeriksa lengan Aurel untuk mencari luka lain namun Aurel meraih tangannya dan menatapnya dengan harapan besar. "Bisakah kontrak tanah vila di kota Due kemarin itu ditarik?" dia bertanya.

Tertegun, Kevin terdiam. Setelah satu menit, dia mengangguk.

"Itu bagus!" Akhirnya ada sesuatu yang bisa dilakukan Aurel untuk membalaskan dendam. Ibu tirinya, saudara tirinya, dan ayahnya telah kejam padanya selama ini. Akhirnya, dia bisa menemukan cara untuk melukai mereka.

Kevin bangkit dan pergi ke kamarnya. Dia meraih ponselnya di atas meja. Kemudian dia menghubungi sekretarisnya.

"Periksa jadwal pengalihan tanah di pinggiran kota Due."

"Dokumen yang kita terima sore ini menunjukkan bahwa pengalihan kepemilikan tanah itu akan dijadwalkan sebentar lagi."

"Hentikan!"

"Apa maksudmu?"

"Katakan pada Direktur nya bahwa aku membatalkan pengalihan."

"Baik, aku akan segera melakukannya."

Setelah memutuskan panggilan, Kevin kembali ke ruang tamu. Dia berhenti di ambang pintu ketika dia menyadari bahwa Aurel sudah membuka kancing bajunya dan sedang mengoleskan obat ke bahunya.

Kenapa dia terluka parah? Siapa yang menyakitinya? Pikiran-pikiran ini membuat Kevin gila. Tanpa pikir panjang, Kevin maju dan mulai membuka kancing bajunya. Dia perlu melihat luka-lukanya sepenuhnya.

"Apa yang sedang kamu lakukan?" Aurel mendorong tangan Kevin dan menatapnya dengan heran. "Aku terluka dan seluruh tubuhku sakit. Jaga tanganmu sendiri!"

"Kenapa? Kamu pikir apa yang aku lakukan?" Reaksinya membuat Kevin tercengang. Dia hanya ingin melihat luka-lukanya. Dia tidak mengerti kenapa Aurel tidak membiarkannya.

Karena tidak sabar dan geram, Kevin meraih dan merobek bajunya.

Aurel buru-buru menutupi tubuhnya dengan sisa-sisa pakaiannya yang robek sebelum berbalik kembali menatap Kevin dan meringkukkan tubuhnya.

Mata Kevin membelalak ketika dia melihat memar di lengan dan pundaknya. Bentuk lekukan di sekujur tubuhnya membuatnya jelas bahwa itu adalah bekas dipukul dengan semacam batang. Kemarahan dan rasa sakit memenuhi Kevin.

"Jangan sentuh aku!" Ketika Kevin mengulurkan tangan untuk menyentuh Aurel, Aurel dengan marah mendorongnya menjauh lagi. Tindakannya mengelak malah meregangkan lukanya sehingga menyebabkan rasa sakit yang luar biasa.

Dengan rasa sakit dan tidak yakin akan niat Kevin, Aurel berdiri di sudut dan menatap lelaki itu. Dia menderita sejumlah luka dan memar, tetapi dia tidak akan membiarkan Kevin mendekatinya.

Namun, Kevin tidak marah padanya. Dia terkoyak oleh berbagai emosi yang mengalir dalam dirinya. Dia marah pada siapa pun yang telah menyakiti Aurel. Tapi sebagian besar, dia mengkhawatirkan Aurel.

Setiap kali dia melihat memar baru di tubuh Aurel, dia merasa seluruh hatinya akan hancur.

Kevin akhirnya mengerti bahwa dia tidak akan mendapatkan kepercayaan Aurel jika dia memaksanya. Dia berpikir tentang bagaimana dia harus menangani situasi ini. Setelah sedikit ragu, Kevin pergi ke kamar Aurel untuk mengambil piyama untuknya.

Aurel terlalu kesakitan untuk menyadari bahwa Kevin sudah meninggalkan ruang tamu.

Dia merasa lemah dan pusing dan memutuskan untuk tetap duduk di sofa. Ketika Aurel berbalik, dia terkejut melihat Kevin yang sudah kembali berdiri di depannya. Kevin merentangkan piyama ke arahnya seperti persembahan perdamaian. Aurel berdiri linglung saat Kevin membantunya mengenakan piyama.

Ketika dia selesai, Aurel meraih piyama seolah-olah itu adalah garis hidupnya.

Kevin berjongkok di depannya, dan berkata, "Sayang, biarkan aku melihatnya, ya?"

Suaranya begitu lembut dan menghibur, juga menenangkan.

Aurel merasakan sesuatu dalam hatinya berubah dan seluruh tubuhnya tidak bisa menahan diri untuk tidak menggigil.

Melihat ini, Kevin tahu bahwa Aurel melunak padanya meskipun dia masih merasa ragu-ragu. Pikiran itu meyakinkan Kevin dan dia memutuskan untuk melembutkan ekspresinya. Dia tersenyum hangat pada Aurel.

"Jangan takut, kamu masih memiliki aku dalam hidupmu!"

Ditenangkan oleh bujukan lembut Kevin, Aurel akhirnya menurunkan penjagaan was-wasnya. Dia mengangkat kepalanya dengan perlahan.

Kevin menarik napas dalam-dalam ketika dia melihat air mata mengalir di wajah cantiknya. Dengan itu, Kevin menahan kesedihan dan amarahnya, dan melebarkan senyumnya.

Ini adalah pertama kalinya Kevin tersenyum padanya sejak pernikahan mereka. Aurel terpesona.

"Biarkan aku melihat seberapa banyak luka yang kamu miliki dan seberapa parah itu. Aku berjanji tidak akan melakukan hal lain. Aku hanya ingin memeriksa lukamu, oke?"

Aurel bingung. Kevin biasanya memerintahkannya sesuka hati. Dia tidak pernah berbicara dengan penuh negosiasi seperti ini sebelumnya.

Aurel terdiam ketika dia bertanya-tanya apakah dia bisa mempercayai Kevin. Pada akhirnya, Aurel mengangguk. Dia melipat tangannya di depan dadanya sebagai penghalang antara Kevin dan dirinya sendiri. Setelah menyetujui permintaannya, Aurel membuka lengannya.

Kevin berjalan mendekatinya perlahan dan mulai membuka kancing piyamanya.

Kevin sangat berhati-hati. Dia tahu bahwa dia gugup dan bahwa tindakan aneh atau sedikit sentuhan saja yang tidak disengaja pasti akan membuat dirinya tidak bisa menahan diri lagi.

Ketika luka di tubuh Aurel terlihat, Kevin menggeram. Yang ada di tubuhnya bahkan lebih parah daripada yang ada di lengannya.

Kevin sudah menduga itu dan sekarang, dengan luka-luka di depan mata, kecurigaannya telah dikonfirmasi. Dan dia tidak bisa menahan amarah yang melanda dalam dirinya. Dia mengutuk, "Sialan!"

Aurel memandang Kevin tanpa emosi. Dia tidak bereaksi dari ledakan Kevin. Dia menyaksikan Kevin yang mulai mengaplikasikan obat pada lukanya.

'Dia sangat berhati-hati, dan jadi sangat … lembut … dan sunyi ... Sangat sunyi di ruang tamu besar ini. Mengapa begitu sunyi?' Pikiran Aurel acak dan berantakan.

Ketika Kevin selesai mengobati luka-luka nya, dia membantu Aurel mengenakan piyama lagi.

Tiba-tiba, perasaan hangat mengalir ke seluruh tubuhnya.

Sejenak Aurel merasa percaya, semua penderitaan dan penyiksaan yang dilakukan keluarganya padanya akan diatasi oleh Kevin.

"Biarkan aku membawamu kembali ke kamar."

Kevin masih bersikap lembut padanya.

Dengan hati-hati, Aurel menatap mata Kevin. Dia bertanya-tanya apakah Kevin tulus atau apakah semua ini adalah permainannya saja. Karena ekspresinya tampak tulus, Aurel mengangguk pelan.

Dengan izin Aurel, Kevin mengangkatnya ke dalam pelukannya dan membawanya ke kamar.

Pelukan Kevin terasa hangat.

Aurel menyandarkan kepalanya di dada Kevin.

Kevin memandang Aurel, tidak tahu apa yang sedang dipikirkannya.

Dia menempatkan Aurel di tempat tidur dengan lembut dan menutupinya dengan selimut. Setelah itu, Kevin tersenyum sambil berkata, "Tidurlah!"

Aurel mengangguk dan menutup matanya.

Mungkin itu karena dia lelah atau mungkin itu efek obat yang diterapkan Kevin tadi, Aurel merasa matanya semakin berat. Juga kata-kata Kevin 'tidurlah' dengan suara serak khasnya yang ikut menidurkannya.

Tidak lama sebelum Aurel tertidur.

Kevin masih belum meninggalkan ruangan.

Dia berdiri di dekat pintu, diam-diam memperhatikan Aurel. Begitu napas Aurel menunjukkan bahwa dia sepenuhnya telah tertidur, ekspresi dingin muncul di wajah Kevin.