webnovel

Mulai Goyah

Hilda sedang meletakkan beberapa piring makanan di atas meja saat Bara sampai di rumah.

"Loh, tumben kamu udah pulang. Biasanya larut malam?" tanya Hilda sambil melirik jam yang menunjukkan pukul tujuh malam lewat sedikit.

"Hari ini tutup lebih awal karena pemiliknya mengalami kecelakaan tadi. Suaminya memintanya buat segera menutup kafe," jawab Bara sambil duduk dan menyomot sebuah tempe goreng dari piring.

"Cepet mandi dulu. Kita mau ada tamu,"

"Tamu?" gumam Bara. Dia belum mengetahui jika yang akan datang bertamu ke rumahnya adalah Mila dan suaminya. Ia pun beranjak menuju kamarnya untuk mandi.

***

Sementara itu di rumah Vian, Mila sedang menyisir rambutnya di depan cermin saat suaminya keluar dari kamar mandi sudah lengkap dengan pakaiannya.

"Mulai besok kamu pulang sore aja. Aku akan mencarikan beberapa karyawan lagi untuk kafemu. Dan aku juga sudah nyuruh Sinta buat mengurus semuanya begitu kamu udah pulang," ucap Vian.

"Hah? Pulang sore? Itu berarti aku gak bisa melihat Bara nyanyi waktu malam? Gimana ini?" batin Mila. Mila menerawang kosong.

"Ayo kita pergi," ajak Vian lalu pergi lebih dulu, lalu meninggalkan Mila yang masih terdiam. Dia lalu mengekor di belakang Vian menuju rumah Hilda. Karena letaknya hanya di seberang rumah jadi mereka hanya jalan kaki menuju sana.

TING TONG

"Selamat datang di rumah saya. Silakan masuk," ucap Hilda mempersilakan Vian dan Mila masuk ke dalam rumahnya.

Bara baru saja keluar dari kamarnya dan berpapasan dengan Vian dan juga Mila. Mereka langsung menuju ruang makan.

"Kalian cuma berdua?" tanya Vian saat hendak duduk.

"Ayah masih kerja, jam sembilan malam nanti baru pulang," jawab Hilda.

"Oh begitu, sayang sekali," gumam Vian, "Ngomong-ngomong adikmu kuliah atau kerja di mana?" tanya Vian kemudian.

"Iya, oh Bara dia seorang penyanyi kafe," kata Hilda dengan bangga mengenalkan Bara pada Vian dan juga Mila.

"Apa sih kak!" Bara menyenggol lengan Hilda.

"Oh iya? Di kafe mana? Istri saya juga sekarang lagi mengelola sebuah kafe," sahut Vian.

"Apa namanya Bara?" tanya Hilda pada adiknya itu.

"Mil's cafe," jawab Bara lirih.

"Mil's ka.." Hilda menggantung kalimatnya. Seperti familiar dengan nama kafe itu, "Bukannya itu kafe milik bu Mila?" tanya Hilda kemudian.

"Iya benar itu kafe milik istri saya." Mata Vian dan Hilda kini tertuju pada Mila yang semenjak tadi hanya diam.

"Iya, dia memang bekerja di kafeku kok," kekeh Mila.

"Astaga, bener bener suatu kebetulan," ucap Hilda merasa bahagia setelah mendengar ternyata adiknya bekerja di kafe milik istri bosnya, "Heh, kenapa kamu gak pernah bilang? Kakak kan jadi malu" bisik Hilda pada Bara.

"Kakak gak pernah tanya," jawab Bara enteng.

"Memang dasar bocah ini!" Hilda mencubit pinggang Bara membuat lelaki itu meringis kesakitan.

"Sakit kak!" keluh Bara.

Mereka mulai kembali menikmati makan malam dengan santai. Tak banyak percakapan lagi yang keluar dari bibir masing-masing. Hanya terdengar suara sendok dan garpu yang beradu.

"Terima kasih buat makanannya Hilda," ucap Vian saat sudah selesai dengan makanannya.

"Iya saya yang berterima kasih karena pak Vian udah mau datang ke rumah saya. Oh iya, ada yang mau saya perlihatkan ke pak Vian bisa kita ke ruang kerja saya sebentar?"

"Oh baiklah." Vian dan Hilda akhirnya pergi ke ruang kerja wanita itu yang tidak jauh dari tempat mereka makan. Mereka tampak membicarakan hal yang serius sambil memperhatikan komputer milik Hilda.

Bara melirik ke arah ruangan itu lalu berganti ke arah Mila yang masih memainkan makanan di piringnya.

"Gimana tangan kamu? Apa masih sakit?" tanya Bara sedikit mengejutkan Mila. Dia mengangkat wajahnya dan menatap Bara yang duduk di depannya.

"Udah gak apa-apa," jawab Mila sambil tersenyum tipis.

Lalu hening kembali di antara mereka.

"Hmm.. apa kamu suka spongebob?"

"Hah?" Mila heran dengan pertanyaan acak dari Bara barusan.

"Ah gak lupain aja. Aku cuma asal bicara."

"Kalau aku bilang soal ini, apa bisa kamu anggap aku cuma asal bicara?"

Bara memandang heran ke arah Mila. Ia tidak tahu apa maksud dia mengatakan hal itu padanya.

"Aku suka waktu lihat kamu nyanyi. Aku suka waktu kamu khawatir sama aku waktu tanganku terluka. Aku suka bunga pemberian kamu walaupun aku tahu kamu mengambilnya dari taman rumah sakit."

"Jadi kamu tahu," gumam Bara. Ia tersenyum mengetahui perbuatannya yang ketahuan.

"Tiap kali aku mengingatnya, hal itu bikin aku tersenyum. Aku pasti udah gak waras," ucap Mila lalu kembali menatap makanan yang ada di piringnya.

"Sepanjang hari. Aku gak bisa berhenti mikirin kamu. Setiap harinya aku ngerasa bisa gila, kalau gak ngelihat kamu," kata Bara tiba tiba.

Mila melirik ruangan di mana Vian dan Hilda berada. Memastikan jika mereka tidak mendengar ungkapan gila dari mereka berdua.

"Maaf seharusnya aku gak mengatakan hal itu." Bara menyesal telah membuat Mila menjadi tidak nyaman karenanya.

"Gelangmu bagus, dari mana kamu dapet itu?" tanya Mila mencoba mengalihkan pembicaraan.

"Kamu suka ini?" Bara melepas gelang anchor berwarna hitam miliknya dan memakaikannya pada tangan Mila.

"Ah, gak. Aku cuma..." Belum sempat Mila menghindar gelang tersebut sudah melingkar di pergelangan tangannya.

Tiba tiba terlihat Hilda dan Vian sudah keluar dari ruangan kerja Hilda dan menuju ke meja makan. Mila segera menyembunyikan tangannya di bawah meja.

"Ayo kita pulang," ajak Vian.

"Iya," jawab Mila.

"Kami pamit pulang dulu ya," ucap Vian.

Hilda mengangguk dan mengantarkan mereka berdua sampai depan pintu.

***

Malam harinya..

Mila memandangi Vian yang sudah terlelap di sebelahnya. Dia membalikkan badannya dan memunggungi suaminya itu. Tangannya ia letakkan di depan cahaya temaram lampu yang berada di nakasnya. Memperhatikan gelang pemberian Bara yang nampak biasa tapi terasa istimewa.

"Tolong matiin lampunya kalau kamu mau tidur," ucap Vian membuyarkan lamunan Mila.

"Ah iya," jawab Mila lalu mematikan lampunya. Ia mencoba untuk tidur agar bisa mencerna semua kejadian yang menimpanya hari ini.

Ia belum tahu pasti perasaannya pada Bara akan bersikap sementara atau lebih lama. Awalnya dia mengira semua ini karena ia mendapatkan semua hal yang tidak bisa ia dapatkan dari Vian. Tapi bagaimana jika perasaan ini sudah semakin dalam? Bagaimana jika nanti Vian mengetahui hal ini?

Ah sudahlah Mila enggan memikirkannya untuk sekarang. Mau tidak mau dia harus siap menerima konsekuensinya di kemudian hari, meskipun itu bukan hal yang diinginkannya.