webnovel

Bukan Pacarku Tapi Lelakiku

Setelah lulus sekolah menengah atas Aku diterima masuk di perguruan tinggi yang cukup dikenal. Jauh dari Orang tua dan empat saudara laki-lakiku yang protektif. Tantangan baru, teman baru dan lingkungan yang baru. Namun sebagai satu-satunya anak perempuan berstatus bungsu, aku sadar satu-satunya harapan untuk mengangkat derajat keluarga bertumpu padaku karena tak satupun dari keempat kakakku yang bersekolah sampai ke tahap perguruan tinggi. Ternyata semua itu tidaklah mudah. Sebagai gadis yang tidak terlalu memikirkan hal-hal normal seperti berpacaran Aku harus menahan rasa kasihan dan jengkel terhadap semua laki-laki yang mencoba mendekatiku. Sudah banyak dan terlalu banyak. Memasuki semester awal perkuliahan hingga memasuki semester akhir semua berjalan sesuai rencanaku, mendapatkan banyak teman, lingkungan yang positif dan sempat menemukan laki-laki baik yang orang-orang sebut pacar walaupun tidak bertahan lama karena tekadku yang kuat untuk menyelesaikankan kuliah. Akan tetapi hal yang dinanti sekaligus hal yang dihindari terjadi. Menjelang persidangan tugas akhir kuliahku, aku bertemu dengan seorang laki-laki yang di kemudian hari akan membuatku begitu jatuh cinta sekaligus membuatku menderita. Adalah Enda Adiwilaga laki-laki yang begitu hangat, humoris, konyol, berkharisma dan begitu misterius. Tokoh Misha Zoya : Wanita cantik, cerdas namun menolak pacaran serius selama masih dalam masa sekolah Enda Adiwilaga : Musuh alami Misha Hanna : Teman baik Misha dari awal masuk kuliah. Ezra : Teman baik Enda dan satria Satria : Teman baik Enda fan Ezra

belummatilangantu · Sports, voyage et activités
Pas assez d’évaluations
25 Chs

Penghujung Kemarau

"T-tolong bang, kekasihku terluka". Gemetaran akhirnya sang laki-laki bicara dengan segan. Jika saja aku tak buru-buru akan ku hajar dia! Sudahlah nanti saja pikirku menyimpan amarah tentu aku akan menghajarnya saat tiba di camp nanti.

"Baiklah kamu laki-laki yang menyedihkan, sepertinya kamu tak mengalami cedera yang serius. Ayo kita selamatkan kekasihmu". Aku dengan sigap dan berhati-hati membuat fullbody harness untuk wanita yang terluka, laki-laki itu menatap waspada takut aku mengambil kesempatan untuk berbuat yang tidak bersiang. Ya ampun dia meminta tolong tapi ragu denganku. Aku hanya mencebik.

"Y-ya..". Sedikit ragu dia memperhatikan tubuhnya sendiri yang penuh luka lecet.

"Baiklah angkat dia! kita akan membawanya ke tempat yang lebih layak". Aku menyeru kemudian mengikat webing yang terulur santai ke harness darurat yang ku buat tadi.

"Baiklah aku sendiri akan naik duluan melalui tali ini kau disini saja dan awasi dia!". Memanjat aku bertumpu pada webing yang sama tak memperdulikan kebingungan pria itu. Tak butuh waktu lama aku sampai di pangkal tali. Ahmad yang ku kira akan duduk bosan karena menunggu sedari tadi rupanya sedang sedang asyik mengunyah makanan yang di bawakan oleh dua pria yang kami kami temui tadi entah bagaimana caranya ku akui mereka cukup pintar dan tahu diri untuk pergi menyusul menemui kami disini.

"Bagaimana?". Dia bertanya roti masih ada di mulutnya. Aku hanya mengangkat alis dan menoleh ke bawah.

"Kita akan menarik mereka berdua". Aku menyeringai. Tidak sesulit seperti yang dibayangkan, Hanya aku dan Ahmad yang akan menarik dua korban dibawah. Bantuan datang tiba-tiba itulah yang tidak kuharapkan sebelumnya.

"Hei pegang tali itu! Dan pastikan tubuh kekasihmu tidak terbentur selagi kami menarik kalian". Sedikit berteriak aku memberi instruksi pada pria linglung itu. "Kamu bisa melilitkan tali itu ke tanganmu agar tak jatuh, semua bergantung padamu!". Yah tentu saja membawa dua mayat bukanlah tujuan dari misi penyelamatan ini.

***

Perjalanan menuju ke camp tidak akan mudah itu terbukti dengan lambatnya pria di depan berjalan sesekali berhenti sesekali membenarkan posisi orang yang digendongnya. Melihat begitu keras dia berusaha niatku yang ingin pergi duluan dan menunggu pria itu tiba untuk memukulinya hilang begitu saja. Setidaknya dia bertanggungjawab atas apa yang terjadi pada kekasihnya.

"Walaupun aku tak mau menggendong seseorang tapi kurasa kita bisa melakukannya lebih baik daripada pria itu". Ahmad yang makin lesu bukan karena perjalanan tapi karena terlalu banyak menghisap ganja."Kenapa dia tak mau orang lain membantunya menggendong kekasihnya itu". Ahnad ada benarnya wanita itu butuh pertolongan yang cepat tapi sang pria justru membuat pertaruhan untuk menggendongnya sendiri padahal dia tahu dia terluka juga. Ah sudahlah biarkan saja orang itu memang berkepala batu.

"Hei kamu mengabaikanku!". Ahmad tetap dibelakangku.

"Sebaiknya kamu berhati-hati kawan, aku tak akan menggendongmu jika kamu terkapar karena ganja". Aku menoleh memberinya senyum licik.

"Wew.. Terimakasih aku juga tidak mau menjadi bahan olokanmu di kemudian hari". Ahmad mencebik. Sudah lewat tengah malam kami masih setengah perjalanan. Suatu hal tak terduga terjadi membuat aku dan Ahmad terganga heran. Yang benar saja!

"Hujan..?". Ahmad bergumam menyaksikan heran karena ini musim kemarau tapi ada hujan, parahnya lagi itu sampai membuat air yang jatuh dikepala terasa begitu sakit. Aku juga tak mau mempercayai yang kulihat tapi berusaha berpikir rasional. Baru ku ingat ini penghujung kemarau. Menoleh ke empat orang didepanku aku menyeringai, semoga lulus ujianNya.

***

POV Misha

Kami semua berada dalam keresahan, Angin bergemuru membawa serta hujan. Hujan? Kami bertiga kembali ke dalam tenda, Satria adalah yang terakhir masuk entah apa yang dilakukannya dia tampak sedikit basah. Bukannya aku tak perduli tapi ada orang lain di luar sana yang membuatku begitu khawatir. Kenapa sampai sekarang mereka belum kembali? Apa sesuatu terjadi? Terlalu larut hingga aku baru menyadari Hanna sudah menggigil dan mendekatkan tubuhnya ke tubuhku kami bertiga duduk terdiam. Satria jelas merasakan hal yang sama dengaku.

Resleting tenda terbuka tanpa aba-aba, mungkin karena derasnya hujan membuat indraku terganggu. Aku lantas merasa senang itu pasti Enda! Seketika alisku turun kesenangan tadi hanya sementara dua wajah yang tampak dan tubuh menggigil, itu Mia dan Ezra tumben.

Segera masuk kami berlima hanya duduk melingkar Satria membelakangi pintu masuk yang tertutup rapat kami lebih banyak diam. Harap-harap Cemas, jelas semua merasakan sama.

"Sial!" Satria menggerutu. Menunggu bukanlah hal yang baik memang terutama sekarang bahkan aku ingin sekali pergi menyusul. "Ezra kamu disini! Aku akan menyusul mereka". Satria segera beranjak.

"Sama halnya denganmu Sat aku ingin pergi, tapi percayalah lebih baik kita semua disini menjaga mereka". Ezra sangat rasional sangat berbeda dengan sebelumnya saat kami di puncak Dempo.

"Itu bukan jawaban kawan!". Melanjutkankan membuka resleting tenda Satria pergi. Kami yang berkelamin wanita hanya menyimak takut memperkeruh situasi.

"Cih.. Dasar!". Ezra mencebik segera menyusul Satria. Aku yakin samar-samar mendengar di antara tetesan hujan suara keduanya. Entah apa yang terjadi sepertinya mereka berdebat. Suasana semakin kacau. Mia yang sempat linglung atas kepergian Ezra mendekat dan memelukku. Kami bertiga berusaha saling mengahangatkan. Setidaknya hanya ini yang bisa kami lakukan, jika tak bisa membantu jangan merepotkan.

***

POV Satria

Aku mengenakan sepatuku persetan dengannya aku sudah muak, yang ada dipikirannya Mia dan Mia saja! Sejak awal aku yakin wanita itu akan mengacaukan semua. Aku bisa pergi sendiri! Pasti ada yang tak beres yang menyebabkan Enda begitu lama. Selesai dengan sepatuku aku segera berlari dan itu tak lama seseorang menarik jas hujanku.

"Tunggu Sat!". Dia lantas bicara.

"Tunggu apa?". Naik pitamku. Ezra hanya menatapku tajam. "Tunggu hal buruk terjadi?". Belum kering lidahku, tamparan keras melayang ke wajahku. Darahku mendidih, ingin ku pecahkan kepala orang ini! Tapi itu akan membuang tenaga yang lebih baik aku gunakan untuk membantu Enda

"Ini caramu membalas kebaikan Enda? Hanya diam menunggu? Apa kamu tahu yang terjadi padanya saat ini?" Aku meluapkan amarahku sejadi-jadinya, bicara dengannya hanya membuang waktu. Aku lantas berpaling meninggalkannya.

"Jika kamu benar paham dengan Enda, bukankah tinggal disini membuat tenda darurat dan menyiapkan sesuatu yang hangat adalah hal yang terbaik?". Ezra berkata sekenanya. Aku ingin berargumen tapi dia benar kali ini.

"Maaf untuk pukulan itu kamu boleh membalasnya sekarang jika kamu mau, panggil aku budak cinta tapi mari kita lakukan tugas kita disini setelahnya". Bahuku mengendur dia benar. Berbalik arah aku baru saja menyadari temanku tak memakai raincoat layaknya diriku, bahkan dia menyusulku tanpa menggunakan alas kaki.

"Kamu benar.. Ayo kita lakukan itu sebelum kamu mati kedinginan karena sedikit bergerak". Aku tersenyum lepas fisik Ezra memang jauh lebih kuat daripada siapapun diantara kami bertiga tapi tetap saja aku mencemaskannya, kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi dimasa depan bukan?

"Ayolah Mia akan menyalahkanku jika sesuatu terjadi padamu". Ezra hanya mengulum senyum dan mengikuti. Kami berdua segera membuat tenda darurat atau bivak begitu Enda menyebutnya. Dialah yang mengajari kami berdua membuat ini, tujuannya tak lain berjaga-jaga bila hal buruk terjadi kami berdua bisa mengatasinya. Aku tersenyum geli mengingat saat aku berdebat dengan Enda, untuk apa membuat bivak jika kita punya tenda? Setidaknya itulah pertanyaan lugu yang muncul dibenakku sementara Ezra berbeda dia sangat antusias dengan dengan hal-hal baru seperti itu. Dia sangat bersemangat tentang ilmu baru yang diajarkan oleh Enda, sangat berbanding terbalik saat dia di kelas yang sama sekali tak perduli dengan dosen menjelaskan materi kuliah walaupun sampai menteskan air liur. Sungguh persahabatan yang aneh.

Kami sesekali tertawa mengingat betapa konyolnya kami bertiga di kampus. Kadang aku menginterupsi jika cerita Ezra terkesan sepihak hanya dari sudut pandangnya saja.

"Kamu yakin ini akan berguna?". Kami berdua menatap bivak nyaman yang selesai kami buat. Hujan masih deras di tambah angin yang merangkak dan menabrak tubuh kami, itu sangat menusuk.

"Kamu masih saja ragu padahal kita sudah membuatnya". Ezra tanpa tanda-tanda kedinginan menjawabku santai sementara tak sepertinya aku menggigil hingga gigiku bertabrakan antara bagian atas dan bagian bawahnya. Jika bukan karena hujan suara tabrakan gigiku pasti terdengar jelas.

"Well kalian biasa diluar, harus ku akui". Suara itu tak asing, menginterupsi percakapanku dengan Ezra. Menoleh memastikan benar Enda dan bukan hantunya Enda.

"Singkirkan tatapan kabur kalian berdua Pak Dokter, kita punya empat pasien disini". Enda menyeringai. Menyerap ucapan temanku aku menoleh tak jauh di belakangnya Ahmad dan dan empat orang di belakangnya. Salah dua dari mereka adalah Wilson dan Deri sementara laki-laki satunya yang tak ku kenal sedang menggendong seseorang tampaknya pingsan.