"Disaat penjahat itu mulai meraba-raba tubuh Sarah, saat itulah Ibu Sarah datang menyelamatkan Sarah. Alasan kenapa Ibunya bersedia menjadi pelacur adalah karena tidak mau melihat Sarah dirusak oleh para penjahat itu. Ibunya berhasil menggantikan posisi Sarah, dan Sarah pun terlepas dari ancaman para penjahat itu."
Endra terkesiap mendengarnya. Apa yang baru saja dia dengar ini lagi-lagi tidak pernah sekalipun terpikirkan dalam kepala Endra. Bagaimana mungkin ada orang yang sebejat itu memperlakukan orang lain? Sehingga posisi Sarah kecil menjadi sangat tidak berdaya. Dia selamat dari rencana mengerikan soal organ tubuhnya yang akan diambil, tapi Sarah juga harus membayarnya dengan pengorbanan sang ibu.
"Sarah memang memiliki masa lalu sekelam itu yang membuatnya begitu trauma. Jadi, ketakutan yang Sarah tunjukan sekarang pastilah disebabkan oleh hal itu juga. Semuanya berjejalan memenuhi pikiran Sarah dan membuat Sarah begitu hancur."
Tanpa sadar, Endra sudah berkaca-kaca menyadari betapa Sarah sudah mengalami beban hidup yang begitu berat dan menyakitkan seperti itu.
"Tapi ... lebih dari ketakutan yang pernah dialaminya itu, Sarah juga tidak pernah bisa menghapus rasa bersalahnya. Karena sebenarnya ... jauh sebelum ayah tirinya datang, kehidupan Sarah bersama ibunya baik-baik saja. Ayah kandung Sarah meninggal saat Sarah masih bayi. Kemudian, Sarah yang tumbuh tanpa adanya kasih sayang seorang ayah mulai bertanya-tanya tentang keberadaan ayahnya, dan betapa dia merasa iri melihat teman-teman sebayanya memiliki keluarga yang lengkap. Sarah kecil terus saja memaksa ibunya untuk memberikan seorang ayah untuknya. Oleh karena itu, ibunya memutuskan untuk menikah lagi. Semata-mata untuk memenuhi keinginan Sarah. Dan hal itulah yang selalu Sarah sesali. Sarah selalu menyalahkan dirinya sendiri. Jika saja Sarah tidak pernah meminta ibunya memberikan ayah baru, pasti hidupnya akan baik-baik saja, dan ibunya pasti masih hidup sampai sekarang."
Entah sudah berapa bulir airmata yang jatuh membasahi pipi Endra. Semua yang dikatakan Bu Diyah ini benar-benar menambah pedih perasaannya. Jadi, selama ini ... Sarah sudah sangat menderita? Ya Tuhan, kenapa Engkau memberikan cobaan semenyakitkan itu pada Sarah. Endra sendiri merasa tidak sanggup meski hanya membayangkannya saja.
"Jadi karena itulah, setelah sekian lama Sarah sudah mulai bisa menjalani hidupnya dengan baik, tiba-tiba ayah tirinya datang lagi, menurut kamu ... bagaimana Sarah bisa menghadapi semua itu. Masa lalu kelamnya pasti akan berjejalan memenuhi pikirannya. Jiwa Sarah bisa hancur. Jadi Ibu mohon sama kamu, tolong jaga Sarah baik-baik. Jangan biarkan Sarah merasakan penderitaannya itu seorang diri. Karena Ibu takut, Sarah tidak akan bisa menanggung semuanya," pinta Bu Diyah dengan suara serak. Sepertinya Bu Diyah juga menangis di seberang telepon sana.
Endra memang diam saja. Tapi dalam hatinya dia jelas bertekad tidak akan pernah membiarkan Sarah menderita sendirian. Endra akan melakukan apapun untuk membuat Sarah tetap bertahan meskipun masa lalu menyakitkan itu akan terus menghantui. Endra bahkan akan memaksa Sarah untuk melaluinya. Ya, Endra tidak akan pernah membiarkan Sarah tenggelam dalam penderitaan.
Karena selama ini ... Sarah sudah menderita sendirian. Sekarang waktunya bagi Endra untuk ikut menanggung penderitaan yang selama ini mencabik-cabik perasaan Sarah tanpa sisa.
***
Pagi ini, Endra bangun lebih awal. Meski sebenarnya, sepanjang malam tadi, Endra hampir selalu terjaga dan tidak bisa tertidur dengan nyenyak.
Mimpi buruk yang Sarah alami semakin menjadi-jadi. Bahkan kali ini genggaman tangan Endra sudah tidak mempan lagi. Sarah terus saja merintih di dalam tidurnya, bahkan tubuhnya memberontak dan keringatnya pun mengalir deras. Endra merasa begitu hancur melihat Sarah menderita seperti itu.
Semenjak Bu Diyah menceritakan semuanya pada Endra, seringkali Endra sampai harus meneteskan air mata saat melihat tatapan mata Sarah yang begitu kosong. Keberadaan Endra di sisi Sarah nyatanya tidak membantu apapun. Sarah masih tidak bisa melepaskan diri dari kenangan pahit itu. Bahkan Endra pernah memergoki Sarah sedang duduk sembari memukul-mukul kasur disertai dengan teriakan yang menyayat hati. Endra sadar, kalau itu adalah bentuk penyesalan atas rasa bersalah yang bersarang di dalam hati Sarah. Tapi sekali lagi, Endra tidak bisa berbuat apa-apa untuk setidaknya sedikit meringankan penderitaan Sarah.
Pagi itu, saat hari masih cukup gelap, Endra keluar dari rumah dan mengendarai motor milik orang tuanya lantas menembus jalanan pagi yang bermandikan embun. Endra tidak peduli dengan dinginnya udara yang menusuk-nusuk kulit, yang jelas dia perlu melakukan sesuatu di suatu tempat.
Endra terus melajukan motornya melewati tanjakan demi tanjakan. Sampai saat langit mulai berwarna jingga, Endra berhasil tiba di puncak bukit. Saat masih remaja dulu, Endra sering sekali menghabiskan waktu di tempat ini. Apalagi saat menghadapi masa-masa yang sulit. Endra tidak pernah ragu menempuh perjalanan yang terjal dan cukup berbahaya ini agar bisa meluapkan perasaannya di atas bukit ini.
Endra berdiri di tengah-tengah bukit. Melihat hamparan pemandangan berwarna hijau yang tersebar di bawahnya. Tempat ini cukup sulit dijangkau oleh penduduk sekitar dan hanya bisa dilalui sepeda motor. Setelah berhasil berada di puncak. Endra sudah menahannya sejak tadi untuk melakukan ini. Lalu dengan tanpa aba-aba...
"AAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAA!!!!!" Endra berteriak sekencang-kencangnya guna meluapkan seluruh perasaan yang membuat napasnya kian sesak.
Satu kali berteriak, Endra masih tidak puas. Perasaan sesak yang memenuhi hatinya masih tak kunjung samar. Hingga Endra kembali meluapkan perasaannya lewat teriakan kencangnya sekali lagi.
Tapi masih tidak berhasil. Kemudian Endra berteriak lagi. Dan lagi, sampai suaranya habis dan teriakan itu berubah menjadi raungan tangisan. Sungguh, Endra tidak bisa menahannya lagi. Dia benar-benar tidak bisa berhenti menangis.
***
"Kamu habis dari mana?" tanya Bu Mirna cemas saat melihat Endra baru datang dengan mengendarai sepeda motor. Wajahnya pucat pasi. Bahkan bibirnya pun berwarna putih pucat sampai membuat Bu Mirna dilanda perasaan khawatir melihat wajah anak sulungnya seperti itu.
"Cuma keluar sebentar, Bu," jawab Endra dengan ekspresi dan nada datar. "Aku masuk dulu ya, Bu," ucapnya lagi saat Endra sudah berhasil memarkirkan sepeda motor di halaman rumahnya.
Endra melewati ibunya dan langsung berjalan menuju kamarnya sendiri. Dia sudah cukup menumpahkan kepedihan yang memenuhi rongga hatinya di atas bukit sana. Dan seharusnya semua keresahan yang membelenggu hatinya sudah terbawa pergi oleh teriakan-teriakan itu. Tapi nyatanya ... hatinya tetap saja terasa perih.
Saat berhasil masuk ke dalam kamarnya, Endra memaksakan senyum melihat Sarah masih tertidur. Endra sempat melirik jam dinding di kamarnya. Pukul 07.19.
Baiklah, Endra akan menyiapkan sarapan dan membawanya ke kamar. Agar saat Sarah bangun nanti, sarapannya sudah siap.
Endra lantas keluar dari kamar dan menuju dapur. Dia akan mencoba membuat omelet telur dengan campuran sayur dan keju. Meskipun kepedihan sedang melanda jiwa Sarah, setidaknya raganya harus tetap dalam kondisi sehat.
Endra berusaha menyiapkan sarapan itu sendirian. Meski mulutnya tidak mengeluarkan suara apapun, tapi tanpa bisa dicegah, tetesan-tetesan airmatanya justru berjatuhan tanpa henti.