"A-apa maksud kamu?" Dengan tergagap, Bu Diyah mencoba meminta penjelasan pada Endra, karena bukankah Endra seharusnya tidak tahu soal kisah keluarga Sarah? Lalu ... apa maksudnya tadi, Sarah melihat ayahnya di kota?
"Sarah sudah menceritakan masa lalunya padaku, Bu," ucap Endra memberitahukan fakta itu.
Bu Diyah menggeleng. Dia tidak bisa mempercayai itu. Sarah bukanlah orang yang akan menceritakan kenangan buruknya pada orang lain seperti itu. Jadi bagaimana mungkin Sarah...
"Saat ini ... Sarah sedang berada di kampung halamanku." Endra terdiam sesaat. Ponsel yang sejak tadi dipegangnya dengan tangan kiri, kali ini berpindah ke tangan kanan. "Sebenernya ... saat itu Sarah mendapat telepon dari ayahnya, kemudian ... Sarah langsung bersikeras untuk meninggalkan kota. Jadi, karena itulah ... aku membawanya ke tempat ini."
"La-lalu ... ba-bagaimana keadaan Sarah sekarang?" Bu Diyah benar-benar terdengar cemas. Nada suaranya bahkan sampai bergetar.
Endra membuang napas berat. "Sejak hari itu ... Sarah tidak pernah mau berbicara lagi, Bu. Dia selalu tampak murung dan tidak pernah mau keluar dari kamar. Bahkan ... mimpi buruk yang Sarah alami setiap malam pun kini semakin bertambah parah." Endra sengaja menelepon Bu Diyah di teras rumahnya, sebelumnya Endra juga sudah memastikan kalau Sarah sedang tidur siang dengan cukup pulas. Jadi tidak apa-apa walau Endra meninggalkannya sebentar.
"Kamu ... juga tau soal mimpi buruk Sarah?" tanya Bu Diyah masih tak henti dibuat kaget.
Endra mengangguk, meskipun yakin Bu Diyah tidak akan melihatnya. "Iya, Bu. Aku tau belum lama ini."
Bu Diyah semakin tidak bisa mengusir perasaan khawatirnya mendengar kabar itu. Dia sangat tahu bagaimana keadaan Sarah jika sampai apa yang didengarnya dari Endra benar adanya. Dan dia benar-benar tidak bisa membiarkannya.
"Ibu akan datang ke sana sekarang, tunggulah sebentar," ucap Bu Diyah akhirnya. Dia benar-benar ingin segera melihat keadaan Sarah secara langsung.
"Jangan, Bu," larang Endra cepat. "Sebelumnya ... Sarah sempat bilang padaku kalau tidak boleh ada orang yang menemuinya di sini. Kata Sarah, mungkin ayahnya akan bisa menemukan keberadaannya di tempat ini jika sampai ada orang yang berusaha menemuinya. Jadi ... Bu Diyah sebaiknya jangan ke sini dulu untuk kebaikan Sarah."
Bu Diyah terdiam. Dia paham alasan Sarah melarangnya seperti itu. Bahkan seharusnya dia merasa beruntung karena ada Endra di sisi Sarah saat ini. Karena dulu, Sarah pernah mengatakannya pada Bu Diyah, jika suatu saat nanti Sarah bertemu dengan ayahnya lagi, maka Sarah akan langsung meninggalkan kota dan memulai hidup baru di kota lainnya. Menurut Sarah, itu untuk kebaikan semuanya. Sarah tidak boleh memiliki hubungan dekat dengan orang-orang, atau ayahnya akan mencelakakan orang-orang yang memiliki hubungan dekat dengannya.
"Kalau begitu, Ibu punya satu permintaan sama kamu," kata Bu Diyah akhirnya. "Tolong ... jangan pernah meninggalkan Sarah dan selalulah berada di samping Sarah untuk menguatkannya. Karena ... Sarah benar-benar akan menjadi sangat rapuh karena rasa bersalahnya."
Endra mengangguk. Tanpa perlu Bu Diyah minta pun, Endra akan selalu menjaga Sarah dan berusaha melakukan apapun untuk menguatkan wanita yang sudah menjadi istrinya itu.
"Lebih dari ketakutan yang Sarah rasakan, sebenarnya ... Sarah sedang berusaha menyalahkan dirinya sendiri," lanjut Bu Diyah lagi dengan suara pelan.
Endra tidak menyangkal. Sarah pasti merasa bersalah atas kematian ibunya. Jadi Endra jelas tahu apa maksud ucapan Bu Diyah tadi.
"Kalau boleh Ibu tahu, sejauh mana kamu tahu soal masa lalu Sarah?" tanya Bu Diyah kemudian.
Karena ini Bu Diyah, Endra merasa tidak apa-apa untuk menceritakan semuanya. Toh, Bu Diyah justru lebih tahu tentang Sarah dibandingkan dirinya.
Akhirnya Endra pun menceritakan apa yang dia tahu tentang Sarah pada Bu Diyah. Tentang apa yang Sarah ceritakan padanya saat dalam perjalanan menuju kampung halaman Endra. Cerita tentang masa lalu kelam Sarah.
***
Setelah Endra berhasil menceritakan semuanya, Bu Diyah terdiam cukup lama. Dan hanya menyisakan keheningan yang begitu mencekam.
"Apa yang baru saja Ibu dengar dari kamu ini, masih belum sepenuhnya lengkap. Sebenarnya ... masih ada satu cerita lagi yang pernah Sarah ceritakan pada Ibu yang membuat dia sangat trauma pada laki-laki."
Endra tidak bisa menyembunyikan keterkejutannya mendengar ucapan Bu Diyah barusan. Bahkan apa yang sudah Endra dengar dari Sarah itu sudah sangat tragis, tapi ternyata ... masih ada kisah tragis lainnya? Oh, Tuhan.
"Laki-laki yang mengaku ayah Sarah itu sebenarnya bukanlah ayah kandungnya," ungkap Bu Diyah kemudian.
Kali ini Endra tidak begitu terkejut. Meskipun Sarah tidak menjelaskan status sebenarnya laki-laki bajingan yang disebutkan, tapi Endra memang sudah menduga kalau laki-laki itu pastilah bukan ayah kandung Sarah.
"Karena Sarah sudah menceritakan masa lalunya sama kamu. Jadi, lebih baik kamu juga tau soal ini," lanjut Bu Diyah lagi membuat Endra merasa takut.
Ya, Endra takut dengan fakta baru yang akan dia dengar nanti. Dia takut perasaannya tidak akan sanggup menerima kepedihan yang menyerang Sarah bertubi-tubi. Dia takut hatinya bisa hancur jika sampai mendengar fakta lain yang akan semakin mencabik-cabik perasaannya.
"Sewaktu kecil dulu ... Sarah pernah mendapatkan pelecehan seksual," ungkap Bu Diyah dengan nada sedih yang langsung membuat Endra terkejut setengah mati.
"Waktu itu ... saat Sarah dan ibunya terus bersembunyi dari laki-laki jahat itu, sebenarnya ... ayah tirinya itu menemukan keberadaan Sarah dan langsung membawanya pergi."
Meskipun menyakitkan, tapi Endra akan berusaha menahannya untuk bisa memahami penderitaan yang Sarah rasakan. Dia harus mendengarkan semuanya agar bisa merasakan kesakitan yang selama ini membelenggu jiwa Sarah.
"Saat itu, Sarah dikumpulkan bersama dengan anak-anak lain. Rupanya, ayah tirinya bermaksud untuk menjual ginjal Sarah. Ayah tirinya itu memang penjahat keji yang tega melakukan apapun demi uang. Saat mengetahui ginjalnya akan diambil, Sarah memberontak dan berusaha melarikan diri. Namun keberadaan Sarah saat itu berada di markas penjahat. Saat Sarah berusaha melarikan diri, penjahat lain justru berhasil menangkap Sarah."
Meskipun Endra mendengar semua ini melalui telepon, tapi Endra bisa merasakan bagaimana ekspresi Bu Diyah saat sedang menceritakan semua ini. Karena bagi mereka berdua yang sangat ingin melihat Sarah bahagia, menceritakan sesuatu yang sangat menyakitkan seperti ini rasanya sudah lebih dari cukup membuat suara mereka bergetar sedih.
"Saat itu, Sarah benar-benar ketakutan dan terus saja memohon untuk tetap dibiarkan hidup. Dia meyakini, jika sampai organ tubuhnya diambil berarti dia akan mati. Di tengah-tengah ketakutan Sarah itu, akhirnya salah satu penjahat itu pun menyuruh Sarah untuk membuka bajunya jika tidak mau ginjalnya diambil. Sarah pun langsung menurut. Ketakutannya itu mengalahkan rasa malunya dan bersedia melakukan apapun asalkan Sarah bisa selamat. Meski umur Sarah saat itu masih terbilang kecil, tapi tubuh Sarah cukup besar. Sehingga penjahat itu berniat untuk melecehkan Sarah."
Endra mengepalkan tangannya kuat-kuat mendengar bagian menjijikkan yang dilakukan bajingan busuk itu. Kalau saja Endra ada di sana, dia bersumpah tidak akan pernah membiarkan para bajingan itu melihat matahari esok pagi. Sudah seharusnya mereka diadili dengan cara yang lebih buruk dari sekedar kematian.