webnovel

Bukan Istri Tapi Estri

Karena impian bodoh Endra, dia harus terjebak dengan perempuan sadis yang bernama Sarah dengan menjadi seorang suami. Sialnya, perempuan sadis yang awalnya Endra anggap seperti malaikat justru berubah menjadi iblis yang meneror hari-hari indahnya menjadi semakin suram. Bagaimana Endra akan menghadapi Sarah? Dan mampukah Endra melepaskan diri dari cengkeraman kesadisan Sarah yang selalu berperan sebagai istri yang baik di depan ibunya sendiri?

AdDinaKhalim · Urbain
Pas assez d’évaluations
247 Chs

#054: Pulang

Endra tidak menanyakan apa-apa lagi.

Setelah mendengar cerita tragis masa lalu Sarah, Endra lantas kembali mengemudikan mobilnya menuju kampung halamannya.

Sekarang Endra benar-benar sudah paham, alasan kenapa Sarah selalu bersikap dingin pada setiap laki-laki, terlebih padanya juga. Bahasa tubuh Sarah selalu memancarkan aura yang kuat semacam JANGAN SENTUH sehingga Endra selalu merasa kalau Sarah merupakan perempuan sadis yang memiliki bahasa tubuh sedingin es. Tapi rupanya itu tidak benar. Alasan dibalik sikap dingin Sarah selama ini rupanya lebih diartikan sebagai bentuk pertahanan diri atas perlakuan jahat laki-laki yang pernah Sarah alami di masa lalunya. Sarah lebih seperti bersikap waspada dibandingkan sikap dingin.

Kali ini Endra berjanji akan menghilangkan kewaspadaan Sarah entah bagaimanapun caranya. Dia akan memastikan Sarah berada dalam perlindungan Endra sepenuhnya. Dan berjanji tidak akan pernah membiarkan Sarah menderita lagi lebih dari ini. Apapun yang mungkin bisa Endra lakukan untuk melepaskan penderitaan Sarah, akan dia lakukan tanpa peduli sesulit apapun proses yang akan dilaluinya nanti.

Duduk di kursi penumpang di sebelah Endra, Sarah rupanya sudah merasa sedikit lebih tenang. Bahkan sedari tadi Sarah terus saja melemparkan pandangannya ke luar jendela dengan sesekali membuang napas teratur. Tangisannya juga sudah dihapusnya sejak tadi.

Menceritakan masa lalu kelam Sarah pada Endra, entah kenapa rasanya sedikit beban yang setiap waktu memenuhi hatinya berkurang sedikit. Sarah tak menampik kenyataan bahwa Endra adalah lelaki yang baik. Dan keputusannya untuk menceritakan kisah hidup yang belasan tahun disimpannya rapat-rapat pada Endra tidaklah keliru. Sarah percaya pada laki-laki yang kini berstatus sebagai suaminya itu. Meskipun sebelum ini, Sarah hampir tidak pernah memiliki kepercayaan sebesar kepercayaan yang sudah Sarah berikan pada Endra.

Setelah melewati perjalanan yang cukup panjang menuju kampung halaman Endra, kini sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah hamparan tanah yang luas. Yang diisi dengan berbagai macam tanaman maupun sayuran kehijau-hijauan.

Dengan jalan yang berkelok-kelok dan penuh tanjakan, Endra bisa merasakan hawa keresahan Sarah mulai memudar. Endra sengaja membuka kaca jendela mobil untuk membiarkan udara sejuk di daerah pegunungan ini masuk ke dalam mobilnya. Rupanya itu berfungsi. Karena Sarah langsung mencondongkan kepalanya menyapa udara yang masuk. Endra meliriknya dan tersenyum penuh kelegaan. Setidaknya, Sarah sudah jauh lebih tenang saat ini.

Kurang dari satu jam, mobil yang mereka tumpangi sudah sampai di halaman rumah keluarga Endra. Tidak ada siapapun yang menyambutnya. Karena Endra juga tidak memberitahukan keluarganya perihal kepulangannya ini.

Tanpa berlama-lama, Endra langsung turun dari mobil dan mengitarinya untuk membukakan pintu mobil untuk Sarah. "Kita sudah sampai, ayo," kata Endra lembut sembari mengangsurkan tangannya di depan Sarah.

Sarah sempat menatap Endra sekian detik, kemudian menatap tangan Endra yang mengambang di udara, menunggu tangannya menyentuh tangan itu. Dengan perlahan, Sarah mulai menggerakkan tangannya menuju telapak tangan Endra. Dan saat akhirnya tangan mereka bersentuhan, Sarah kembali merasakan kehangatan tangan Endra yang membuat hatinya terasa damai.

"Ayo, Sarah," ajak Endra sembari tersenyum lembut.

Sarah akhirnya mengangguk. Dia turun dari mobil dan tak membiarkan tangannya terlepas dari genggaman tangan Endra. Sarah bahkan merapatkan tubuhnya dengan tubuh Endra seolah tidak ingin terpisah jauh dari laki-laki yang membuatnya merasa begitu nyaman ini.

Endra bisa merasakan tubuh Sarah menempel di sampingnya. Dan dia jadi semakin erat dalam menggenggam tangan Sarah.

***

"Ndra, kamu kok nggak bilang-bilang sih kalau mau pulang, Ibu kan jadi keasyikan ngerumpi sama ibu-ibu yang lain. Untungnya tadi adik kamu manggil Ibu dan bilang kalau kalian tiba-tiba datang," protes Bu Mirna, saat mengetahui anak laki-lakinya pulang tanpa memberinya kabar sama sekali.

Beberapa saat lalu, Ibunya Endra ini langsung mengetuk kamar Endra karena penasaran dengan ucapan adik bungsu Endra yang memang melihat kepulangannya. Mungkin benar, setelah itu, adik bungsunya langsung mencari ibunya dan memberitahukan kepulangan kakak sulungnya ini.

Hanya Endra-lah yang keluar kamar, bahkan saat mendengar ibunya bicara tadi, Endra tidak langsung menjawab melainkan mengajak ibunya ke ruangan yang lain. Endra tidak ingin Sarah merasa terganggu.

"Maaf, Bu. Soalnya ini mendadak banget. Ada masalah yang terjadi, dan sementara ini, kami berdua akan tinggal di sini. Ibu nggak keberatan kan?" kata Endra memberitahu saat keduanya sudah berada di dapur.

Bu Mirna langsung menautkan alisnya bingung. "Kamu ini sebenernya lagi kenapa sih, Ndra? Kok kita malah bicaranya di sini. Ibu kan pengen ketemu sama menantu Ibu. Dan soal pertanyaan kamu tadi, kamu mau tinggal di sini selamanya juga Ibu sama sekali nggak keberatan, malah yang ada Ibu jadi seneng banget."

Endra menghela napas pelan. Alasan Endra membawa ibunya ke dapur, selain Endra ingin menjauhkan suara berisik yang mungkin akan ditimbulkan ibunya, Endra juga ingin mengambil minuman. Sedari tadi kerongkongannya terasa kering.

"Ndra, ngomong dong. Lagi sariawan ya kamu?" celetuk ibunya saat Endra tak kunjung bersuara lagi.

Endra memang baru saja meneguk segelas air putih hangat untuk meredakan dahaganya. Terlebih cuacanya terasa lebih dingin dari biasanya. Mungkin karena Endra sudah terbiasa berada di kota, dipenuhi dengan udara panas dan pengap, jadi saat kini Endra kembali ke kampung halamannya, hawa dingin yang seharusnya sudah biasa dia rasakan mendadak terasa sedikit menusuk-nusuk kulit.

"Tolong sementara ini Ibu jangan bicara dulu sama Sarah ya," pinta Endra akhirnya, setelah satu gelas penuh air hangat mengaliri kerongkongannya dan bersemanyam di dalam perutnya.

Bu Mirna langsung memasang tampang tidak terima. "Lho, emang kenapa? Sarah lagi puasa ngomong sampai Ibu nggak boleh ngajak bicara ya?"

"Bukan gitu, Bu." Endra membuang napas berat. Sarah pasti tidak mau masalahnya itu diketahui orang lain, jadi tidak mungkin Endra menceritakan kejadian sebenarnya pada ibunya ini.

"Sebenernya ... Sarah lagi punya masalah yang lumayan berat. Sarah ini..." Endra mencari kalimat yang pas untuk melanjutkan ceritanya. "... bisa dibilang, Sarah lagi di teror sama seseorang, Bu."

"Apa!? Diteror? Siapa coba? Siapa yang berani meneror menantu Ibu itu? Macem-macem sama Bu Mirna mantan preman pasar rupanya!" Ibunya Endra langsung bereaksi berlebihan, bahkan sampai melipat lengan bajunya segala seolah bersiap menantang. Padahal Endra tahu persis ibunya ini memang suka ngarang.

"Bu, aku serius. Sarah bener-bener lagi ketakutan. Makanya kita memutuskan buat tinggal di sini dulu. Jadi Endra mohon sama Ibu, tolong ... sementara ini biarin Sarah sendiri ya. Soalnya dia masih kelihatan syok banget."

Bu Mirna mulai merasakan keseriusan dalam nada ucapan anaknya, dan dia jadi berpikir sebentar. "Apa Ibu nggak boleh tau masalah apa yang sedang terjadi sama Sarah?" akhirnya Bu Mirna berbicara dengan nada serius.

Endra mengangguk pelan. "Endra juga baru tahu hari ini, dan mungkin butuh waktu buat Sarah untuk bisa kembali tenang. Jadi ... sementara ini biarin Endra yang menangani Sarah dulu ya. Ibu bisa ngerti kan?"

Endra tidak tahu lagi apa yang bisa dilakukannya selain memohon seperti ini. Sarah mungkin tidak ingin bertemu dengan siapapun untuk sementara waktu sampai hatinya sudah kembali kuat. Jadi, Endra sangat berharap kalau ibunya bisa mengerti keadaan serba sulit yang sedang Endra hadapi ini.