Endra tidak melakukan apa-apa. Dia hanya membiarkan Sarah dengan keadaannya sendiri. Dan setelah cukup lama, Sarah akhirnya bersedia mengangkat wajahnya dan menatap Endra yang sudah sangat khawatir melihat keadaannya.
"Sebenarnya ..." Sarah akhirnya bersedia mengucapkan sepatah kata. Walaupun nada suara yang baru saja keluar dari mulut Sarah sangat kontras sekali dengan nada suara yang biasanya Endra dengar. Kali ini, nada suaranya terdengar sangat rapuh. Hingga Endra merasa ketakutan suara hembusan napasnya bisa menghancurkan kerapuhan itu. Endra benar-benar merasa tegang dengan 'sesuatu' apa yang akan diceritakan Sarah nantinya.
"... aku ... lagi di kejar sama seseorang," lanjut Sarah akhirnya dengan suara yang pelan sekali. Bahkan Sarah tidak menggunakan sebutan 'gue' seperti yang biasa dia sebutkan saat berbicara dengan Endra.
Endra tidak terlalu terkejut mendengarnya, karena setidaknya Endra sudah pernah mendengar garis besar cerita Sarah. Jadi Endra juga bisa mengaitkannya dengan apa yang terjadi sekarang. Bukankah saat ini Sarah bertingkah seperti seorang buronan yang lari dalam kejaran polisi?
"Mungkin ... kamu sudah tau dari Bu Diyah, kalau aku ... bukan berasal dari kota ini." Sarah yang tadinya bercerita sambil tertunduk akhirnya berani menatap mata Endra, yang langsung dibalas dengan anggukan kecil dari Endra.
Sarah tidak langsung membuka suara lagi. Dia mulai membetulkan posisi duduknya yang sempat condong ke arah Endra gara-gara menjatuhkan kepalanya ke dada Endra tadi. Setidaknya, sekarang Sarah sudah merasa ketakutannya sedikit memudar. Keberadaan Endra di sisinya benar-benar sangat membantu Sarah untuk kembali pada kesadarannya yang tidak hanya terbelenggu oleh ketakutan demi ketakutan hebat itu.
Sementara Endra masih setia mengunci mulutnya. Dia sedang menunggu sampai Sarah bersedia untuk bercerita lagi. Endra menduga, apapun yang akan didengar nantinya, adalah 'sesuatu' yang sangat Sarah rahasiakan selama belasan tahun. Dan Endra sadar itu tidak mudah untuk diceritakan.
"Semuanya bermula saat Ibu mengetahui laki-laki yang dinikahinya adalah laki-laki bajingan yang sangat jahat," kata Sarah kemudian dengan intonasi suara yang penuh dengan kebencian mendalam. Meski tatapan Sarah terarah ke jalanan di depan sana. Tapi Endra yang duduk di sampingnya bisa merasakan kemurkaan lewat nada suara yang baru saja Sarah ucapkan.
"Laki-laki bajingan itu selalu saja menyiksa Ibu dengan pukulan maupun kelakuan iblisnya. Dan ..." Sarah menggelengkan kepalanya saat suaranya mulai bergetar akibat tangisan yang sengaja ditahannya kuat-kuat.
Mungkin, apa yang akan diceritakan Sarah adalah bagian terkelam dalam hidupnya yang selalu saja dikuncinya rapat-rapat, sehingga setiap potongan ceritanya justru menimbulkan percikan rasa sakit yang membuat Sarah tidak bisa menahan tangis. Endra bisa memahami itu, tapi dia tidak tahu harus melakukan apa selain tetap diam sampai Sarah menyelesaikan semua ceritanya.
"Tanpa pernah Ibu ketahui, rupanya selama ini laki-laki bajingan itu bergabung dengan komplotan penjahat di daerah asal kami. Sampai akhirnya, Ibu yang tidak kuat lagi menahan kekerasan rumah tangga yang dialaminya berusaha kabur dan membawa serta aku bersamanya." Butiran air mata Sarah sempat terjatuh saat sedang menceritakan bagian itu. Bahkan Endra bisa menangkap jelas gurat kepedihan mendalam yang sangat kentara dari raut wajah Sarah saat ini.
"Kami berdua terus saja bersembunyi dari laki-laki bajingan itu. Sampai kemudian, kami yang berusaha untuk melanjutkan hidup tanpa adanya bajingan itu rupanya tidak bertahan lama. Bajingan itu membawa serta komplotan jahatnya untuk masuk ke dalam rumah persembunyian kami, dan akhirnya menyeret Ibu untuk ikut serta bersama mereka," pancaran mata Sarah berkilat marah saat menceritakan kejadian itu. Pastilah itu kenangan menyakitkan untuk Sarah sehingga suara pedihnya tadi langsung tergantikan oleh nada kemarahan yang terdengar jelas di telinga Endra.
"Bukan hanya kembali menyiksa Ibu saja, tapi kejahatan bajingan itu benar-benar menjijikkan. Ibu sampai dijadikan pelacur. Bahkan di luar itu, bajingan itu juga tidak ragu untuk membunuh, mencuri, bahkan memperjualbelikan anak-anak dan perempuan untuk kepentingannya bersama komplotannya." Sarah mengambil napas dengan susah payah karena perasaannya campur aduk. "Aku tau, saat itu Ibu bersedia melakukannya karena bajingan itu mengancam Ibu kalau mereka akan menjualku untuk dijadikan pelacur kecil kalau sampai Ibu berusaha kabur lagi." Sarah membekap mulutnya sendiri demi bisa menahan tangisannya agar tidak mengalir semakin deras.
Endra yang mendengar cerita Sarah di sampingnya hanya bisa dibuatnya tidak percaya. Sungguh, Endra tidak menduga kalau sumber kebencian Sarah terhadap laki-laki selama ini justru berasal dari ayahnya sendiri yang sangat biadab menjadikan istrinya sebagai pelacur.
"Saat malam datang, Ibu harus bersedia menjadi pelampiasan nafsu para laki-laki jahat itu, dan ketika siang, Ibu diijinkan untuk bersamaku lagi. Ibu tidak pernah berani melaporkan kejadian itu pada polisi, karena pengaruh kejahatan bajingan itu terlalu besar, sehingga Ibu tidak mau mengambil resiko membahayakan nyawaku kalau ternyata para bajingan itu justru bisa berkelit dengan mudah." Sarah terdiam cukup lama. Tatapannya masih terarah ke jalanan di depan sana dengan pandangan kosong.
"Selama beberapa waktu kemudian, petaka lainnya pun datang. Saat itu, aku yang baru pulang dari sekolah, tiba-tiba saja dikejutkan dengan kehadiran bajingan itu beserta komplotan jahatnya yang sudah mengepung Ibu. Bahkan saat akhirnya aku menampakkan diri, Ibu langsung berteriak padaku, 'Lari! Cepat larilah yang jauh, dan jangan biarkan seorang pun menyentuh kamu!" Suara Sarah kembali bergetar. Saat dia menirukan ucapan ibunya tadi, getaran suaranya benar-benar membuatnya ingin menangis lebih keras.
"Aku ingat sekali Ibu terus saja menyuruhku lari dari mereka. Apalagi saat mereka mulai melihat kearahku dan berusaha mendekatiku." Sarah berkali-kali memencet hidungnya yang mengeluarkan ingus menggunakan tisu yang sebelumnya diberikan Endra.
"Karena ketakutan, aku akhirnya memutuskan lari, namun baru beberapa langkah rupanya bajingan itu berteriak padaku dan mengancam akan membunuh Ibu kalau aku tetap lari. Tentu saja aku tidak mungkin membiarkan itu. Aku berhenti berlari dan kembali menatap Ibu, tapi Ibu terus saja menyuruhku untuk lari dan lari. Ancaman bajingan itu, juga permintaan Ibu yang menyuruhku lari membuat ketakutanku semakin tidak terkendali. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, sementara aku melihat sendiri bajingan itu mengarahkan pistolnya ke kepala Ibu."
Endra tidak pernah menyangka kalau kehidupan Sarah di masa kecilnya itu bahkan lebih tragis dari cerita paling tragis yang pernah Endra dengar selama ini. Masa lalu kelam Sarah itu, rasanya sangat mengerikan untuk diingat, bahkan meski itu sekadar ingatan samar.
"Saat aku memutuskan untuk menyerah dan akan pasrah di tangan bajingan itu, rupanya Ibu memberikan perlawanan tiba-tiba dan sempat membuat para penjahat itu kerepotan. Saat itulah, Ibu kembali meneriakiku untuk lari. Aku melihatnya sendiri, betapa Ibu berusaha keras untuk melindungiku dari para penjahat itu. Akhirnya, demi melihat usaha perlawanan Ibu agar tidak berakhir sia-sia, aku pun menutup mata dan memutuskan untuk lari." Sarah memegangi kepalanya sendiri dan mencengkeramnya kuat-kuat seolah sedang melampiaskan rasa bersalahnya pada saat itu.
Ah, Endra tidak bisa membayangkan ada di posisi Sarah saat itu. Usia Sarah bahkan masih dihitung sebagai usia kanak-kanak, namun beban yang harus Sarah tanggung lebih besar dari apa yang seharusnya usia kanak-kanak tanggung.