Dengan cepat, Endra bangun dari tempatnya. Dia bergegas melewati Asti dan langsung beranjak menuju tangga untuk turun ke bawah. Kesempatan emas. Tidak akan Endra sia-siakan.
Tak lupa Endra tetap mengetuk pintu ruangan Sarah sebelum masuk. Meskipun dia tidak berniat menunggu Sarah mengijinkannya masuk, tapi Endra langsung dibuatnya terkejut setengah mati.
Pasalnya, baru saja Endra membuka pintu masuk, tiba-tiba saja sesuatu terlempar ke dinding tak jauh dari tempatnya berdiri. Endra benar-benar syok, melihat seperangkat alat telepon yang baru saja dilemparkan Sarah dan sudah terjatuh mulus ke lantai.
Endra sungguh tidak bisa percaya kalau Sarah akan semarah itu melihat kedatangannya. Tapi begitu tatapan Endra langsung berganti ke arah Sarah, Endra dibuatnya tak kalah terkejut.
Sarah sedang terpaku di tempat dengan pandangan kosong. Wajahnya kembali menampilkan ketakutan mendalam, bahkan matanya berkaca-kaca. Dan rupanya, lemparan telepon tadi bukanlah ditujukan untuk Endra, karena bahkan Sarah masih tidak menyadari keberadaan Endra di ruangan ini.
Saat Endra akan berjalan mendekat, rupanya Sarah juga mulai bergerak. Dia sempat mengacak-ngacak mejanya mencari sesuatu, kemudian bergegas meninggalkan meja. Dan saat itulah kehadiran Endra terdeteksi, karena langkah Sarah terhalang oleh tubuh Endra.
"Ada apa?" tanya Endra yang kali ini sudah tidak peduli lagi dengan masalah tadi pagi. Demi melihat wajah Sarah yang sudah sangat ketakutan.
"Aku harus pergi dari sini. Aku harus pergi!" nada suara Sarah bergetar.
Sarah langsung melewati Endra. Tapi dengan cepat Endra kembali membalikkan tubuhnya untuk mengejar Sarah, lantas kembali menghadangnya.
"Sarah, tolong katakan ada apa?" tanya Endra lagi menuntut penjelasan. Karena lagi-lagi tingkah Sarah yang mulai ketakutan seperti ini akhirnya membuatnya tidak pernah bisa mengerti.
Sarah akan mengabaikannya, dan bermaksud kembali melewati Endra, tapi sebelum Sarah bergerak, dengan cepat Endra memegangi bahu Sarah untuk menahan langkah kaki Sarah.
"Lepasin! Aku harus pergi dari kota ini sekarang juga. Aku harus pergi!" ceracau Sarah tak terkendali. Endra yang masih berusaha memeganginya pun dibuat kewalahan karena Sarah terus saja berusaha melepaskan diri.
"SARAH!" teriak Endra akhirnya, karena merasa Sarah sedang tidak dalam kondisi normal. Mendengar teriakan Endra, Sarah pun berhenti meronta, sorot matanya yang sudah dipenuhi airmata langsung tertuju pada Endra.
Kali ini wajahnya seolah menjelaskan semuanya tentang apa yang sedang Sarah alami. Bahkan sorot mata Sarah yang biasanya tajam, kini begitu sayu dan tak henti-hentinya memproduksi air mata.
Endra tak tega melihat Sarah dilanda ketakutan seperti itu, hingga akhirnya Endra pun berucap, "Baiklah, kalau emang kamu mau pergi, kita akan pergi bersama-sama."
Endra langsung mencari tangan Sarah dan digenggamnya erat-erat. Rupanya Sarah tidak menolak. Ketakutan yang dialami Sarah itu pun bisa Endra rasakan lewat genggamannya yang terus saja gemetar, tapi Endra yakin bukan karena phobia sentuhan melainkan karena hal lain yang membuat Sarah jadi seperti ini.
Endra langsung membawa Sarah untuk pulang ke rumah. Mungkin dengan beristirahat di kamar, Sarah akan kembali baik-baik saja, seperti sebelumnya.
Tapi rupanya, begitu Endra baru mematikan mesin mobil tepat di halaman rumah Sarah, Sarah yang tadinya sedang tepekur sembari memeluk tubuhnya langsung tersadar dan melihat keberadaannya sekarang.
Pemberontakannya kembali dimulai. "Nggak. Aku harus pergi dari kota ini. Aku nggak boleh ada di kota ini lagi, tolong ... aku harus pergi sekarang juga," ceracauan Sarah kembali lagi. Dan Endra dibuatnya semakin khawatir sekaligus bingung.
"Kamu mau kita pergi kemana?" Endra tak kuasa melihat Sarah begitu tersiksa dengan ketakutan yang sama sekali tidak dimengertinya.
Sarah menatap Endra dan menggeleng pelan. Tangisnya mulai membanjir. "Aku mohon, bawa aku pergi dari kota ini. Aku mohon ... aku nggak mau ada di sini lagi," pintanya dengan wajah yang penuh airmata.
Endra tidak tahu apa yang harus dia lakukan untuk bisa memahami semua ini, Sarah sama sekali tidak memberinya petunjuk apapun. Dan Endra juga tidak tahu ketakutan apa yang membelenggu jiwa Sarah sampai membuatnya begitu menderita seperti ini.
"Apa kamu nggak mau tinggal di rumah ini lagi?" tanya Endra sembari menatap Sarah lembut.
Sarah menggeleng. Dan kembali pada ceracauan sebelumnya. "Aku mohon, aku harus pergi dari kota ini."
"Baiklah," Endra akhirnya membuang napas pelan. Dia memang belum tahu apa yang sedang mengganggu Sarah, tapi dia jelas tahu keinginan Sarah untuk secepatnya pergi dari tempat ini. Seolah Sarah sedang dikejar-kejar oleh sesuatu yang tidak di mengertinya.
"Tapi sebelum itu, ada yang perlu aku ambil dulu di dalam. Kamu bisa tunggu di sini dulu kan?" pinta Endra sebelum memutuskan turun dari mobil.
Sarah mengangguk pelan. Dia kembali memeluk tubuhnya sendiri dan membiarkan Endra masuk ke dalam rumah.
Sementara Endra yang merasa tidak tahu apa-apa dengan ketakutan Sarah hanya bisa memaklumi saja. Yang jelas ketakutan di wajah Sarah sudah menjadi bukti nyata, kalau dirinya tidak bisa mengabaikannya.
Endra akan membawa beberapa potong pakaian dan barang-barang yang perlu dibawanya, juga surat-surat berharga seperti buku nikah mereka dan lain sebagainya. Endra tidak tahu akan pergi kemana, tapi yang jelas permohonan Sarah tadi menginginkan untuk keluar dari kota ini.
***
Endra sudah bertanya pada Sarah tentang tujuan mereka, tapi Sarah hanya mengatakan untuk meninggalkan kota dan pergi jauh dari kota ini. Endra yang tidak punya pandangan akhirnya memilih untuk pulang ke kampung halamannya saja. Toh kampungnya memang bukan dari kota ini. Dan jaraknya dari kota ini pun cukup jauh.
Saat separuh perjalanan sudah terlewati, Endra semakin dibuat khawatir melihat Sarah yang tetap tidak bisa tenang dengan kondisinya yang masih dilanda ketakutan hebat. Sehingga mau tak mau Endra pun memilih untuk menepikan mobilnya dulu.
"Sarah, sebenernya kamu kenapa?" tanya Endra lembut. Dia berusaha untuk menenangkan Sarah karena level ketakutan yang Endra lihat sudah tidak bisa ditolerir lagi.
Sarah masih memeluk tubuhnya dan menceracau pelan. Hingga membuat Endra menggeser tubuhnya dan memegangi bahu Sarah untuk menghadapkan kearahnya.
"Kalau kamu nggak cerita, aku nggak bakal tau apa yang sebenernya kamu alami," kata Endra masih dengan nada lembut.
Sarah masih menundukkan wajahnya dan menceracau pelan, entah mengatakan apa.
"Mungkin sudah waktunya buat kamu cerita semuanya. Aku nggak bisa lihat kamu ketakutan sendirian. Jadi tolong ... cerita sama aku ya. Ada apa sebenernya?" pinta Endra dengan penuh pengharapan.
Perlahan-lahan wajah Sarah mulai terangkat untuk menatap Endra. Cukup lama Sarah membiarkan mata sembabnya bertatapan dengan teduhnya mata Endra. Sampai akhirnya, untuk pertama kalinya, Sarah menjatuhkan kepalanya ke dada Endra.
Tentu saja Endra dibuat terkejut. Tapi mengetahui Sarah bahkan sampai berbuat seperti ini, Endra jelas langsung balas memeluk Sarah dan mengusap rambut Sarah pelan. Dibiarkannya Sarah dalam posisi itu setidaknya untuk membuat Sarah bisa merasakan sedikit ketenangan.
Hingga tak berapa lama kemudian, tubuh Sarah yang sempat gemetaran sudah mulai berubah tenang. Sarah pun langsung menarik tubuhnya dan menundukkan wajahnya dalam-dalam. Setelah ini, Endra yakin dirinya akan mendengar 'sesuatu'.