webnovel

DUA

Arini mengantar Chika hanya sampai depan rumah saja, dia tak enak hati jika harus masuk sampai ke dalam rumahnya. Setelah itu Rena kembali untuk mengantar Arini pulang. Kebetulan rumah Arini memang tidak jauh dari sekolah tempatnya mengajar.

"Kalau boleh tau berapa umur Bu guru?" tanya Rena.

"Arini saja Mbak."

"Oh kalau begitu, berapa umurmu Arini?"

"Dua puluh satu tahun."

"Benarkah? kau bahkan lebih muda dariku." Rena membelalakan matanya seolah tak percaya.

"Ah mungkin mukaku boros jadi seperti kelihatan tiga puluh tahun."

"Bahkan aku kira kau baru lulus SMA Rin." Rena mencoba lebih akrab dengan Arini.

Arini hanya tersenyum mendengar perkataan Rena.

"Sebelumnya aku meminta maaf jika nantinya Chika akan terus memanggilmu Mama, aku berharap kau tak keberatan dengan semua itu." Pandangan Rena seperti kosong menatap kedepan.

"Aku tidak keberatan kok, apa aku begitu mirip dengan Ibu kandung Chika?"

"Tentu saja, namun sekarang yang kulihat adalah Mbak Zahra versi muslimah, hehe."

Arini memang menggunakan kerudung dalam kesehariannya, tubuhnya yang ramping dan mungil menambah kesan anak remaja melekat pada Arini, walaupun Arini sekarang berumur dua puluhan tapi sering kali orang mengira Arini adalah anak SMA.

"Mbak Zahra dan Mas Radit hanya terpaut selisih umur satu tahun saja, sedangkan aku dan Kakakku itu selisih lima tahun." ungkapnya.

"Oh..." Arini nampak bosan dengan percakapan ini.

°°°

Rena baru saja sampai ketika suara tangisan Chika membuatnya bergegas masuk ke dalam rumah.

"Ada apa Sus?" tanya Rena pada baby sitter Chika.

"Nggak tau mbak, Chika manggil-manggil Mamanya terus."

"Sini sayang sama Tante yuk."

Tapi yang terjadi malah Chika semakin mengencangkan volume tangisannya. Rena bingung harus bagaimana, selain karena ia belum punya anak, ia juga tak punya pengalaman menghadapi anak kecil.

"Chika sayang kamu kenapa?" suara tak asing itu, Rena menoleh dan melihat kakaknya akhirnya datang.

"Biasa Mas nyari Mamanya," Rena memberitahu penyebab Chika menangis.

"Chika mau sama Mama Pa." kata Chika seraya memeluk Ayahnya itu.

"Sayang, Mama udah pergi jauh, nggak mungkin Chika sama Mama lagi, kan ada Tante Rena, ada Papa dan ada Suster Ani juga." Radit mencoba menenangkan anak semata wayangnya itu.

"Nggak, tadi juga Chika sama Mama, sekarang Mama mana Pa." rengek Chika.

Radit menatap Rena, dia tampak kuwalahan mengurus buah hatinya itu.

Kini tangis Chika sudah mereda, entah apa yang di lakukan Rena pada anaknya itu, Radit duduk termenung melihat langit-langit rumah.

"Mas, ini aku bawakan teh." ucap Rena sambil meletakkan teh yang ia bawa.

"Chika dimana?" tanya Radit.

"Lagi main sama susternya." jawab Rena.

"Mas, apa kau tak bisa pindah saja kemari, toh dari perusahaan disini kau bisa menghandle perusahaan mu yang di Jakarta bukan? kasihan Chika, bukan hanya butuh sosok Ibu, dia juga butuh sosok seorang Ayah. Aku tak bisa selalu mengawasi Chika, aku juga punya banyak pekerjaan." Rena bicara dengan pelan, takut jikalau Kakaknya itu tersinggung.

Radit hanya diam saja tak membalas ucapan Rena, dia hanya menghela nafas panjang lalu meninggalkan Rena pergi untuk melihat anaknya.

Tampak Chika sedang asyik bermain bersama bonekanya, Radit melihatnya dari balik pintu, hatinya sesak ketika melihat anaknya terus-terusan menangisi kepergian Istrinya itu.

"Sayang, coba kau lihat Chika anak kita, dia sangat kehilanganmu, aku harus bagaimana?" gumam Radit mengingat mendiang istrinya.

Buih air mata menyembul di sudut mata Radit, bukan hanya Chika, ia juga sangat kehilangan sosok istri yang amat di cintainya, bayang-bayang Zahra selalu terlintas di otaknya, bahkan bau tubuhnya pun Radit masih mengingat dengan jelas.

Radit mendekati Chika dan ikut main dengannya, sebenarnya ia tak sanggup jika harus berpisah lama dengan buah hatinya, mungkin ucapan Rena ada benarnya juga.

°°°

"Aku akan membawa pekerjaanku kemari." ucap Radit kepada Rena.

"Syukurlah, aku senang mendengarnya."

"Aku juga tak bisa jika harus berpisah lama dengan Chika, hanya dia yang aku miliki sekarang." Radit menunduk berusaha menyembunyikan luka hatinya.

"Sabar Mas, Mbak Zahra sudah tenang di sana, kamu fokus saja pada tumbuh kembang Chika." Rena mencoba menyemangati kakaknya itu.

"Bagaimana perkembangan butik disini Ren?" tanya Radit.

"Lumayan Mas, bahkan rencananya aku mau membuka cabang." jawab Rena.

"Benarkah? dimana?"

"Masih tahap survey lokasi kok Mas."

"Semoga lancar deh, kalau perlu bantuan Mas bilang aja, jangan sungkan." Radit tersenyum.

"Siap."

Hubungan Radit dan Rena memang sangat dekat, terlebih karena Rena merupakan adiknya satu-satunya. Orangtua mereka menetap di luar negeri mengelola bisnis mereka di sana. Bakat bisnis keduanya pun menurun pada dua anaknya itu.

Raditiya Anggara baru berusia 29 tahun, tapi dia sudah sukses menjadi CEO Anggara grup. Anak perusahaannya di mana-mana, sedangkan Rena putri Anggara sukses menjadi seorang desainer terkenal, bahkan rancangannya sudah wara-wiri nampang di televisi.

°°°

"Sekarang Papa bobo sama Chika?" tanya Chika dengan riang.

"Iya dong, Papa tiap hari mau bobo sama Chika, hehe." ucap Radit.

"Yeee, semoga besok Mama bisa bobo sm Chika juga."

Radit memeluk putri kecilnya itu, menepuk-nepuk pelan punggungnya, agar cepat ia terlelap, biasanya itu yang akan dilakukan Zahra ketika menemani anaknya tidur.

"Aku rindu kamu Ra. Chika nyari-nyari kamu terus, aku mesti gimana Ra, mesti gimana lagi cara menjelaskan pada Chika kalau kamu sudah tak bisa bersama kami lagi" lagi-lagi Radit teringat Zahra  mendiang istrinya.

Bukan hal yang mudah melupakan bayang-bayang istrinya itu, selain karena Radit sangat mencintainya, Zahra adalah wanita yang setia menemaninya dari sejak merintis usaha. Perjuangannya yang tulus tak pernah ia lupakan.

°°°

"Sarapan sudah siap... taraaa... nasi goreng ala Tante Rena." dengan riang Rena memberikan hasil karyanya untuk Kakak dan Keponakannya itu.

"Waaahh, baunya enak Tante." Chika pun riang menyambut piring yang di berikan Rena.

"Mas, hari ini kamu yang antar Chika ya, aku harus ke butik sekarang."

"Iya kamu pergi aja, nanti Chika aku yang antar." ucap Radit sembari menyeruput kopi paginya.

°°°

Radit pun mengantar putrinya pergi ke sekolah, ini pertama kalinya ia mengantar anaknya berangkat sekolah, saat TK kecil dulu Zahra lah yang selalu mengantar putrinya.

"Chika udah nggak sabar ketemu Mama." kata Chika dengan riangnya.

"Mama?" Radit bingung dengan perkataan putrinya itu, namun ia cuek aja, namanya juga anak kecil, jiwa imajinasi mereka memang menakjubkan.

Tak butuh waktu lama untuk sampai di sekolah baru anaknya, bersih dan rapi hal yang terlihat pertama dari TK negeri itu.

"Selamat pagi Chika." Arini menyapa Chika dengan ramah.

Radit sangat terkejut melihat seseorang di hadapannya itu.

"Sayang.." hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Radit ketika melihay Arini untuk pertama kalinya.

Radit sangat terkejut melihat seseorang di hadapannya itu.

"Sayang.." hanya kata-kata itu yang keluar dari mulut Radit.