webnovel

Kutukan Kematian

"Jin yang bersemayam di dalam tubuh kamu semakin kuat mengambil alih kendali baik jiwa dan ragamu, Syifa. Kamu tahu apa yang Jin itu katakan pada saya?" tanya seorang dukun perempuan yang biasa Syifa datangi ketika ia sedang dirundung masalah, "Katanya kamu sebentar lagi bakal mati."

Tubuh Syifa gemetar ketakutan, kepalanya menggeleng pelan dengan wajah meringis ngeri, "T-Tapi Mbah, saya masih dua puluh lima tahun, lho! Masa udah mau mati?"

Dukun tadi mendelik seram sambil tubuhnya agak maju, "Ada satu hal yang bisa ngebuat kamu selamat dari maut," ungkap dukun tersebut dengan suara gelap nan dramatis, "Hanya satu!"

Syifa terperanjat mendengar hentakkan keras suara dukun tadi, "Apa? Apa, Mbah?"

"Kawin!"

Mata Syifa mendadak terbelalak lebar, "Apa? T-Tapi... saya masih dua puluh lima tahun, lho!" ujarnya dengan keluhan yang sama persis.

"Yah... waktu kamu juga gak akan sampai umur dua puluh enam kalau memang gak mau kawin," jawab dukun tadi dengan bibir agak mencebik, "Pilihannya ada di tangan kamu."

"Saya masih mau hidup lama, Mbah! Belum sempat saya nonton konsernya BTS, saya baru dapat kerja tahun ini. Kalau bisa, tunggu sampai satu tahun lagi, deh. Atau paling tidak saat BTS tour keliling dunia lagi, saya mau nonton konser mereka sekali sebelum mati."

Mata dukun tadi langsung melebar nyalang, "Kurang ajar! Memangnya kamu pikir siapa dirimu sampai bisa menawar-nawar hidup? Hah? Lihat! Lihat! Jinnya marah!"

"Aduh! Aduh! Iya oke! Aku kawin! Aku kawin buru-buru, deh!" seru Syifa dengan kening mengerut sebal, merasa kalau hidupnya sangatlah malang, "Tapi sama siapa, ya, Mbah? Saya bahkan gak pernah pacaran."

"Itu urusan kamu," jawab dukun tadi melotot, "Waktu kamu hanya dua minggu. Hanya sampai bulan purna nanti, maka kamu bisa membatalkan kematian yang kini sudah mengintai."

Tubuh Syifa bergidik ngeri. Apalagi ketika dukun tadi menyengir bibirnya penuh arti, "Ada satu tambahan lagi kata Jinnya. Harus pria kaya. Kalau bisa yang tingginya lebih dari 185 sentimeter."

Mata Syifa terbelalak seketika, "Ini saya yang disuruh kawin apa Jinnya yang mau kawin?"

"Jangan membantah! Lakukan saja kalau kamu tidak mau mati. Hahaha! Hahaha!"

Napasnya tersengal-sengal dengan kepala bergerak-gerak gelisah. Manik matanya bergerak-gerak cepat. Sebelum kemudian sebuah suara melengking terdengar, bebarengan dengan suara keras pintu didobrak dari luar.

"Dimitri!"

Syifa seketika terbangun dari mimpinya, buru-buru ia usap air liur yang sedikit menetes dari ujung bibir. Kebingungan perempuan itu kemudian ketika mendapati ruang rapat tiba-tiba riuh ramai.

Seorang perempuan setengah baya dengan gaya glamor tampak berhadapan dengan pria tegap tinggi berpakaian setelan jas rapi berwarna biru dongker. Dimitri, Bosnya di kantor.

"Mama? Astaga! Ngapain sampai nyamperin aku ke kantor? Kan, sudah aku bilang..." kata-kata Dimitri seketika terhenti saat ia sempat melirikkan mata melihati sekitar dua puluh orang peserta rapat mingguan siang hari ini tengah memperhatikan, menjadikan keributannya dengan sang Mama sebagai tontonan, "Mama tunggu di ruangan aku. Sekarang aku lagi rapat penting," pinta Dimitri kemudian dengan suara berbisik.

"Enggak!" tolak perempuan itu dengan mata melebar, "Memangnya Mama datang jauh-jauh dari Rusia hanya buat ditinggal di rumah kamu yang kosong itu tanpa pelayan satupun? Mama tadi ngisi bathtub sendiri tahu!"

Mata Dimitri terpejam rapat, mengangguk pelan sambil tangannya terangkat bermaksud menenangkan Mamanya yang dibutakan amarah, "Tenang, Ma. Mama dengarin aku."

"Kamu yang dengarin Mama!" sentak perempuan tadi dengan mata menyalang lebar, "Gila kamu, Dimitri. Sudah tiga puluh dua tahun, masih saja kamu ngejar dunia yang gak akan pernah cukup. Cepat cari istri! Lagian apa yang kamu gak punya? Apa kurangnya kamu, sih?"

Jari Dimitri tertempel di bibir, "Ma, malu!" bisiknya setengah mendesis, "Ya sudah, ayo kita ke ruangan aku buat bicarain ini."

Bukannya menurut, mamanya malah menghadap ke arah seluruh peserta rapat di ruangan itu, "Sekarang angkat tangannya, kalau kalian berpikir Dimitri adalah cowok jelek!" titah dia pada semua orang di sana.

Semua tampak terkejut, termasuk Syifa yang kepalanya menoleh-noleh untuk melihat reaksi yang lain. Dia tidak mau ikut kena damprat dan terimbas masalah Bosnya ini. Jadi sebisa mungkin ia akan samakan jawabannya dengan yang lain.

Tidak ada yang mengangkat tangan mereka satupun. Yang artinya semua setuju, kalau Dimitri adalah sosok pria tampan.

Ya, memang. Tidak ada kebohongan sama sekali. Mereka tidak mengangkat tangan, bukan karena alasan bahwa Dimitri adalah Bos besar di sana—mungkin itu juga alasannya—tapi karena memang pria itu punya paras dan tubuh bak patung Yunani.

Patung yang dipahat dengan sangat perlahan dan dengan penuh perasaan di setiap sentuhannya. Dimitri benar-benar seperti karya masterpiece dari seorang pematung paling ulung di dunia. Banyak yang menduga, kalau saat Tuhan menciptakan Dimitiri, Dia pasti sedang dalam suasana hati yang luar biasa bagus. Sampai tercipta manusia dengan rupa hampir tanpa celah.

"Lihat, kan?!"

Mata Dimitri terpejam saat Mamanya menyentak keras kembali, "Ma, cukup!"

"Gak ada yang bilang kamu jelek. Kamu ganteng begini. Masa, iya, diumur tiga puluh dua masih melajang? Kamu tahu, kan, rumor tentang kamu? Katanya kamu gay, penyuka sesama jenis, sampai ada yang mengira kamu hanya mau nikahin kucing, karena alih-alih nikah dan punya anak, kamu malah milih pelihara enam kucing di rumah."

"Mama!" teriak Dimitri kencang kemudian, langsung membuat Mamanya diam dengan wajah terperangah.

"Mana... mana pacar kamu yang katanya mau dikenalin sama Mama? Mana!" teriak sang Mama tidak mau mengalah.

Sudah habis kesabaran Marissa. Putra satu-satunya yang ia punya, selalu menunda pernikahan diumurnya yang sudah terlalu matang. Bahkan kedua adik perempuannya sudah menikah sekarang.

"Mama gak bisa bersabar lagi, Dimtri. Kamu selalu ulur-ulur waktu! Menghindar. Bahkan gak pulang ke rumah kamu setiap Mama berkunjung," beber Marissa kesal, "Makanya Mama gak peduli meski kini kamu kehilangan muka di depan karyawan kamu sekarang."

"Aku bakal perkenalkan pacar aku ke Mama. Secepatnya," ujar Dimitri pelan dengan wajah memerah. Sudah malu bukan kepalang dia. Pasti setelah ini, karyawannya akan berdesas-desus tentang keributan di dalam sini.

"Kamu pikir Mama orang bodoh, ya?" tanya Marissa dengan kening mengerut jelas. Wajahnya kemudian kembali terarah pada semua peserta rapat yang tidak berani mengangkat wajah mereka, "Di sini, ada yang pernah lihat Dimitri gandeng cewek? Atau ada yang kenal pacaranya Dimitri?"

"Mama jangan kayak begitu, dong!" pinta Dimitri memohon.

Di tempatnya, Syifa termenung dalam diam. Teringat kembali mimpinya belum lama tadi. Masalahnya, itu bukanlah benar-benar sebuah mimpi. Itu adalah ingatan dari apa yang ia dengar semalam dari seorang dukun yang benar-benar ia datangi. Mimpi tadi, adalah kejadian nyata.

Saking takutnya dia karena ancaman jiwa raganya yang bisa dihisap oleh Jin, sampai terbawa ke dalam mimpi.

Dua minggu... bukanlah waktu lama, kan? Dia mungkin akan benar-benar mati kalau tidak kawin buru-buru.

Kemudian, entah keberanian yang datang dari mana, Syifa mengangkat tangannya dengan ekspresi wajah tidak menampakkan keraguan sama sekali. Tampak teguh.

"Kamu pernah lihat?" tunjuk Marissa cepat ke arah Syifa.

"Saya," ujar Syifa sambil tersenyum, "Saya pacarnya Bos Dimitri."