Nana membaca buku yang bisa dia temukan dalam perpustakaan mansion. Perpustakaan itu bisa dikatakan lumayan lengkap. Tsai Lun, penemu kertas dari penyulingan batang bambu pada tahun 101 Masehi berkontribusi besar bagi dunia. Sambil membaca jurnal yang ditulis oleh orang-orang, gadis remaja menikmati manisan yang dibelikan oleh Azazel.
Nana berada di perpustakaan hingga petang tiba. Dia kehilangan sosok Azazel semenjak pulang ke mansion. Sang Iblis berkata kalau dia akan pergi ke Gedung Walikota untuk meminta profil atas beberapa pelayan. Mungkin dia akan pulang setelah malam tiba. Tidak ada orang di mansion selain Nana sendiri.
Nana meletakkan buku kesekian yang dibacanya kembali ke tempatnya. Sebelum malam tiba, dia harus menyalakan lampu-lampu pijar, obor-obor, dan lilin-lilin yang ada di mansion. Biasanya hal itu dilakukan oleh Azazel menggunakan kekuatan magisnya.
Aku tidak punya pilihan lain, kan? pikir Nana.
Nana mengeluarkan korek api dari dalam laci meja di perpustakaan. Dia mulai menyalakan lilin di meja, kemudian lampu pijar atau obor yang tergantung di dinding mansion. Dia membawa satu lilin yang sudah menyala sebagai sumber penerangan. Dia hanya berharap satu hal: Tidak ada makhluk aneh yang akan membuatnya kaget di dalam gelapnya mansion yang tidak berpenghuni tersebut. Tentu saja Azazel adalah pengecualian.
Seharusnya aku ikut dengan Tuan Iblis ke Gedung Walikota saja ..., keluh Nana. Sejauh itu, dia belum melihat sesuatu yang mengerikan atau makhluk-makhluk tak kasat mata. Mungkin karena Azazel ada di sisinya. Namun petang itu berbeda.
Nana berulang kali menghela napas untuk menyingkirkan kegugupannya. Ada kalanya dia tiba-tiba saja merinding, kemudian dia pun melirik ke sana-sini, tapi dia tidak menemukan apa pun. Gadis remaja itu sedikit lega.
Nana melanjutkan menyalakan lampu pijar atau obor dari satu lorong ke lorong lainnya, dari satu ruangan ke ruangan lainnnya. Saat melewati pintu mansion, dia bisa mendengar suara kereta kuda yang berhenti. Dia mengintip dari balik jendela kaca dan menemukan kalau Azazel dan Eduardo telah kembali.
Nana membukakan pintu untuk Azazel. Iblis itu tidak mengatakan apa pun dan segera masuk ke dalam.
Dasar makhluk berhati baja, pikir Nana.
Azazel bisa mendengarnya, tapi dia tidak peduli.
Nana berjalan mendahului Azazel dan menaiki tangga menuju lantai dua. Baik lampu pijar, obor, dan lilin sudah menyala. Azazel yang menyalakan semuanya.
Nana masuk ke dalam kamar di sebelah kamar utama. Dia sudah memutuskan untuk tidak satu kamar dengan Azazel. Satu atap rumah dengannya sudah cukup, tidak perlu ada tambahan.
Namun dengan seenak jidat, Azazel malah masuk ke dalam kamar yang sama dengan Nana. Si gadis remaja langsung memanyunkan bibir dan menggerutu, "Kenapa kamu masuk ke dalam kamar ini? Bukannya kamar utama ada di sebelah sana?"
Nana menunjuk ke arah dinding—maksudnya adalah ruangan di balik dinding tersebut. Dia tidak begitu senang karena Azazel melakukan hal yang tidak terlalu disukainya. Dia saja melarang Mama untuk masuk ke kamar tanpa izin, tentu saja dia tidak akan suka jika itu adalah orang lain yang 'tidak dikenalnya'.
Azazel diam saja dan merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang size-nya lebih kecil dibandingkan dengan size ranjang yang ada di kamar utama. Dia memasang tampang tidak berdosa.
"Dasar mesum! Apakah kamu akan terus memandangi seperti itu pada seorang perempuan yang ingin mengganti busananya?!" pekik Nana.
Tiba-tiba saja Azazel sudah berada di hadapannya. "Ingin ku bantu melepas busana yang sedang kau pakai, Mademoiselle?" godanya.
Sebuah tamparan mendarat di pipi Azazel. Wajah Nana merah padam menahan malu dan marah. Gadis remaja itu segera pergi dari sana.
"Aku benci Azazel!" Azazel bisa mendengar teriakan Nana yang berjalan di sepanjang lorong lantai dua. Mungkin untuk pergi ke kamar mandi. Dia mengikuti Nana tanpa disadari oleh si gadis remaja.
Memang benar, Nana akan pergi ke dalam kamar mandi. Azazel menggunakan kekuatannya untuk menyediakan air panas yang dipenuhi oleh citrus untuk Nana. Dia bisa mendengar Nana bergumam, "Apa sih yang dipikirkan oleh Tuan Iblis?"
Entahlah? Apa yang sedang aku pikirkan? batin Azazel.
Satu jam berlalu dan Nana akhirnya keluar dari dalam kamar mandi. Dia menemukan Azazel yang menyenderkan punggungnya ke dinding, melipat kedua tangannya di depan dada, dan memejamkan matanya. Si gadis remaja memilih untuk berpura-pura tidak melihatnya.
Sayang sekali, Azazel yang menyadari kehadiran Nana karena indera penciumannya yang menangkap bau citrus pun segera mengangkat Nana ala bridal style. Netra semerah darah menatap wajah polos yang ada di hadapannya.
Nana yang kaget mematung selama beberapa saat, kemudian menggembungkan pipi tanda sebentar lagi dia akan mengamuk jika Azazel tidak segera menurunkannya.
Hal yang dilakukan oleh Azazel benar-benar di luar akal sehat Nana. Sang Iblis mencium gadis remaja itu dengan lembut. Rasanya sangat berbeda dari ciuman pertama mereka saat berada di dalam kereta. Entah apa yang merasuki Nana dan membuatnya mabuk kepayang akibat ciuman Azazel.
Azazel melepas ciuman mereka dan menatap lekat wajah Nana yang sudah semerah kepiting rebus. Bagaimana pun, Aegeana Lidya tetap seorang wanita ya? pikirnya.
Nana memalingkan wajahnya ke arah lain dan menutupinya menggunakan kedua telapak tangannya. Dia tidak ingin Azazel melihat bagaimana mabuk dan malunya dirinya. Namun Sang Iblis sudah melihatnya.
Gemuruh terdengar di atas atap mansion, memberikan sebuah pertanda bahwa hujan sebentar lagi akan turun.
Azazel membawa Nana ke kamar utama tanpa memperdulikan kemarahan gadis itu. Yang ada dalam pikirannya hanyalah dia ingin menikmati Nana, membuat gadis remaja mabuk hingga benar-benar menginginkannya. Azazel menidurkan Nana di atas ranjang.
Apa yang terjadi padaku? Seharusnya aku mendorongnya ... seharusnya aku mendorong Azazel ... aku harus mendorongnya ..., pikir Nana.
Jantung Nana berdebar kencang. Sudah lama sekali dia tidak merasakan perasaan yang begitu mendebarkan. Cinta? Ya, perasaan semacam itu. Dia sampai mengira bahwa hatinya sudah mati bersama dengan penolakan dari cinta pertamanya. Namun tidak disangka kalau sedikit godaan dari Azazel mampu meruntuhkan benteng pertahanan yang susah-payah dibangunnya dan membangkitkan gelora semangat yang menggebu-gebu. Dia mengira dirinya sudah berada di awal kegilaan yang tak bisa dia hentikan.
"Ajari aku, Nana," bisik Azazel. "Ajari aku bagaimana rasanya hal yang disebut 'cinta'."
Bahkan Azazel pun kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Dia menciumi kening Nana, beralih ke pipi, hidung, kemudian ke bibirnya. Mereka berciuman hingga Azazel puas. Ciuman itu turun ke leher. Azazel bisa mendengar Nana mengerang pelan. Itu memacu nafsunya.
Ciuman di leher berubah menjadi isapan dan gigitan kecil. Nana ingin menghentikan semua aktivitas gila itu, tapi seolah-olah energinya sudah tersedot. Bahkan untuk mengatakan kata 'jangan' saja dia tak mampu.
Jika saja petir tidak menyambar, Azazel tidak akan sadar dengan apa yang sudah dilakukannya terhadap Nana. Gadis remaja pun tidak akan bisa lepas dari cengkeraman sang Iblis.
Azazel terduduk di tepian ranjang. Meskipun jantungnya tidak berdebar karena keadaannya yang 'mati', tapi dia bisa merasakan sesuatu yang aneh.
Azazel bisa mendengar dengan jelas napas Nana yang tidak beraturan. Kemudian, hujan pun turun.