"Nana ... Nana ... Nana, anakku, ayo buka matamu ...." Nana membuka matanya perlahan. Pandangannya buram. Dia mengucek matanya. Segalanya menjadi jelas. Dia terhenyak karena berada di tempat yang tidak bisa dia deskripsikan. Dia menatap sekeliling.
"Nana ... kamu sudah sadar?" Nana melihat ke segala arah, tapi tidak menemukan keberadaan siapa pun sama sekali. Dia mulai mengira kalau dirinya berhalusinasi.
"Siapa yang berbicara?! Siapa kamu?" tanya Nana melirik ke sana-sini. Kemudian, tatapannya berhenti di sebuah titik dimana dia bisa melihat sebuah garis cahaya yang perlahan-lahan menampakkan wujud seseorang tanpa wajah dan bersayap putih.
Seorang Malaikat? Tidak. Tidak mungkin! pikir Nana. Dia memejamkan mata erat dan memegangi kepalanya yang sakit. Semua kejadian yang mengerikan terlintas kembali di dalam kepalanya. Napasnya terengah-engah. Pupil matanya mengecil karena ketakutan.
"Aegeana Lidya, tenang!" seru Malaikat.
Nana mendongak menatap Malaikat. Dia mengembuskan napas perlahan. Dia mulai tenang. Namun masih belum bisa menerima kenyataan bahwa dia sudah meninggal dunia di umurnya yang sangat muda, di umurnya yang baru akan beranjak delapan belas tahun. Dia tidak tenang dengan keadaan Mama.
"Tenang saja. Kamu ingat kalau kamu memiliki asuransi atas namamu sendiri kan? Mama tidak akan terbebani," kata Malaikat.
"Lalu, ini dimana?" tanya Nana. Walau sudah beberapa kali menatap sekeliling, dia masih tidak tahu dimana dia berada. Tempat itu sangat aneh. Tidak ada apa pun di sana selain lantai yang terbuat dari awan, yang pastinya tidak akan ada ujungnya.
"Selamat datang di Balai Penghakiman Surga dan Neraka!" seru Malaikat dengan nada ceria, yang menurut Nana terdengar menakutkan.
Nana menganga menatap Malaikat. A- a- apa?! Ini adalah Balai Penghakiman Surga dan Neraka katanya?! serunya dalam hati tidak percaya.
"Baiklah. Mari kita timbang pahala dan dosa yang kamu miliki." Setelah Malaikat berkata demikian, sebuah timbangan emas raksasa jatuh dari atas ke bawah dan hampir mengenai Nana, jika saja dia tidak berdiri dan menghindar. Untungnya, itu tidak terjadi.
"Tidak bisakah kamu berhati-hati dengan dengan diriku, Abuelo?!" seru Nana yang mengintip dari balik timbangan emas raksasa.
"Lagipula kamu tidak akan mati walau digeprek oleh timbangan raksasa itu, Nana. Kamu tidak perlu khawatir. Kamu tidak akan merasakan sakit ataupun kematian saat kamu berada di sini. Selain itu, jangan panggil aku Abuelo. Sungguh tidak sopan mengatakan hal itu kepada Hakim!" Malaikat terkikik puas karena berhasil mempermainkan Nana. Namun gadis remaja itu sangat tenang.
"Tolong naik ke atas timbangan," pinta Malaikat.
Salah satu sisi timbangan tiba-tiba saja turun. Nana mau tidak mau harus naik ke atasnya. Dia sedikit takut ketika terangkat ke atas. Sepertinya dosaku lebih banyak dibandingkan pahalaku, pikirnya ketika timbangan berayun-ayun cepat.
"Kapan ini akan berhenti?" Nana mengeluh karena timbangan tidak berhenti berayun. Dia mengalami gejala mual dan pusing tiba-tiba.
Tepat saat itu, timbangan pun berhenti. Malaikat menganggukkan kepala berulang kali sambil melihat sebuah gulungan aneh yang diyakini Nana sebagai gulungan pengumuman ala film-film lawas Kerajaan yang ditontonnya.
Sisi timbangan yang mengangkat Nana turun perlahan. Dia segera melompat dari benda raksasa aneh itu dan menghela napas lega.
"Menurutmu, dunia seperti apa yang akan kamu masuki? Surga? Atau, Neraka?" tanya Malaikat.
"Aku akan menjadi Roh Penasaran yang mengelilingi dunia karena kecelakaan itu," jawab Nana dengan amat meyakinkan. "Selain itu, jika bertanya tentang Surga dan Neraka. Tidak ada manusia yang 'amat suci' hingga bisa memasuki Surga. Jadi, aku memilih untuk menjawab aku akan masuk ke Neraka."
Karena tidak ada wajah, Nana kesulitan membaca ekspresi Malaikat. Namun dia juga tidak ingin tahu ekspresi apa yang sedang ditampakkan oleh Makhluk Suci itu. Dia hanya ingin penghakiman atas dirinya cepat berakhir.
Malaikat tertawa keras hingga membuat Nana menyerngitkan dahi kebingungan.
"Menarik! Menarik sekali, Aegeana Lidya!" seru Malaikat.
Nana hanya menampakkan senyumannya seperti biasa. Dia tidak tertarik dengan apa yang akan diumumkan oleh Malaikat.
"Kamu tidak tertarik dengan penghakiman ini, Nana?" tanya Malaikat. Dia terdengar penasaran di telinga Nana. Namun dia hanya mendapatkan gelengan kepala tegas dari gadis remaja sebagai jawaban dari, "Tidak!".
"Bagaimana kalau begini saja, keluarlah Azazel!" seru Malaikat.
Saat mendengar nama Azazel, Nana menghela napas. Dia menganggap dirinya berhalusinasi. Apa lagi yang dimaksud dengan Azazel? Bukankah itu nama salah satu Iblis di dalam mitologi? pikirnya.
Seorang pria dengan wajah bak ketampanan Dewa melesat di langit menggunakan sayap hitamnya dan turun. Dia di sebelah Malaikat. Rambutnya hitam legam dengan manik mata merah menyala, khas Iblis seperti di cerita-cerita yang pernah dibaca maupun ilustrasi-ilustrasi yang pernah dilihat oleh Nana.
"Kamu tahu siapa dia, bukan?" tanya Malaikat.
Nana menghela napas panjang dan menjawab, "Kamu baru saja menyebutkan namanya, Malaikat. Lagipula, aku tidak pernah menganggap hal seperti ini adalah nyata, walau aku bisa melihat makhluk-makhluk tak kasat mata."
Azazel menatap ke dalam mata Nana. Gadis remaja tidak menghindari tatapan Iblis sama sekali dengan senyuman yang masih sama terukir jelas di wajahnya. Netra coklat gelap milik Nana menghipnotis Azazel untuk berjalan mendekat ke arahnya.
"Jadi, Malaikat, apa kesimpulan yang kudapat?" Nana bertanya karena tidak mengerti akan situasi yang sedang dia hadapi. Dia hanya berpikiran kalau Azazel ada di sana untuk menjemputnya ke Neraka.
"Jangan berpikiran buruk dulu, Nana. Aku ingin menawarkan kesempatan kepadamu untuk menjalani hidup kedua. Bagaimana?" Malaikat itu terdengar seperti menyembunyikan sesuatu dan Azazel sudah berdiri di samping Nana setegak prajurit.
Nana menarik napas dalam-dalam dan mengembuskan perlahan-lahan. Dia memejamkan mata sejenak untuk berpikir. Saat membuka mata, gadis remaja bertanya sambil melirik ke arah Azazel yang masih terpaku menatap dirinya, "Kamu tidak akan memberikan kehidupan kedua dengan mudah, kan, Malaikat? Itu sebabnya makhluk ini ada di sini."
"Kamu sangat sesuai dengan harapan, Aegeana Lidya! Benar! Aku ingin kamu menjalani kehidupan kedua dengan menemani Iblis ini menghapus dosa beratnya." Malaikat terlihat sangat senang karena Nana mengerti maksudnya.
Sebelum Nana sempat bertanya, Malaikat melanjutkan, "Kamu akan menjadi seorang pengumpul Books of Evil, atau yang populer disebut pengumpul Talisman bersama dengan Iblis hina ini!"
Nana menggelengkan kepala dan menepuk jidatnya pelan. "Makhluk hina yang sebenarnya adalah dia yang berani menghina makhluk lainnya. Dengan kata lain, kamu adalah makhluk yang lebih hina dari Iblis ini, Malaikat," katanya dengan berani.
"Ya, terserah saja." Malaikat menepis perkataan Nana bagai menepis seekor lalat, tapi berbeda dengan Azazel yang sedikit terkejut karena ternyata ada makhluk fana yang berani melawan seorang Malaikat.
"Intinya, kamu akan menjalani kehidupan kedua di Abad Pertengahan pada tahun 1200-an bersama dengan Azazel sebagai seorang pengumpul Talisman. Kamu tentu tahu apa arti dari kedua kata yang ku ucapkan. Maknanya kamu juga pastinya sudah tahu. Selain itu, kamu juga tahu kalau di Abad Pertengahan banyak Talisman yang beredar di bumi. Itu adalah pekerjaanmu untuk mengumpulkan mereka semua. Talisman berarti bisa memanggil makhluk. Jika ada makhluk yang keluar dari Talisman, Azazel yang akan mengurusnya. Talisman yang terkumpul bisa disimpan dalam ruang hampa milik Azazel. Mudah bukan?"