webnovel

3.Permintaan Menikah

"Saya berencana membuat kalian saling mengenal satu sama lain dan siapa tau kalian berjodoh. "

Pernyataan Pak Candra membuat Rania tertunduk dan Alan melempar pandangan ke arah luar. Cukup lama mereka bertiga dalam keheningan, larut dalam pikiran masing-masing. Sampai Pak Candra beranjak dari tempat duduknya.

"Mungkin lebih baik saya tinggalkan kalian berdua, sekiranya dari kalian ada yang akan menyampaikan sesuatu. Ayah tinggal ya Al, " sambil menepuk pundak sang anak. Dan mengangguk sopan pada Rania.

"Silakan berbincang dengan Alan dulu ya Ran, " pamit Pak Candra.

Alan hanya menatap kepergian Ayahnya dari ruang tamu menuju ke dalam. Sedangkan Rania tersenyum hambar. Dalam hati Rania banyak berlalu lalang kemungkinan-kemungkinan yang mungkin akan terjadi. Dan sebisanya Rania mencoba untuk tetap tenang.

Pak Candra mengira dengan tidak ada dirinya di antara Alan dan Rania akan ada sesuatu yang terjadi, paling tidak mereka ngobrol atau bercanda. Tapi yang terjadi masih sama. Mereka berdua masih asik sendiri dengan pikiran masing-masing. Sampai-sampai Pak Candra merasa gemas sendiri. Saat ini Pak Candra berada di balik dinding yang memisahkan ruang makan dan ruang tamu. Dirinya berniat menguping pembicaraan keduanya, tapi masih zonk.

Sepuluh menit, dua puluh menit,... Rania terus melihat jam di tangan kirinya.

"Setelah tiga puluh menit tidak ada pergerakan atau apapun, aku pulang..."batin Rania.

Alan tiba-tiba membuka suara setelah menit ke-27. Bukan hanya Alan, Rania juga merasakan hal yang sama yaitu bingung.

" Maaf ya Rania,saya tak pernah tau rencana Ayah untuk kita. Kemarin saya hanya diminta untuk datang ke sini, saya pikir Ayah hanya merindukan anaknya. Tapi ternyata ada hal lain yang Ayah saya inginkan tanpa memberi tau saya lebih dulu. Mungkin kamu tadi juga sempat mendengar perdebatan kami di samping rumah."

"Iya..., " ucapan Rania terjeda,dalam hatinya Rania bingung bagaimana cara memanggil anak dari bosnya ini. Sedang pandangan Alan menunjukkan rasa heran.

"Maksud saya iya Mas Alan,saya mengerti. Kita belum pernah bertemu sebelumnya, jadi saya juga merasa bingung,bahkan setelah mendengar Pak Candra dan Mas Alan tadi saya merasa ingin cepat keluar dari rumah ini. Tapi saya sendiri tidak tau bagaimana caranya... "

Mendadak ada desiran aneh saat Rania memanggilnya Mas, Alan terpaku dengan kata-kata Rania. Meski matanya tak melihat lawan bicara, tapi Alan memperhatikan setiap yang diucapkan perempuan di depannya.

Karena merasa tak ada tanggapan dari Alan dan terlihat Alan tak memperhatikannya sedikitpun, Rania bangkit dari duduknya.

"Mungkin sebaiknya saya pulang Mas, maaf sudah merepotkan dan salam buat Pak Candra ya Mas... "

Lagi-lagi Alan terlena dengan panggilan Mas dari Rania. Dirinya tersadar saat Rania sudah hampir sampai di pintu. Bergegas Alan menyusulnya. Dari dalam, Pak Candra tersenyum bahagia. Dirinya ikut melangkah juga untuk melihat Rania dan Alan di luar.

"Apa barangku ada yang tertinggal Mas? " tanya Rania dengan kening yang berkerut saat menyadari Alan mengikutinya.

"Ah tidak, " Alan bingung mencari alasan.

"Yaudah, aku pamit Mas. Assalamu'alaikum... "

"Walaikumsalam Rania, " jawab Alan.

"Ran, tunggu sebentar..., " Alan menahan stang motor yang sudah dinyalakan.

"Kenapa Mas? "

"Bolehkah saya tau nomor kamu? "

Mata Rania melotot, bulu lentiknya terlihat.

"Bukankah kita sekarang sudah jadi teman? "

Alan masuk ke rumah setelah mendapatkan nomor Rania. Pak Candra menyambutnya dengan senyum yang terkembang di bibirnya.

"Kenapa??!! " tanya Alan.

"Ternyata tingkahmu benar-benar mengejutkan anak muda, " puji Pak Candra.

"Apa benar Ayah melihat dan mengetahui semuanya? "

"Iya, tentu saja... Ayah hanya penasaran bagaimana anak Ayah memperlakukan seorang perempuan cantik?! "

"Hem... jangan terlalu berharap dengan hubungan ini.Apalagi menyangkutkan hal pribadi dengan pekerjaan,aku kasihan padanya," pesan Alan pada Ayahnya.

"Ayah tidak akan seperti itu, semuanya terserah kalian. Ayah hanya akan menegaskan kalau Rania benar-benar gadis yang baik, Ayah pikir dia cocok denganmu.Ayah juga merasa kamu akan jadi lebih baik bersamanya nanti."

Sudah sepuluh hari berlalu. Rania menjalankan aktivitas seperti biasanya.Pertemuannya dengan Alan sama sekali tak jadi masalah. Hanya sekarang nomor Rania sudah tersimpan diponsel Alan, begitu juga sebaliknya.Pak Candra pun tidak bertanya lebih jauh tentang itu.

Berbeda dengan Alan yang semakin hari semakin penasaran dengan Rania. Siapa sebenarnya gadis itu. Entah mengapa Alan merasa telah mengenalnya dengan baik, tapi di mana dan siapa? Rasa penasarannya hanya ia simpan sendiri, untuk ertanya pada Ayahnya Alan merasa malu. Menghubungi Rania lebih dulu, Alan juga merasa enggan. Gengsinya cukup tinggi.

Hingga di suatu siang di peternakan,Alan bertemu dengan Pak Wisnu yang terbiasa mengecek kiriman pakan dan kualitasnya. Biasanya Pak Wisnu datang tiga bulan sekali untuk pekerjaan dari pabriknya.

"Hai nak Alan, " sapanya.

"Iya... mari Pak, kita langsung ke gudang saja. Pak Wisnu sendirian? " tanya Alan.

"Seperti biasa, temanku menunggu di luar. Katanya tidak terbiasa dengan aroma kandang," jawabnya dengan tertawa.

"Bukannya kita akan ke gudang, bukannya ke kandang? " Alan ikut tertawa menanggapi ucapan Pak Wisnu.

Alan menemani Pak Wisnu hingga pekerjaan Pak Wisnu selesai. Sebelum pulang Pak Wisnu menyampaikan kalau Angga anaknya, saat ini berada di rumah karena akan melangsungkan pernikahan.

Sampai di rumah Alan masih terus memikirkan Angga, sahabatnya itu akan menikah. Kira-kira siapa perempuan yang akan menjadi istrinya, apakah Mai?Seorang gadis yang jadi rebutan Alan dan Angga waktu itu. Ya, Alan dan Angga sangat dekat, melakukan apapun berdua, pergi ke manapun berdua, makan berdua sampai mereka juga menyukai gadis yang sama. Sayangnya Mai pindah setelah lulus SMP. Alan tak pernah tau lagi kabar dari Mai hingga saat ini. Kenangan masa lalu membuat Alan terlelap.

Pagi menjelang, hari ini jadwal Alan libur ke peternakan. Alan akan mengunjungi rumah Angga. Dirinya terlalu penasaran dengan perempuan yang akan jadi istri sahabatnya. Setelah berpamitan dengan Eyang, Alan menghidupkan mesin motor sebelum pergi. Ibunya yang berada di rumah mengundang pertanyaan di hatinya. Alan hanya menatapnya sekilas, setelah itu Alan masuk ke kamar untuk mengambil tas.

"Tumben sekali Ibu di rumah, apa nanti tidak merasa rugi kalau ada pelanggan yang mencarinya di pasar? " batin Alan.

Ibunya Alan, Bu Dewi selalu mementingkan pasarnya daripada apapun. Alan masih ingat waktu Alan masih kecil dan jatuh dari sepeda, dirinya demam tinggi beberapa hari. Ibunya tetap ke pasar setiap hari meski pulangnya lebih awal dari biasanya. Eyang yang selalu ada untuk semua keluh kesahnya waktu itu. Mulai saat itu Alan tak pernah berharap lebih pada perempuan yang telah melahirkannya.

Perjalanan setengah jam mengantar Alan ke rumah bercat putih milik Angga, bangunannya masih sama sedari dulu. Sang pemilik rumah menyambut Alan dengan baik. Dulu sebelum Angga ke Surabaya untuk bekerja, Alan sering menyambangi rumah ini.

"Kenapa kamu tak memberitahu dulu kalau mau ke sini? " tanya Angga setelah mereka cukup lama ngobrol.

"Bagaimana caraku memberitahu, sedangkan nomormu sudah tidak aktif... "

"Iya juga ya, aku harap kamu bisa datang di pernikahanku sepuluh hari lagi, tepatnya hari Sabtu jam satu siang, " pesan Angga.

"Ngomong-ngomong, siapa gadis itu? Apakah Si-Mai atau perempuan lain? " selidik Alan.

"Sepertinya sebentar lagi kau akan tau, dia menuju kemari mau mengajakku pergi. Seharusnya memang kau memberiku kabar kalau mau ke sini. Aku merasa tak enak karena sudah lebih dulu ada janji dengannya. " Angga terlihat kecewa.

"Jangan seperti itu, bukankah waktu kita masih banyak selain hari ini. Lagian sekarang kita sudah saling bertukar nomor.