webnovel

-45-

Bima terdiam beberapa saat, lidahnya terasa kelu dan membuat dirinya tak menjawab pertanyaan Sinta.

"Itu adalah pertanyaan yang sulit untuk di jawab. Aku menjadi diriku yang baru begitu lama, dan rasanya diriku sangat totalitas di dalam berperan. Maksudku, aku memang seseorang yang pendiam, tapi walaupun diriku menjadi seseorang yang kejam sekalipun, tak bisa mengubah fakta di mana keunggulan fisik adalah sesuatu yang bisa mengalahkan semuanya. Mereka tak peduli dengan sifatku yang angkuh dan dingin, sehingga aku lebih berusaha untuk lebih angkuh dan dingin dari sebelumnya. Rasanya memang ini adalah dampak yang seharusnya aku dapatkan. Aku muak dengan semua orang yang mementingkan keunggulan fisik atau keelokan paras, aku hanya tak mau menjadi seseorang yang dipandang hanya mengandalkan hal itu saja tanpa memiliki kemampuan untuk bertahan hidup. Tapi yang terjadi, aku harus bertahan hidup dari orang-orang yang mengagung-agungkan paras."

"Mengubah sesuatu yang sudah begitu lama berakar kuat di pikiran banyak orang bukanlah sesuatu yang mudah untuk dilakukan. Setangguh apapun dirimu jika memang mereka tak mau sadar dan berubah, usahamu akan sia-sia. Tapi, tak masalah jika kau tak percaya dengan mereka, kau hanya harus percaya pada dirimu sendiri. Kau punya kesempatan yang sama seperti yang lainnya, yakni kebebasan di dalam mengekspresikan dirimu. Jangan karena kau mau mengubah orang lain, kau jadi kehilangan dirimu sendiri." Sungguh, ucapan Sinta begitu menampar telak wajah Bima.

"Kau benar. Tak seharusnya aku bertindak terlalu jauh sampai kehilangan diriku sendiri." Kata Bima dengan pandangan matanya yang jauh menerawang.

"Oh, ya. Aku lupa hendak memberimu sesuatu." Kata Bima secara tiba-tiba.

"Apa?" Terlihat Bima merogoh kantung di celana kain yang dirinya pakai. Di tangannya, kini terdapat sebuah kalung berwarna silver dengan liontin berbentuk kepala rusa lengkap dengan tanduknya. Kalung tersebut terkait pada kedua ujung tanduk rusa, yang di beberapa titik tanduk tersebut ada bunga-bunga kecil berwarna biru.

Sinta menatap ke arah kalung tersebut dengan ekspresi senang, "Untukku?" Tanya Sinta dan Bima mengangguk.

"Mau aku pakaikan?"

"Ya." Bima berdiri dari tempat duduknya guna memasangkan kalung pemberiannya itu di leher Sinta.

"Soal Zizi, terima kasih telah membuatnya merasakan sakit di pipi sebelah kanannya." Kata Bima ketika memasangkan kalung di leher Sinta. Sinta sedikit menoleh ke belakang, "Bagaimana kau tahu itu?"

"Tentu saja aku tahu. Aku tahu segala hal tentangmu, bahkan sesuatu yang tak kau ketahui." Kata Bima dengan percaya diri ketika kembali duduk.

Sinta tertawa mendengar perkataan Bima sebelum berkata, "Baiklah, aku setuju saja. Ngomong-ngomong, kalung ini sangat indah. Terima kasih." Kata Sinta sambil melihat ke arah liontin kalung yang ia kenakan. Ia berkata dengan senyuman yang begitu lebar.

"Ya, sama-sama."

"Aku juga lupa untuk memberitahumu sesuatu." Bima mengerutkan dahinya ketika dirinya telah kembali duduk di posisi semula.

"Apa?"

"Kemarin kau memperingatkanku untuk tak memberitahu kedua sahabatku tentang kejadian itu. Tapi, aku memberitahu mereka." Terlihat Bima menatap Sinta dengan tatapan yang serius. Sinta pun melanjutkan, "Tapi, aku sudah meyakinkan Saka untuk tidak datang kemari. Setidaknya itu yang aku pikirkan."

"Kenapa kau bercerita?"

"Aku sudah terbiasa bercerita dengan mereka. Malam itu, Ruri bercerita tentang Banu. Aku yang begitu terbawa suasana pun ikut bercerita. Ketika sampai di tengah cerita, aku baru ingat tentang peringatanmu."

"Sebenarnya tak masalah kau menceritakan hal itu kepada sahabatmu, hal itu terserah padamu. Hanya saja, bagaimana jika Saka memutuskan untuk pulang?"

"Aku tak tahu soal itu, karena saat Saka sudah mengambil keputusan, akan sulit bagi kami untuk melarangnya."

"Dia adalah mantan kekasihmu, yang sekaligus sahabatmu. Tentu dia tak akan tinggal diam saat tahu dirimu sedang tidak baik-baik saja." Mendengar nada bicara Bima yang berubah, Sinta tersenyum ke arahnya dan berkata, "Tak perlu khawatir soal Saka."

Bima memandang Sinta, "Aku tak khawatir soal Saka, tapi perihal dirimu."

"Kenapa kau khawatir? Dia adalah sahabatku."

"Justru karena dia adalah sahabatmu. Kau ingat jika aku pernah berkata tentang kau yang terlalu mudah mempercayai orang lain?"

"Tentu saja."

"Aku akui jika diriku sangat sulit percaya kepada orang lain dan terlalu waspada, tapi menurutku, terlalu mudah percaya itu sungguh tindakan yang berbahaya." Sinta mengerutkan kening ketika mendengar ucapan Bima, ia bertanya, "Apa maksudmu?"

"Aku tahu jika Saka adalah sahabatmu, tapi apakah kau bisa mempercayainya sepenuhnya?"

"Tentu saja, aku mengenal dirinya sejak lama. Dia adalah sahabat yang baik."

"Kau sendiri yang bilang jika tak semua orang jahat sepenuhnya jahat, begitupun orang baik. Itu tandanya, kita boleh mempercayai orang lain, tapi jangan sampai kita tidak waspada hanya karena dia telah menjadi sahabat kita sejak lama. Percayalah padaku, jangan terlalu dekat dengan Saka." Sinta tertawa mendengar perkataan Bima, "Mas, kau hanya tak suka jika Saka terlalu dekat denganku. Tenang saja, hubungan kita tak lebih dari seorang sahabat."

Setelah percakapan itu, mereka berpamitan pulang. Sudah hampir tengah hari saat ini. Sinta berpamitan kepada keluarga Bima sebelum dirinya pulang. Namun, hal itu tentu bukan menjadi hal yang mudah. Perlu waktu untuk keluarga Bima mengobrol dengan Sinta dan tak lupa mereka saling berfoto satu sama lain. Bima yang tahu hal itu pun hanya pasrah ketika dirinya ditarik untuk mengikuti sesi foto bersama keluarganya atau hanya foto berdua dengan Sinta.

"Jadi, kapan kalian mau menyusul?" Tanya seorang wanita yang merupakan ibu dari mempelai wanita.

"Masih lama, Tante. Lagipula usia kami juga masih muda," Balas Bima.

"Usia memang masih muda, tapi dunia sudah tua, Mas." Sahut Sinta yang membuat semua orang tertawa.

Setelah itu, Bima mengantar Sinta pulang menuju rumahnya. Ketika sampai di rumah Sinta, Bima mengerutkan dahinya karena melihat motor seseorang yang tak asing terparkir di halaman depan rumah Sinta.

"Lho, ini kan motor Saka!" Seru Sinta ketika melihat motor terparkir di halaman rumahnya.

Saat motor Bima terparkir, Sinta segera turun dari motor Bima. Dirinya langsung mengamati motor yang sudah lebih dulu terparkir di halaman rumahnya. Bunda dan Ayah yang tahu jika anak mereka dan juga Bima telah pulang pun menghampiri mereka.

"Bunda, ada Saka di dalam?"

"Iya, ada Ruri juga. Ayo masuk dulu, Bima."

"Iya, Tante." Bima mendatangi kedua orang tua Sinta guna bersalaman. Mereka semua pun masuk menuju rumah.

Ketika mereka masuk, ada Saka dan Ruri yang sedang berada di ruang tengah. Saka terlihat mengeluarkan cengirannya ke arah Sinta.

"Ngapain kamu di sini!" Sinta berkata dengan nada galak ke arah Saka, yang dibalas dengan terkekeh kecil oleh Saka.

Ruri yang tahu jika dirinya akan dimarahi oleh Sinta pun berkata, "Tunggu dulu, aku juga tak tahu jika Saka akan pulang. Dia baru meneleponku ketika dia sudah sampai di rumahnya dan akan pergi ke rumahmu."

Sinta yang sebelumnya hendak marah kepada Ruri pun beralih menatap Saka. Bunda yang tahu jika anaknya itu akan marah-marah, berkata, "Sudah, sudah. Ada Bima juga di sini. Kalian justru mau bertengkar." Sinta pun mengurungkan niatnya.

"Halo, Mas Bim." Sapa Saka yang hanya dibalas anggukkan singkat oleh Bima.

Saat ini Bima menatap kedua sahabat Sinta, khususnya Saka dengan tatapan tajam. Setelah itu, dirinya menatap Ruri dengan ada maksud yang tersirat. Ruri yang menyadari hal itu pun mencoba untuk mengubah fokus Bima.

"Bagaimana acaranya? Lancar?" Mendengar pertanyaan Ruri, Sinta pun dengan semangat bercerita.

Saat ini mereka telah duduk di kursi yang ada di ruang tengah keluarga Sinta. Sinta yang semangat bercerita itu menghabiskan banyak menit di dalam bercerita.

"Ah, pokoknya sungguh menakjubkan hari ini. Tapi sayangnya Saka merusaknya dengan datang kemari. Hari senin kamu ada jadwal kuliah, Sa. Jika kamu baru saja datang, lalu bagaimana kuliahmu itu?" Omel Sinta.

"Aku masih punya jatah bolos, jadi tenang saja."

"Tenang saja, tenang saja! Kau tentu tahu masalahnya bukan itu, kau datang dari Jawa Tengah kemari menggunakan motor!"

"Iya, aku tahu. Tapi, aku baik-baik saja. Lihat, aku baik." Tiba-tiba Bima bangkit dari duduknya, "Om, Tante, Bima pamit pulang dulu."

"Lho, kok pergi, Mas?" Tanya Sinta.

"Aku harus kembali ke rumah sepupuku." Setelah itu, Bima pamit pergi. Sinta yang tahu jika kepergian Bima bukan hal yang wajar pun merasa jika dirinya terlalu mengabaikan kehadirannya dan lebih banyak berdebat dengan Saka.

"Kalian lanjut mengobrol saja di kamar." Kata Bunda ketika menyadari muka murung milik anaknya itu ketika Bima pergi. Sinta, Ruri, dan Saka pun berjalan menuju kamar Sinta di lantai dua.

"Kenapa kamu murung seperti itu?" Tanya Ruri kepada Sinta ketika mereka telah sampai di kamar Sinta.

"Tidak, tidak apa-apa." Sinta pun pamit kepada kedua sahabatnya untuk mengganti pakaiannya terlebih dulu di kamar mandi.

Beberapa menit setelahnya, Sinta telah kembali dan melihat Saka serta Ruri sedang asyik mengobrol. Ketika sadar akan telah kembalinya Sinta, Saka berkata, "Ta, boleh aku melihat-lihat buku puisimu?"

"Boleh. Sebentar." Sinta mengambil buku biru miliknya dan menyerahkan buku tersebut pada Saka. Saka pun segera menerima buku tersebut dan membaca isinya.

"Oh, ya, ngomong-ngomong. Tadi Kak Bima memberiku kalung yang sangat cantik." Sinta tiba-tiba berkata yang membuat Ruri mengurungkan niatnya untuk bertanya perihal puisi yang dikirim orang seseorang misterius.

"Kalung apa?" Tanya Saka yang menghentikan kegiatannya membaca puisi Sinta.

"Ini." Sinta mengambil liontin kalung di balik kaus yang saat ini ia kenakan. Telapak tangannya ia gunakan untuk memegang liontin kalung tersebut.

"Wah, bagus sekali!" Seru Ruri dan dirinya mendekat ke tempat di mana Sinta berdiri.

Ruri mengagumi desain dari liontin kalung Sinta. Ia tak henti-hentinya memuji kalung pemberian Bima itu.

"Kapan dia memberimu kalung ini?" Tanya Ruri.

"Tadi, ketika kami berada di acara pernikahan sepupu Mas Bima."

"Wow, bahkan sekarang dia telah berani memberimu sebuah barang." Seru Saka dengan takjub.

"Aku sangat suka dengan kalung ini." Kata Sinta sambil tertawa.

Ketika mereka masih membicarakan perihal kalung pemberian Bima, terdengar suara Bunda berteriak.

"Minum kalian tidak kalian bawa?"

"Oh iya."

"Aku lupa." Kata Saka dan Ruri bersamaan.

"Aku ambilkan saja." Kata Sinta.

"Tidak, aku yang akan mengambilnya sendiri." Ruri berjalan keluar kamar Sinta dan mengambil minuman miliknya serta Saka.

Ketika Ruri pergi, Saka berbicara kepada Sinta, "Aku numpang ke kamar mandi, ya."

"Ya." Saka pun melepas jaket yang sedari tadi ia pakai dan menaruhnya di sofa sebelum masuk ke kamar mandi yang ada di kamar Sinta.

Saat Saka masuk ke kamar mandi, Sinta mengamati jaket Saka yang di dalam sakunya ada sesuatu yang menyembul dari sana. Sinta melihat sesuatu ini adalah hal yang tak asing, sebab terlihat seperti sebuah kertas. Ia yang terlalu sering mendapat sebuah kertas di sebuah amplop yang berisi puisi dari seseorang misterius pun berdiri dan mengambil kertas yang ada di saku jaket Saka. Dan benar saja. Ketika Sinta mengambilnya, sudah tak salah lagi jika kertas itu berisi puisi yang biasanya dia dapatkan. Tak ada amplop, hanya kertas berisi puisi.

Sinta cepat-cepat mengembalikan kertas itu ke tempat semula ketika mendengar suara langkah kaki Ruri. Kertas telah kembali ke tempat semula, jaket Saka juga tak berpindah posisi. Sinta berpura-pura melakukan hal lain ketika Ruri masuk ke kamarnya sambil memikirkan soal kertas puisi di saku jaket Saka itu.

"Lho, Saka mana?" Tanya Ruri.

"Ke kamar mandi."

"Oh." Beberapa menit setelahnya, Saka keluar dari kamar mandi.

Sinta berpikir soal puisi yang ada di saku jaket Saka. Dia tak mau beropini jika puisi tersebut adalah milik Saka, karena saat ia mengira jika Prada adalah orang yang selama ini mengirim puisi kepadanya, itu merupakan kesalahan. Dia pun melihat pola yang ada. Selama ini puisi itu dikirim oleh tukang pos, ojek online, Ara dan Fanya, serta Prada. Kebanyakan puisi dikirim oleh jasa orang lain, tak seperti Ara dan Fanya yang hanya beberapa kali menjadi pengantar puisi. Apalagi Prada, dia hanya pernah satu kali.

Sinta, Ruri, dan Saka kembali mengobrol dengan Saka yang secara serius membaca puisi Sinta. Sedangkan Sinta, dirinya masih memikirkan hal lain. Jika memang Saka sama seperti Ara, Fanya, dan Prada yang tak lain hanya sebagai pengantar puisi, lalu kenapa tak ada amplop yang biasa membungkus kertas puisi itu? Sinta pun pada akhirnya mencoba satu cara untuk memancing Saka berbicara. Cara tersebut Sinta harap bisa mengungkap apakah Saka hanya sebatas pengantar atau justru dialah sang penulis puisi?

"Kamu juga mau membaca puisi yang seseorang kirimkan kepadaku? Dia menulis puisi lebih indah dari puisi yang kutulis." Tawar Sinta.

"Boleh?" Tanya Saka.

"Tentu saja."

Ruri yang mendengar hal itu pun berkata, "Ah, aku baru saja ingin bertanya hal tersebut."

Sinta mengeluarkan kumpulan kertas yang ia simpan di dalam salah satu laci di nakasnya. Sinta pun memberikannya kepada kedua sahabatnya dan mereka membacanya.

"Kamu belum tahu siapa pengirimnya?" Tanya Ruri.

"Belum." Sinta menjawab pertanyaan Ruri dengan mencoba melihat ekspresi wajah Saka. Saka saat ini diam saja tak menanggapi.

"Menurutmu siapa? Maksudku, apa kamu tak ada gambaran seseorang yang memberimu puisi ini?" Ruri kembali bertanya kepada Sinta.

"Tidak, aku tidak punya gambaran pasti akan hal itu. Aku hanya memiliki satu petunjuk, yakni gambar yang ada di setiap kertas puisi ini." Kata Sinta dengan menunjuk sebuah gambar di kertas puisi yang Ruri pegang.

Petunjuk tersebut adalah sebuah gambar seekor hewan. Seekor hewan singa yang tergambar wajahnya dari arah samping. Sinta berpikir, jika memang Saka adalah hanya sebagai pengantar, tentu dia akan memberikannya kertas puisi yang ada di saku jaketnya. Hal tersebut memungkinkan terjadi karena dirinya lupa tak memberikan kertas puisi itu kepadanya, namun meski mereka sudah membahas mengenai puisi, Saka tetap tidak memberikan kertas puisi itu kepada Sinta.

Dan jika Saka bukanlah si pengantar, hal itu berarti Saka adalah penulis puisi itu. Sinta terus mengeluarkan spekulasi di otaknya, jika memang Saka adalah penulis puisi tersebut, apa hubungan gambar pentunjuk dengan Saka? Apa hubungan Saka dengan singa?

Ketika Sinta memikirkan hal tersebut, ia diam sejenak karena dirinya menyadari sesuatu. Apa mungkin petunjuk di kertas puisi itu menunjukkan sebuah inisial nama Saka?

Ketika Sinta sibuk berpikir, Saka berkata setelah dirinya fokus membaca puisi Sinta maupun puisi dari seseorang misterius itu, "Jadi, sudah kau temukan Bimasena yang selama ini kau cari?" Pertanyaan Saka membuat Sinta tersenyum dan mengingat sosok Bima yang belakangan ini dekat dengannya.