webnovel

-40-

Sinta melihat ke arah kamarnya yang berantakan dan memutuskan untuk duduk di atas kasurnya. Ia menghela napas atas segala pakaian yang berpindah tempat itu. Pakaian yang tergeletak di atas kasur, di sofa, di gantungan depan lemari, di gagang pintu, atau di tempat-tempat manapun. Sinta secara sembarangan menggantung pakaiannya untuk melihat apakah pakaian itu akan sesuai ketika dirinya gunakan.

Bunda yang hendak memanggil Sinta untuk bersiap melakukan makan malam pun merasa terkejut ketika melihat banyak sekali pakaian yang keluar dari dalam lemari.

"Kenapa kamu keluarkan semua bajumu?" Tanya Bunda dengan bingung.

Sinta yang saat ini merasa lelah karena terlalu lama berkutat dengan pemilihan pakaian pun menghela napas sebelum menjawab pertanyaan Bunda, "Aku tak tahu jika mempersiapkan sebuah kencan akan serumit ini. Aku tak pernah melakukan ini sebelumnya, Bunda." Mendengar perkataan Sinta, Bunda langsung paham.

"Tunggu sebentar." Bunda membalikkan badan dan berlari menuruni tangga. Beberapa menit setelahnya Bunda kembali dan secara serius menatap satu per satu pakaian Sinta yang tak beraturan di mana tempatnya.

"Kamu akan pergi pukul berapa?"

"Mungkin pukul enam, Mas Bima bilang mau menjemput setelah Maghrib." Bunda langsung melihat ke arah jam dinding untuk melihat pukul berapa saat ini.

"Masih ada setengah jam lagi. Jadi, kalian akan pergi ke mana?"

"Ke pusat perbelanjaan."

"Kalau begitu, bukan acara resmi. Pakai pakaian yang santai saja supaya nyaman ketika dibuat berkeliling." Bunda memilah dan memilih pakaian yang Sinta keluarkan, sedangkan Sinta dengan pasrah tetap duduk di atas kasurnya.

Bunda membawa celana wide leg jeans biru gelap dan kaus putih polos lengan pendek. Sinta yang melihat jika Bunda telah membawakannya pakaian itu pun berdiri tegak.

"Sederhana sekali."

"Justru ini sesuai. Saat ini celana yang longgar sangat cocok untuk dipakai, nanti kamu pakai sepatu sneakers hitam putih milikmu saja supaya lebih nyaman. Kaus lengan pendek, Bunda pilihkan karena pasti nanti kamu memakai jaket. Kalau kamu memakai baju lengan panjang atau baju yang bahannya tebal, pasti kamu tak akan nyaman memakainya." Mendengar penjelasan Bunda, Sinta langsung tersenyum senang. Keputusan Bunda memang yang paling baik. Dirinya pun langsung pergi ke kamar mandi untuk mengganti pakaiannya.

"Kamu mau makan malam dulu atau bagaimana?" Tanya Bunda yang saat ini merapikan pakaian Sinta yang berserakan.

"Tidak, Bunda. Sinta makan di luar saja."

Beberapa menit setelahnya, Sinta keluar dari kamar mandi. Melihat kamarnya yang telah rapi, ia pun menghampiri Bunda sambil memeluknya, "Bunda adalah yang terbaik!" Bunda membalas pelukan Sinta dan berkata, "Segera tata rambutmu sebelum Bima datang. Cukup kuncir kuda setengah saja, sederhana."

"Baik, Bunda." Sinta pun bersiap merias tipis wajahnya dan menata rambutnya, sedangkan Bunda keluar dari kamar Sinta dan menuju ruang makan di mana saat ini Ayah sedang makan sendirian. Sebelum Bunda kembali menuju kamar Sinta untuk memilihkannya baju, Bunda terlebih dulu menuju ruang makan untuk memberitahukan Ayah jika dirinya bisa makan malam terlebih dulu dan Bunda kembali ke kamar Sinta.

Kembali pada Sinta yang sedang menata rambutnya, rambut pendek sebahu itu ia ikat setengah. Sinta mengambil rambutnya dari sisi samping kepalanya dan mengikatnya ke belakang. Setelah mengikatnya, ia mengeriting rambutnya.

Saat dirinya sedang menata rambut, terdengar suara motor berhenti di halaman depan rumahnya. Sinta mempercepat kegiatannya dan segera mengambil jaket Bima serta sepatunya. Ketika Sinta turun menuju lantai bawah, dia bisa melihat Bima duduk di ruang tamu dengan kedua orang tuanya sedang mengobrol.

Ketika Bima melihat Sinta turun dari tangga dan menghampiri dirinya, ia bertanya, "Berapa lama kau memilih pakaian yang kaugunakan itu?" Bunda terlihat menahan tawanya, sepertinya Bunda telah bercerita tentang kesulitannya memilih pakaian untuk dipakai.

"Hanya beberapa menit."

"Aku masih ingat betapa dirimu percaya diri jika tak akan bingung memilih pakaian untuk dipakai ketika hendak pergi denganku." Sinta mencibir perkataan Bima dan mengajaknya untuk langsung pergi. Sinta tak bisa menjawab perkataan Bima karena dirinya pun tak menyangka jika akan mengalami kesulitan hanya untuk memilih baju. Ketika berpacaran dengan Saka dulu pun, ia sama sekali tak kesulitan memilih baju ketika mereka hendak berkencan.

Bima dan Sinta berpamitan kepada kedua orang tua Sinta. Mereka naik ke atas motor Bima dan pergi menuju ke tempat tujuan.

"Kenapa kau mengajakku pergi ke pusat perbelanjaan?" Tanya Sinta ketika mereka sedang berada di perjalanan menuju salah satu pusat perbelanjaan.

"Ada barang yang harus kubeli. Aku sudah bilang mengenai hal itu."

"Maksudku, apa yang ingin kau beli di sana?"

"Aku juga belum tahu." Mendengar perkataan Bima, Sinta mengerutkan dahi dan tak lagi bertanya soal hal itu. Ia memilih untuk membicarakan hal yang lain.

Beberapa menit setelahnya, mereka telah sampai di salah satu pusat perbelanjaan. Bima dan Sinta langsung masuk ke dalam setelah selesai memarkirkan sepeda motor.

"Jika kau tak tahu barang apa yang hendak kau beli, lalu aku harus membantumu seperti apa?"

"Aku juga belum tahu." Kata Bima sambil berjalan dan menoleh ke arah kanan dan kiri, melihat-lihat barang-barang yang dijual di beberapa toko. Sinta menghela napas saat mendengar perkataan Bima. Ia kembali bertanya, "Begini saja, tujuanmu membeli barang ini untuk apa?"

"Hadiah ulang tahun."

"Laki-laki?"

"Perempuan." Sinta yang tadinya mengedarkan pandangannya ke berbagai arah pun menolehkan pandangannya ke arah Bima setelah mendengar dirinya berkata demikian. Bima menatap balik Sinta yang kini menatapnya dengan tatapan menyelidik.

"Sepupuku yang tinggal di kota ini, hari Minggu besok akan mengadakan acara ulang tahun yang sekaligus menjadi acara pernikahannya dengan kekasihnya." Tatapan Sinta yang tadinya penuh selidik ke arah Bima, kini melunak. Ia hanya berkata, "Oh, " sambil mengalihkan pandangannya ke arah yang lain.

"Kalau begitu, berikan saja dirinya hadiah yaitu barang yang disukainya."

"Aku tak tahu apa yang disukainya."

"Astaga, dia adalah saudaramu."

"Ya, tapi aku tak begitu dekat dengannya. Keluarganya tinggal sangat jauh dariku atau saudara-saudaraku yang lain. Itulah kenapa aku tak begitu dekat dengannya."

"Kau tahu akun media sosialnya?"

"Untuk apa?"

"Aku hanya ingin melihatnya." Bima menatap Sinta dengan tatapan aneh sebelum mengeluarkan ponselnya dan melakukan beberapa gerakan di sana. Bima lalu menyerahkan ponselnya ke arah Sinta. Di sana, telah ada akun media sosial saudara Bima.

Setelah beberapa menit mengamati akun media sosial sepupu Bima, Sinta berkata, "Aku tahu apa yang dia sukai." Dan mereka pun pergi ke salah satu tempat untuk membeli hadiah.

"Toko buku?" Tanya Bima ketika mereka sampai di salah satu toko buku yang ada di pusat perbelanjaan ini.

"Ya."

"Kau yakin kita tak sedang menuju ke tempat yang menyediakan sesuatu hal yang kausukai?" Sinta tertawa mendengar penuturan Bima dan berkata, "Tidak, sepupumu suka hal-hal yang berbau misteri. Dia secara kebetulan suka buku misteri, dia sendiri yang bilang jika menginginkan buku misteri yang baru. Semoga saja kita membeli buku yang belum dirinya punya."

"Kau mengetahui hal itu setelah hanya melihat sosial media miliknya?" Bima berkata dengan mengerutkan keningnya yang dibalas tawa oleh Sinta, "Media sosial itu bisa menjadi suatu wadah yang begitu bebas bagi seseorang. Kita bisa menemukan banyak hal di sana, tapi hal tersebut tergantung pada masing-masing individu. Seperti sepupumu yang mengunggah banyak hal ke media sosial, atau sepertimu yang menjadikan media sosial sebagai hal yang akan kau buka ketika sedang bosan saja tanpa mengisinya dengan sesuatu."

"Seharusnya kau tahu alasanku. Banyaknya orang sepertimu yang bisa menemukan sesuatu hal yang penting hanya dengan membuka media sosial seseorang beberapa menit sajalah yang membuatku tak mau mengisi media sosialku dengan banyak hal." Sinta tertawa keras mendengar perkataan Bima.

Beberapa menit mereka lewatkan untuk mencari hadiah yang sesuai untuk sepupu Bima. Dan sudah mereka dapatkan dua buah buku novel misteri.

"Setelah ini kita akan ke mana?" Tanya Sinta.

"Makan?" Tawar Bima.

"Oke, tapi sebenarnya aku ingin bermain."

"Kita makan dulu sebelum bermain." Kata Bima yang membuat Sinta tersenyum lebar.

Mereka segera berjalan menuju kafetaria dan memesan makanan di sana. Kurang lebih dua puluh menit mereka habiskan untuk makan sebelum berjalan menuju Timezone.

Sinta menyuruh Bima berjalan lebih cepat ketika Timezone telah di depan mata. Bima membeli kartu untuk memainkan permainan di tempat ini dan mengisinya dengan beberapa jumlah uang.

"Kita harus menari!" Sinta mengajak Bima untuk menuju ke mesin permainan Pump It Up untuk menari. Ada beberapa mesin di sana, Sinta mengajak Bima untuk menari bersama. Bima pun dengan pasrah mengikuti gerakan Sinta yang saat ini sedang memilih lagu untuk mereka menari.

"Lagu apa yang kau pilih?" Tanya Bima ketika terdengar sebuah lagu yang asing di telinganya.

"Aku juga tidak tahu." Kata Sinta sambil tertawa. Mereka pun pada akhirnya menari.

Sinta yang memang suka sekali bergerak, menari di mesin Pump It Up bukanlah hal yang sulit. Dirinya bisa dengan lincah mengikuti gerakan yang ada di layar dan menggerakkan kakinya di tanda-tanda yang sesuai. Ketika melihat Bima yang awalnya bingung dengan lagu yang dirinya pilih, ia pun terkejut ketika dilihatnya Bima juga sama lincahnya dengan dirinya. Sinta tertawa dengan keras, sebab dirinya begitu takjub melihat Bima yang ternyata jago menari. Gerakan badannya begitu terlatih di dalam mengikuti gerakan-gerakan di layar mesin permainan.

"Astaga, ada hal baru lagi yang aku ketahui tentangmu." Kata Sinta yang membuat Bima tertawa.

"Ayo pilih lagu lagi." Kata Bima dengan raut bahagia yang begitu kental di wajahnya. Sinta terdiam beberapa saat sebelum membalasnya dengan senyuman.

Selanjutnya, mereka masih melanjutkan permainan di mesin Pump It Up hingga beberapa lagu sebelum mencoba permainan yang lainnya. Mereka bermain balap mobil, bermain basket, bermain pemainan memukul, menembak, serta permainan mencapit boneka. Dari banyaknya permainan yang mereka mainkan, Bima tampak mahir di dalam melakukan setiap permainan itu, hanya saja dirinya merasa kesal karena belum bisa berhasil mendapatkan boneka di mesin permainan mencapit boneka.

"Permainan ini tak bisa dimainkan." Kata Bima sambil meninggalkan mesin permainan. Melihat Bima yang tak lagi mau memainkan permainan di mesin itu, Sinta tertawa dengan keras.

"Baiklah, kita lebih baik pulang." Saat ini kurang lebih sudah pukul delapan malam. Mereka memutuskan untuk pulang.

"Oh ya, Mas. Aku mau tanya, dong." Tanya Sinta ketika mereka sedang berjalan menuju parkiran motor.

"Apa?"

"Bagaimana rasanya berkendara di malam hari?" Bima mengerutkan dahinya ketika Sinta bertanya hal tersebut, "Kau tak pernah menaiki kendaraan di malam hari?" Sinta menggeleng.

"Kau mau tahu rasanya?"

"Mau!" Seru Sinta dengan semangat. Bima melihat ke arah jam tangannya sebelum pada akhirnya berkata, "Masih ada waktu."

Mereka pun mengurungkan niat mereka untuk langsung pulang. Bima melajukan motornya dengan Sinta yang dia bonceng, mereka berkeliling sambil melajukan motornya di jalanan yang ramai. Sinta bisa merasakan hembusan angin malam yang mencoba menyusup ke dalam jaket yang dirinya kenakan. Lampu-lampu gedung dan lampu kendaraan terlihat indah di malam hari.

Bima membawa Sinta melewati sekitar Jalan Tunjungan. Di tempat ini Sinta semakin tersenyum lebar. Dirinya melihat ke arah kanan dan kiri, melihat ke arah lampu-lampu jalanan yang beraneka warna. Di jalan ini, Sinta semakin takjub dengan adanya bangunan-bangunan yang bergaya klasik. Dirinya memang telah lama menyukai daerah ini. Dulu, saat Sinta masih berada di jenjang sekolah menengah atas, ia dan Ruri sering menaiki bus kota hanya untuk berjalan-jalan melewati Jalan Tunjungan ini.

"Berkendara saat malam hari begitu menyenangkan." Kata Sinta saat mereka telah beberapa menit berkeliling.

"Ya, kau harus sering-sering melakukannya. Ngomong-ngomong, kau haus? Aku ingin membeli minuman di kafe dekat sini."

"Ya, silakan beli." Bima pun melajukan motornya ke salah satu kafe pinggir jalan.

"Kau mau pesan apa?"

"Apa saja." Beberapa menit kemudian Bima menghampiri Sinta yang menunggu di atas motornya. Sinta duduk di atas motor yang Bima parkir dan Bima memberinya satu minuman di gelas press.

"Bagaimana? Kau menikmatinya?"

Sinta tersenyum ke arah Bima yang berdiri di hadapannya, "Aku baru pertama kali dibonceng seseorang dan berkeliling di malam hari seperti saat ini, padahal aku sudah lama ingin melakukan ini."

"Pertama kali?"

"Ya."

"Jika sejak dulu kau ingin, kenapa tak kau wujudkan?" Sinta menatap Bima lekat-lekat, sepertinya memang Bima belum banyak mengetahui tentang dirinya, "Kau belum tahu jika aku tidak bisa menaiki motor, ya?"

"Apa?" Sinta mengangguk ke arah Bima yang tidak percaya.

"Jadi itu alasan kenapa kau selalu menaiki bus?" Tanya Bima memastikan.

"Ya."

"Bagaimana bisa?"

"Karena ketika belajar mengendarai motor, aku justru membuat motor, diriku, dan Bunda harus mengganti pagar tetangga kami yang aku tabrak." Kata Sinta sambil tertawa.

"Jika memang mau belajar, kau seharusnya tak belajar di kawasan pemukiman."

"Aku belajar di lapangan dekat rumahku, dan aku sudah bisa. Pada akhirnya Bunda mempercayaiku untuk memboncengnya menuju rumah. Entah kenapa aku justru mengegas alih-alih mengerem. Aku begitu tak tahu dengan apa yang terjadi waktu itu." Sinta bercerita dengan tak henti-hentinya tertawa.

"Kehidupanmu sungguh penuh dengan hal-hal konyol, Ta."

"Ya," sahut Sinta dengan tertawa. Saat dirinya sedang asyik tertawa, Bima tiba-tiba berkata, "Oh, hampir saja lupa." Sinta menyudahi tawanya dan mendengarkan lanjutan perkataan Bima, "Ada apa?"

"Di hari Minggu besok, apakah kau bisa datang ke acara pernikahan sepupuku?"

"Kau mengajakku untuk datang ke sana?" Tanya Sinta dan Bima mengangguk.