webnovel

-39-

"Suatu waktu aku berjalan. Dengan kedua tangan yang penuh akan sesuatu hal. Sesuatu itu dibungkus di dalam suatu wadah kaca yang ditutup rapat dengan sebuah tutup. Ada dua buah. Satu, kuberikan kepada orang lain. Dua, kuberikan pada diriku sendiri. Sesuatu itu adalah suatu cairan, dan kami meminumnya. Ketika semua telah kami minum habis, aku melihat diriku berdiri di hadapanku. Baru saja menyadari jika orang lain itu adalah diriku sendiri. Dan kita berdua mati."

*

Bima mengantar Sinta menuju rumahnya tanpa mendapatkan protes dari Sinta. Sepanjang jalan mereka habiskan mengobrol hal-hal yang tidak perlu, ke sana dan ke sini. Tentu saja obrolan tak beraturan itu Sinta yang melayangkan. Dirinya kepayang bahagia hari ini, dan meski dirinya bertemu dengan Zizi, dirinya tak merasa kesal dan justru mendapat kebahagiaan yang lebih banyak lagi.

"Kenapa kau lebih suka memakai kaus daripada setelan rapi ketika berangkat ke kampus?" Tanya Sinta kepada Bima.

"Apa?" Tanya Bima. Sinta harus mengulangi pertanyaannya dua kali karena saat ini mereka sedang mengobrol di atas motor. Angin di jalanan terlalu tertarik dengan mereka, sehingga berusaha untuk ikut mengobrol.

"Kenapa kau lebih suka memakai kaus saat ke kampus?" Sinta mengulangi pertanyaannya dengan suara yang lebih keras dan dirinya juga memajukan badannya lebih dekat dengan Bima.

"Karena jika aku menyukaimu, kau akan kerepotan." Sinta tertawa mendengar jawaban Bima.

Setelah banyak obrolan dan banyaknya pengulangan perkataan, mereka telah sampai di rumah Sinta. Bunda yang sudah hafal dengan suara motor Bima pun segera keluar dari rumah menuju halaman rumah.

"Tumben sekali." Kata Bunda kepada Bima.

Sinta dan Bima turun dari motor dan menghampiri Bunda untuk bersalaman. Ketika selesai bersalaman, Bima berkata, "Maaf, Tante. Tak biasanya Bima datang kemari ketika matahari masih terang." Bima mengatakan hal tersebut dengan tertawa.

"Justru bagus, kamu bisa mampir. Ayo masuk. Kita makan siang bersama." Kata Bunda.

Sinta menatap Bima ketika Bunda mengatakan hal tersebut, ia pun bertanya, "Masih ada kelas lagi atau sudah selesai?" Bima pun membalas tatapan Sinta dan menjawab, "Sudah selesai." Mendengar jawaban Bima, Bunda langsung merasa senang, "Kalau begitu, ayo masuk. Kita makan siang bersama, ya."

"Tidak perlu repot-repot, Tante."

"Tidak, tidak repot."

"Kau harus tahu, Bunda sangat suka memasak, Mas. Jadi, jika dirimu datang kemari, kau wajib makan masakan Bunda." Sahut Sinta.

Mendengar ucapan Sinta, Bunda menyahuti perkataan Sinta dengan sebuah kalimat yang membuat mereka semua tertawa, "Ya, dan kamu juga perlu tahu jika Sinta ini pencicip yang andal, sampai-sampai tak akan dia biarkan satu lauk pun lolos ketika Tante baru saja selesai dengan urusan menggoreng."

Mereka bertiga pun berjalan menuju ke dalam rumah dan Bunda langsung mempersilakan Bima untuk duduk di kursi ruang makan.

"Sebentar, Tante siapkan dulu makanannya."

"Terima kasih, Tante."

Saat ini Sinta duduk berhadap-hadapan dengan Bima. Dirinya menggoyang-goyangkan kakinya dan tak berhenti tersenyum ke arah Bima.

"Jangan membuatku takut." Kata Bima dingin. Sinta tertawa mendengar penuturan Bima dan membahas hal yang lain, "Terima kasih telah membawaku pergi dan mengantarku pulang." Bima menatap Sinta yang tak henti-hentinya menatap dirinya dengan senyuman. Ia cukup lama menatap Sinta sebelum mengangguk-anggukkan kepalanya.

"Aku penasaran, apakah ini adalah pertama kalinya kau berurusan dengan perempuan?"

"Kenapa tiba-tiba kau bertanya hal itu?"

"Aku hanya penasaran." Lagi dan lagi, Bima mengangguk-anggukkan kepalanya. Melihat Bima yang tak ada niatan untuk membalas perkataannya, Sinta pun kembali bertanya, "Apa jawabannya?"

"Harus dijawab?"

"Tentu saja." Ketika Bima hendak membuka mulutnya, Bunda datang dengan meletakkan nasi yang telah diletakkan pada sebuah wadah. Jadi, dirinya mengurungkan diri untuk menjawab pertanyaan Sinta.

"Ambil dulu nasinya. Tante ambilkan lauknya setelah ini."

Bima dan Sinta tak melanjutkan percakapan mereka karena setelah itu, Sinta berdiri menghampiri Bunda untuk membantunya menempatkan lauk pauk di meja makan. Sesaat setelah itu, semua makanan serta minuman pun telah tersaji di meja makan. Bunda, Sinta, dan Bima duduk di kursi masing-masing dan bersiap untuk makan.

"Om kalau pulang kerja, sampai di rumah pukul berapa, Tante?" Tanya Bima kepada Bunda.

"Paling sering pulang sebelum Maghrib. Ayah Sinta pasti akan cemburu ketika tahu kamu makan siang di tempat ini. Dirinya sangat ingin mengobrol banyak denganmu."

"Kalau begitu, kau harus sering-sering kemari, Mas." Kata Sinta menyahuti perkataan Bunda.

"Iya, Sinta yang sering cerita tentangmu, membuat kami penasaran. Kamu tahu, tentang Sinta yang begitu menyukai tokoh Bimasena?"

Bima tersenyum mendengar perkataan Bunda, "Iya, Tante. Hal itu yang membuat saya mengenal Sinta."

"Astaga, kalian harus berhenti membicarakan hal itu." Gerutu Sinta yang membuat Bima dan Bunda tertawa.

"Kalau begitu, kita bicarakan hal yang lain saja. Kamu asal mana, Bim?" Tanya Bunda.

"Saya asal Jakarta."

"Wah, jauh sekali sampai kemari. Lalu, apakah tidak ada saudara di kota ini?"

"Ada, Tante. Adik dari Papa tinggal di kota ini. Hanya beliau yang merupakan keluarga dan tinggal di kota ini. Kebanyakan saudara saya tinggal di Jakarta atau di Jawa Barat."

"Oh, begitu. Di daerah mana?" Sinta yang merasa jika Bunda mulai mengorek informasi tentang diri Bima pun hanya bisa pasrah.

Obrolan demi obrolan pun terjadi di sela-sela kegiatan mereka makan siang, walaupun kebanyakan obrolan itu didominasi oleh Bunda yang ingin tahu tentang diri Bima. Tak sampai di situ juga, mereka mengobrol tentang diri Sinta yang membuat suasana semakin meriah ketika cerita kekonyolan Sinta mulai naik ke permukaan. Hingga tak terasa, Bima telah hampir dua jam berada di rumah Sinta.

"Kalau begitu, saya pamit pulang dulu, Tante." Kata Bima kepada Bunda.

"Iya, hati-hati di jalan."

Bunda dan Sinta mengantar Bima hingga ke depan rumah mereka. Lambaian tangan Sinta mengikuti kepergian motor Bima dan deru motor yang perlahan menghilang. Dirinya begitu senang dengan apa yang ia alami hari ini. Sebab juga masih terasa, sesuatu yang sengaja Bima tinggalkan untuk Sinta. Sinta memandangi telapak tangannya.

"Ada apa?" Tanya Bunda saat dilihatnya Sinta memandangi telapak tangannya.

"Ada yang tertinggal, Bunda." Jawab Sinta.

"Barang Bima? Apa?" Bunda merasa kebingungan dengan apa yang dibicarakan oleh anaknya.

"Hangat genggam tangan Mas Bima. Dia tertinggal di sini." Kata Sinta kepada Bunda sambil menunjukkan telapak tangan kirinya.

"Dan sepertinya saat ini kehangatan yang tertinggal itu membakarku. Ia cepat merambat hingga rasanya pipiku memanas dan diriku seakan ingin meledak." Bunda memandang Sinta dengan takjub, entah mengapa dirinya langsung teringat saat di mana dirinya merasakan cinta kepada seseorang yang saat ini menjadi suaminya. Ia ingat betul bagaimana kisah cinta mereka saat dulu seusia Sinta, dan semua itu dirinya ingat karena Sinta.

"Astaga, Nak. Kamu sedang jatuh cinta." Kata Bunda dan Sinta diam saja.

Keterdiaman Sinta bertahan beberapa detik sebelum dirinya tersenyum ke arah Bunda dan mengajak Bunda untuk masuk ke dalam rumah. Sinta berencana akan memberi kabar kepada kedua sahabatnya seperti biasanya. Karena dirinya tahu jika saat ini akan sulit menghubungi mereka, Sinta memutuskan untuk mengirimi mereka sebuah pesan suara saja.

Setelah suara-suara Sinta terekam dan berhasil terkirimkan, Sinta memutuskan untuk mandi dan bersiap untuk beribadah. Ketika dirinya mandi, ia bisa mendengar suara motor berhenti di depan rumahnya, namun ia tak mengenali suara motor itu. Pada akhirnya, Sinta hanya mengabaikannya.

Beberapa menit setelahnya, terdengar pintu kamarnya yang terbuka dan diikuti suara Bunda yang mencari keberadaannya.

"Ta, kamu di mana? Lagi mandi, ya?"

"Iya Bunda."

"Ini ada yang mengirim surat, untukmu. Bunda letakkan di nakas, ya." Kata Bunda sambil meletakkan amplop yang berisi surat tersebut di nakas Sinta.

Sinta yang mendengar hal tersebut pun menghentikan kegiatannya mandi, dirinya berpikir sejenak tentang surat yang dimaksudkan Bunda. Ketika menyadari sesuatu, Sinta pun bertanya kepada Bunda, "Bunda tahu darimana jika itu surat?"

"Entah, Bunda menerima sebuah amplop yang diantar oleh ojek online, Bunda belum tahu apa isinya. Hanya saja itu bukan amplop yang berisi uang. Jadi, Bunda simpulkan jika itu adalah surat, ditambah ada kertas di dalamnya."

"Oke." Sinta segera mempercepat kegiatan mandi sorenya.

Ketika dirinya selesai, ia langsung menuju nakas dan membuka amplop yang dimaksud oleh Bunda saat dirinya mandi. Sebuah kertas terlipat di dalamnya. Saat lipatan tersebut terbuka, Sinta bisa membaca sebuah puisi, puisi narasi yang di hari sebelumnya ia terima dari tukang pos sebelum dirinya berangkat kuliah.

Melihat pola yang sama dari puisi ini, Sinta pun mengambil kertas puisi yang ia letakkan di dalam totebag. Sinta melihat ke kedua kertas yang memiliki pola yang sama. Tak ada nama, sama sekali tak ada titik terang siapakah yang mengirim puisi ini kepada Sinta. Dirinya tak bisa melihat dari tulisan tangan puisi ini, karena dirinya juga tak tahu tulisan tangan milik siapa yang sama dengan tulisan tangan yang ada di kertas puisi ini. Dari kedua kertas ini, sepertinya penulis puisi sengaja mengecoh Sinta, sebab dirinya menulis dengan gaya tulisan tegak bersambung. Sebuah gaya tulisan tangan yang tak biasa digunakan di zaman ini.

Sinta membaca puisi narasi yang penulis misterius ini tulis. Rangkaian kata, diksi, serta keelokan penulisan membuat Sinta tersenyum. Dirinya menyukai puisi yang seseorang ini kirimkan kepadanya. Saat Sinta selesai membaca, ia menyadari sesuatu. Ada sebuah petunjuk. Sebuah gambar tepat di bawah puisi. Ia menengok lagi kertas puisi yang sebelumnya ia dapatkan. Gambar yang sama ada di sana, hanya saja peletakkan gambar yang berbeda. Pada kertas puisi pertama, gambar tersebut terletak di pojok kiri bawah kertas. Sinta awalnya mengira itu hanya gambar yang ada di kertas, seperti kertas di bukunya yang ada simbol merek buku di sisi pojok bawah kertas. Namun ternyata dirinya salah, ia tak mengira itu sebuah petunjuk karena gambar tersebut tak ditulis sama seperti puisi yang ditulis tangan, gambar ini dicetak. Dan kini Sinta tahu jika gambar itu sengaja dicetak.

Hari-hari pun berlanjut. Saat ini sudah satu minggu setelah kejadian di mana Zizi terdiam ketika melihat Bima menggenggam tangan Sinta dan mengajaknya untuk pergi. Setelah itu, tak ada lagi Zizi yang mengganggu dirinya. Hal ini justru membuat Sinta merasakan hal yang aneh, ia bahkan memilih menghindar ketika hendak berpapasan dengan Sinta. Sungguh Sinta tak tahu pasti apa yang terjadi, tapi menurutnya itu adalah hal yang sangat menguntungkan. Setidaknya hari-hari bahagianya bisa berjalan lebih lama, ditambah puisi-puisi indah itu tak berhenti untuk datang. Setiap hari, entah tukang pos atau ojek online yang mengantar. Pagi, siang, atau malam, selalu saja setiap hari akan datang puisi indah itu ke tangan Sinta.

"Sejak saat itu, dia tak pernah mengganggu kita lagi." Kata Fanya ketika mereka baru saja melihat Zizi serta kedua temannya di koridor dan mereka memasuki kamar mandi sebelum Sinta dan yang lainnya melewati mereka.

Saat ini mereka sedang berjalan menuju tempat parkir untuk pulang. Ara dan Fanya berencana untuk pergi ke rumah Sinta dan bermain di sana.

"Itu adalah sebuah keuntungan." Kata Sinta sambil tersenyum. Ara dan Fanya tertawa, "Benar juga." Kata Ara.

Mereka pun berjalan menuju tempat parkir untuk segera pergi ke rumah Sinta. Beberapa menit setelahnya, mereka telah sampai di rumah Sinta.

"Oh, iya. Aku lupa." Kata Ara ketika mereka telah sampai di rumah Sinta dan saat ini telah berada di kamar Sinta.

Ara terlihat sedang mencari sesuatu di dalam totebag miliknya. Ketika terlihat amplop yang tak asing, Sinta segera mengetahui apa itu. Ara mengulurkan amplop putih itu kepada Sinta dan Sinta semakin yakin jika amplop itu berisi puisi indah yang sering dirinya dapat.

"Astaga, aku sangat penasaran siapa yang merangkai puisi seindah ini dan mengirimkannya kepadaku. Jika kalian mendapatkan ini, tentu kalian tahu siapa pengirimnya, bukan?" Sinta bertanya penuh selidik kepada Ara serta Fanya.

Ara dan Fanya saling berpandangan satu sama lain dan tersenyum.

"Nanti kamu akan tahu." Kata Ara dengan senyuman manis yang tercetak di mulutnya, sama seperti Fanya yang juga melakukan hal yang sama.

Melihat kedua temannya yang sepertinya tak ingin memberitahukan siapa penulis dari puisi ini pun segera membuka amplop yang ada di tangannya itu. Ia membaca puisi narasi di sana. Senyum manis yang tadinya ada di wajah Ara serta Fanya berpindah pada wajah Sinta. Ia tersenyum senang membaca puisi ini, entah mengapa puisi ini memberikan rasa bahagia yang begitu besar bagi dirinya, meskipun Sinta masih tak tahu siapa pengirim puisi ini.

Sebenarnya, ia sudah mengira satu nama. Seseorang yang belakangan ini bersikap begitu manis pada dirinya setelah sebelumnya bersikap sinis. Namun, Sinta yang penasaran itu memilih untuk mengikuti permainannya saja. Kalau memang si pengirim puisi menginginkan kesan misterius, Sinta pun tak akan mencari-cari dirinya. Ia tahu jika suatu saat nanti dirinya akan tahu, sebab gambar yang selalu ada di kertas puisi ini tak asing baginya.

Beberapa jam setelahnya, Sinta, Ara, dan Fanya habiskan untuk mengobrol. Mereka mengobrolkan banyak hal, dari Sinta yang bercerita, Ara, lalu Fanya. Mereka asyik bertukar cerita tanpa membahas puisi yang tadi Ara berikan. Sinta belum membahas puisi ini dengan siapapun, termasuk dengan kedua sahabatnya. Sepertinya juga si pengirim hanya ingin Sinta saja yang tahu, hal itu terlihat dari tak diketahuinya identitas penulis puisi ini meski telah banyak puisi narasi yang telah Sinta baca.

Ara dan Fanya pamit pada pukul empat, mereka pulang ke tempat kos masing-masing karena perlu untuk membersihkan diri mereka di sore hari. Setelah Ara dan Fanya pulang, Sinta pun mandi dan melaksanakan ibadah. Ketika dirinya selesai melakukan itu semua, ponselnya berdering. Bima menelepon.

"Halo, Mas?" Sapa Sinta.

"Halo. Aku akan menjemputmu selepas Maghrib." Mendengar perkataan Bima yang tiba-tiba, Sinta pun bertanya, "Memangnya kita mau ke mana?"

"Aku ingin mengajakmu ke pusat perbelanjaan. Ada sesuatu yang harus kubeli dan aku perlu bantuanmu."

Sinta diam beberapa saat dan berkata dengan nada sedih yang dibuat-buat, "Aku kira kau akan mengajakku kencan."

"Anggap saja begitu."

Sinta terkejut dengan ucapan Bima, "Apa?" Mendengar Sinta yang justru mengajukan pertanyaan, Bima menanggapi, "Jangan banyak tanya."

"Oke. Tapi sekarang saja belum genap pukul lima."

"Kurasa seorang perempuan membutuhkan waktu yang lama untuk memilih baju ketika mereka pergi berkencan." Sinta tertawa mendengar perkataan Bima, ia menjawab, "Tidak, hal itu tak berlaku padaku." Dan beberapa saat kemudian kamar Sinta berantakan.