"Aku tidak akan menjual Rumi, apapun alasannya!" Nana menyentak. Marahnya datang begitu saja. Menguasai dirinya. "Aku memang tak pernah mengunjungi dia, aku juga tidak pernah datang untuk menanyakan kabarnya. Namun, aku tidak akan menjual anak dari adikku sendiri. Rumi masih pantas untuk mendapatkan kehidupan yang layak."
Mr. Tonny tertawa. Dia bak orang sinting yang bertemu dengan orang sinting lainnya. Di sini, tak ada yang waras. Sekarang, pria itu mendorong satu kertas yang ada di depannya. Menarik fokus Nana untuk melirik ke sana.
"Aku akan mengambilnya, apapun yang terjadi. Bahkan jika aku harus membunuhmu sekalipun," ujarnya. Mengancam. Setiap kata yang datang dari celah bibirnya, terlontar dengan begitu mulus, diberikan penekanan agsr Nana sadar betapa seriusnya keadaan ini. "Aku datang tidak untuk mencari persetujuan. Kau mau atau tidak, itu bukan urusanku. Aku datang hanya ingin meminta tanda tangan darimu di atas sini," ucapnya sembari mengetuk ujung kertas. Namanya dieja dengan tinta hitam yang begitu tebal. Ada materai perjanjian di sana. Hanya tinggal membubuhkan tanda tangan Nana, maka semuanya akan tuntas.
"Rumi pantas untuk menerima kehidupan yang layak. Rumi pantas untuk hidup dengan caranya sendiri setelah semua yang terjadi padanya. Dia dibuang oleh orang tuanya. Hidup pas-pasan dengan neneknya. Sekarang neneknya sudah meninggal, Rumi sengsara dan kau ingin membuatnya lebih sengsara lagi?"
Nana menggelengkan kepalanya. "Tidak. Aku tidak akan melakukannya."
Mr. Tonny diam. Melirik ke sudut ruangan. Seseorang datang di balik tirai besar yang ada di sana. Sedari tadi dia bersembunyi. Pistol tiba-tiba menempel di belakang kepala Nana. Suara kuncian, menandakan peluru siap untuk dilepaskan. Nana terkejut bukan main, dia mengangkat tangannya secara spontan.
"Black Fox." Mr. Tonny memulai. Melirik orang dengan pakaian serba hitam dan topi yang menutupi kepalanya. Dia bangkit dari tempat duduk. Berjalan ke arah jendela besar dan membukanya. Membiarkan udara masuk dari luar. Bukan itu tujuannya. Pria itu menatap dan mengarahkan jari telunjuk ke atap gedung yang ada di depannya. Cahaya laser masuk. Jatuh si lengan kiri Nana.
"Crazy Snoopy," ujarnya lagi. Kata acak itu membuat Nana diam seribu bahasa. Ditambah lagi rasa takut menggerogoti dirinya.
"Laser merah itu datang darinya. Crazy Snoopy adalah mata-mata dan penembak runduk terbaik milik Hawtorn dan Black Wolf. Aku mendatangkan mereka dari Las Vegas khusus untuk dirimu, Nyonya." Dia berbasa-basi. Menikmati rasa takut yang memunculkan bulir keringat di sisi pelipis Nana. Tiba-tiba saja atmosfer aneh datang menyerbu dirinya.
"Hanya dengan satu kode perintah, peluru akan menembus tulang belikatmu dengan rasa sakit yang luar biasa. Kau harus menahannya Berjam-jam karena aku tidak akan membunuhmu begitu mudahnya." Mr. Tonny kembali ke tempat duduknya. "Kalau yang berdiri di belakangmu, itu adalah Black Fox. Serigala hitam yang menjadi pasukan tanpa bayang terbaik berasal dari Korea Selatan. Aku juga mendatangkan dia khusus untuk membuat kepalamu hancur."
"A--apa yang ...." Nana melirih. Nada bicaranya terbata-bata sebab tak bisa mengontrol rasa takutnya.
"Turunkan saja tanganmu. Mau kau mengangkat tangan atau tidak, jika jawabanmu mengecewakan, aku akan tetap menembakmu."
"Hanya karena aku menolak?" Nana menyahut. Takut yang besar memicu air mata jatuh begitu saja. Dia tak pernah berhadapan dengan pistol seumur-umur. Apalagi sampai dikepung pada mafia seperti ini. Mimpi apa dia semalam?
Ia duduk dengan rapi. Mengambil pena di dalam saku jasnya. Meletakkan di atas meja dan mendorongnya mendekat ke arah Nana. "Alurnya cukup sederhana, tanda tangani dan biarkan Rumi ikut bersamaku secara sah. Meskipun aku nantinya akan mengganti identitas Rumi sesampainya di Hawtorn," ucapnya. "Aku hanya butuh dokumen legal untuk membawanya pergi dari Indonesia dan mengubah kewarganegaraannya. Rumi tidak akan pernah kembali ke Indonesia lagi setelah menjadi bagian dari Hawtorn."
Nana diam. Cukup rumit untuk dipahami. Dia tak mengerti apapun. Bahkan pria yang menyewa dirinya beberapa jam lalu ini saja, tak diketahui identitasnya dengan lengkap. Dia bos mafia? Pemilik Hawtorn dan Black Wolf dengan anak buah yang gila? Entahlah.
"K--kenapa harus Rumi ...." Nana melirih. Takut, tentu saja. Kalau laser di sisi dadanya belum hilang dan pria di belakangnya belum pergi maka dia tidak akan bisa tenang. "Rumi tak pernah berbuat salah dengan orang. Keluargaku bukan—"
"What do you know?" sahut Mr. Tonny memotong. "Kau bukan anak yang baik untuk ibumu bahkan kau menolak kehadiran Rumi hampir 19 tahun yang lalu. Jadi, apa salahnya? Aku hanya menitipkan Rumi pada kalian."
Nana diam. Mengerutkan keningnya. Benar, semuanya yang dikatakan oleh Mr. Tonny benar adanya.
"Orang tua Rumi bekerja padaku dan membelot sebagai pengkhianat. Jaminannya adalah anak mereka. Aku harus membawa Rumi jika sudah berusia 17 tahun."
"Kau sudah gila ...." Nana menjawab dengan tatapan kesal. "Mau kau jadikan apa Rumi nanti di sana? Budak seks seperti diriku? Maka bawa saja aku!" Dia menepuk-nepuk dadanya dengan kasar. "Aku akan senang hati ikut bersama kalian dan mati di sana. Lagian aku juga akan mati sebentar lagi karena penyakit sialan ini."
Mr. Tonny tertawa renyah. Menggelengkan kepalanya. "Aku sudah menyiapkan rumah sakit untuk operasimu. Dokter yang hebat dan pelayanannya yang terbaik dan akurat. Kau tidak akan mati setelahnya. Aku juga menyiapkan tempat tinggal yang mewah. Mobil, dan segala aset yang kau perlukan. Itu bayaran dari satu tanda tangan di surat ini," kilahnya. Kembali mendorong kertas yang ada di depannya. "Rumi akan menjadi istriku dan menghasilkan keturunan untukku."
... To be continued ...