webnovel

3. Mr. Tonny Ayres

"Mau menikah denganku?"

Rumi terdiam. Sepasang manik mata hitam itu tertuju pada pria yang ada di depannya. Gadis itu tak jadi memberikan payung hitam miliknya. Masa bodoh, ia tak peduli jika pria yang ada di depannya itu basah kuyup hingga mati membeku di bawah hujan sekalipun. Ia sudah gila rupanya, bahkan nama saja, Rumi tak tahu. Wajahnya begitu asing dan Rumi tak mengenal pria ini. Semesta baru saja mempertemukan mereka hari ini, petang ini, dan di bawah hujan yang semakin deras setiap menitnya.

"Menikahlah denganku, Rumi." --sialan! Ia tak kunjung berhenti mengatakan hal itu. Sekarang telinga Rumi mulai menyesali semuanya. Ia tak seharusnya mendengar kalimat seperti itu tepat di hari pemakaman sang nenek.

"Kenapa aku harus menikah denganmu?" Akhirnya Rumi mau berbicara. Ia membuka celah bibirnya untuk mengeluarkan suara yang begitu lirih. Hujan meredam semuanya. Sekuat apapun Rumi berteriak, suara kecilnya itu tak akan pernah bisa mengalahkan agungnya hujan bernyanyi di sekelilingnya.

"Aku bahkan tak mengenalmu dan untuk apa aku harus menikah denganmu?" Rumi kali ini terkekeh. Lucu, tidak! Ia mulai muak dengan pria di depannya. Cabul gila satu ini, ingin rasanya Rumi melempar tiang lampu jalanan dan menghabisinya di sini. Ia benar-benar si pak tua menyebalkan yang tak punya sopan santun.

"Bapak bahkan gak tahu namaku dan—"

"Rumi Nathalia. Gadis SMA di tahun terakhir yang tak suka apapun hal yang berbau nanas. Membenci siang yang panas, tetapi menyukai hari yang cerah. Gadis berusia 19 tahun kalau bulan ini berakhir adalah gadis yang—"

"Stop!" Rumi menyentak. Kali ini ia membenci logat bicara pak tua di depannya itu. "Bapak rentenir yang akan mengambil rumah kami nanti?" tanyanya lagi. Asal tebak saja, Rumi tak tahu apa yang sebenarnya ada di hadapannya saat ini. Ia mirip malaikat pencabut nyawa dengan kulit pucat, hanya saja wajahnya dipenuhinya jenggot dan kumis.

"Aku akan pergi dari rumah sewa itu, tetapi tidak sekarang. Aku sedang berduka sekarang ini. Meksipun pekerjaanmu adalah rentenir yang suka memaksa dan membentak, setidaknya Bapak harus punya hati sebagai manusia." Rumi mulai berbicara 'ngawur'. Inilah dia kalau sudah dihadapkan dengan keadaan aneh yang membuat hatinya jengkel. Apapun yang ada di dalam hati Rumi semuanya akan dikeluarkan tanpa mau peduli, mana yang satu jalan dengan topik pembicaraan mana yang tidak.

"Datanglah ke rumah satu minggu lagi setidaknya setelah aku punya tempat tinggal baru yang sewanya lebih murah lagi. Jangan bersikap seperti ini, Pak Tua." Gadis itu berdecak ringan. Ia memutar matanya dengan malas. Lalu mulai kembali melangkah untuk pergi meninggalkan pria yang masih berdiri mematung di tempatnya. Rumi tak suka pandangan mata itu. Pria jangkung setara usia dengan ayahnya, mungkin, sudah mirip bak psikopat gila yang tak punya emosi apapun di dalam hatinya.

"Orang tuamu!" Pria itu menghentikan langkah kaki Rumi. Gadis berwajah pucat yang baru saja ingin pergi, kembali diam. Menghentikan sepasang sepatu hitamnya tepat di atas genangan air hujan.

Langkah kaki kini terdengar mengiringi, sepasang pantofel hitam tegas membelah jalanan basah di bawahnya. Payung hitam milik Rumi kembali melindungi tubuh rampingnya agar tak tertimpa air hujan yang jatuh dari atas langit.

"Kamu ingin bertemu dengannya bukan?" tanya Pria itu ringan. Ia menarik bahu Rumi untuk berputar kembali mengarah padanya.

Tatapan mata itu terasa begitu intim dan intens. Jarak yang begitu dekat membuat Rumi bisa merasakan embusan napas yang hangat membelai permukaan wajahnya. "Menikahlah denganku dan aku akan membuatmu bertemu dengannya."

"Bapak ini siapa sebenarnya?" tanya Rumi mulai putus aja.

"Tonny, Tonny Ayres."

"Aku tidak mengenalmu, Pak Tua."

Namanya Tonny. Lengkap orang memanggil adalah Tonny Ayres. Seorang pria yang datang jauh dari negara asing. Venezuela yang berada di ujung utara Amerika Selatan lah yang menjadi asal mula pria ini berada. Ia bukan orang Amerika, Tonny adalah orang Italia yang besar dengan cara yang 'sedikit unik dan keras'. Ia menetap di Venezuela sejak usianya masih remaja. Seorang pria tua yang dipanggilnya ayah adalah bos besar dari organisasi gelap pembantai orang-orang dianggap berdosa dalam hidupnya. Hukuman memang datang dari Sang Kuasa, tetapi pisau, samurai, senapan laras panjang dan juga belati datangnya dari sesama manusia yang punya kekuasaan dan kedudukan yang jauh lebih tinggi.

Jangan ditanya pasal wajah dan fisik, usia memang sudah boleh menginjak kepala tiga, tetapi fisik dan jiwa adalah milik anak muda. Wajah tampan itu menutup usia tuanya. Fisik yang kekar, tak menjadi halangan untuk Tonny beraktivitas berat seperti halnya meneruskan pekerjaan sang ayah. Jika boleh dideskripsikan seperti apa wajahnya, Tonny adalah pria Italia yang tampan. Wajahnya lonjong dengan dagu lancip dan garis rahang yang tegas. Matanya kecil nan tajam, mirip kacang almond yang memukau. Sepasang manik itu bak elang yang sedang membidik kalau ia memandang lawan bicaranya. Alisnya hitam legam, berbentuk garis sedikit menyiku di kedua ujungnya. Duduk di atas sepasang bulu mata lentik berwarna pekat. Hidungnya lancip dan mancung, dipadukan dengan bibir yang begitu seksi dan menggoda. Kalau Tonny Ayres tersenyum, maka hancurlah sudah dunia para kaum hawa. Namun, sayangnya, ia tak bisa tersenyum untuk sembarang orang dan sembarang situasi.

"Namaku Tonny Ayres," ucap pria dengan ringan. Tak ada senyum, juga tak ada ekspresi di wajahnya. "Maukah kau menikah denganku, Rumi?"

Rumi diam sejenak. Ia memandangi wajah tampan milik pria yang ada di depannya itu malas. "Aku tak bisa menikah dengan pria yang baru saja aku temui, Pak Tonny. Lagian, aku hanya mengetahui namamu."

"Tinggallah bersamaku, maka kamu pasti akan mengenal siapa aku."

"Pria cabul!" Rumi menyentak. Tiba-tiba saja gadis itu memundurkan langkahnya ke belakang, menjauh dari pria di depannya itu. Sekarang, Rumi bukan hanya kesal, ia juga takut. Namun, bodohnya, Rumi enggan berteriak dan mengatakan bahwa pria ini sudah melakukan pencabulan pada hatinya.

"Alurnya sangat sederhana, Rumi. Menikahlah denganku dan tinggallah di rumahku."

"Wah! Hari ini ada dua pria yang mengajakku tinggal bersama. Aku secantik itu?" tanyanya berbasa-basi. Ia tersenyum seringai menutup kalimatnya.

"Hm. You're beautiful. So pretty," katanya menyahut. Sukses membuat Rumi diam mematung. Tiba-tiba saja gadis itu kehilangan semua kalimat yang ada di dalam kepalanya. Aksen Inggris itu sangat kental. Sekarang Rumi yakin kalau pria di depannya adalah orang asing yang sedang mengembara di negara orang. Tujuannya hanya ada dua, bersenang-senang dan mencari pengantin tanpa mau mempedulikan sopan santun dan tata bahasa yang benar.

"Sudahlah, lupakan saja. Aku akan menganggap kita tidak pernah bertemu dan jangan mengikutiku," ucap gadis itu sembari memutar matanya dengan malas. Sejenak diam, memandang wajah pria yang benar-benar aneh untuknya, ia tak menunjukkan ketertarikan pada Rumi. Di atas wajah tampan itu, tak ada senyum, tak ada napsu, juga tak ada emosi untuk memberi warna dalam setiap kalimat yang diucapkan. Pria itu benar-benar membosankan.

Rumi kini memutar tubuhnya, ia melangkah untuk menjauh dari pria aneh itu. Meninggalkan payung baru yang ia beli di toko seberang jalan sana beberapa waktu yang lalu. Rumi tak peduli, masa bodoh, toh juga ini hanya hujan air. Lagian, hatinya sudah sakit, maka sekalian sakit di tubuhnya juga.

Rumi menekankan langkahnya. Ia tak mendengar suara langkah kaki sedang mengikutinya sekarang. Bukannya berharap lebih, akan lebih normal kalau pria itu berlari dan menarik pergelangan tangan Rumi. Memaksanya untuk menikah dan tinggal bersama. Namun, naas ... saat Rumi berbalik, pria itu sudah berjalan dengan arah berlawanan pergi menjauh darinya. Punggung lebar itu hilang, selepas ditelan keramaian jalanan kota.

"Dia pergi?"

... To be Continued ...