webnovel

2. Saat 17 Tahun

Terasa baru kemarin, saat langit menggantung jingga di atas cakrawala, nenek menemuiku sepulang bekerja paruh waktu di ladang tetangga dengan membawakan sepasang sepatu cantik yang katanya cocok aku gunakan untuk berjumpa teman di pesta tahun baru satu bulan lagi. Aku membenci pandangan nenek yang terasa begitu memilukan. Bukan pada nenek, aku mengumpat pada keadaannya yang terus saja semakin menekan wanita tua itu untuk menyumbangkan sisa-sisa tenaga di usia senjanya. Aku sudah tahu penyebabnya dan aku membenci itu. Nenek bekerja untuk sekolahku yang hampir usai. Juga katanya, tambah-tambah tabungan biaya kuliah tahun depan.

Seperti takdir senja yang dikagumi sebab tanda sore berpulang dan hari usai berganti malam, siapa yang datang pasti akan pergi pada waktunya. Siang ini aku berdiri di depan gundukan tanah basah dengan bunga merah mewangi yang khas baunya menari-nari di dalam lubang hidung. Nama nenek tersematkan di atas batu nisan. Bukan hanya aku, langit pun mengirim dukanya siang ini. Mendung di hati bertambah menggila saat air mata turun jatuh membasahi makam nenek. Aku sakit, bukan raga tetapi jiwa. Nenek adalah wanita tua satu-satunya yang aku punya setelah ibu gugur dalam sebuah perang tanpa peluru dan senjata. Ayahku tiada, bukan ikut mati ditelan bumi. Ayahku tiada nama dan rupanya. Jangan tanya pasal pria yang membuatku ada di dunia ini, sebab aku pun tak tahu.

Hanya ada dua nama yang mengiringi pagi dan menutup malamku. Si nenek tua bernama Ajeng dan wanita tangguh yang melahirkan diriku bernama Nia. Dunia jahat sebab mengambil mereka semua.

--Rumi Nathalia, Desember 2021-

"Rumi ...." --ya, itulah namanya. Rumi. Rumi Nathalia adalah kepanjangannya.

Gadis cantik itu menoleh ke arah sumber suara. Mata sembab membesar dengan genangan air mata yang masih bersisa. ia membenci keadaan yang saat ini. Ia pun tak suka memakai baju hitam apapun alasannya dan juga tak suka seseorang melihatnya dengan tatapan seperti itu.

"Maaf gue telat." Ia menghela napasnya. Berat, pasti hatinya berat saat tahu sang kekasih ditinggal orang tercinta satu-satunya yang ia miliki.

"Tadi gue ada urusan di—" Belum sempat ia melanjutkan kalimatnya, Rumi kembali memutar tubuhnya. Fokus ia berikan untuk mengiringi kepergian sang nenek. Tak ada peduli untuk remaja jangkung yang disukai olehnya.

Seakan mengerti dengan duka Rumi, pemuda tampan itu tak lagi berucap. Ia mengeluarkan bunga putih tanda duka dari balik jas hitam yang dikenakan olehnya. Pemuda ini adalah kekasih Rumi. Wajar saja kalau datang mengirim bunga duka untuk keluarga kekasihnya.

"Gue turut berduka cita untuk kematian nenek lo," tutur pemuda itu dengan nada ringan. Ia menoleh pada gadis berwajah polos dengan sisi mata yang memerah. Kemudian mulai menatap jari jemari Rumi yang kuat mengepal seakan sedang menahan sesuatu di dalam dirinya. Ya, rasa sakit dan sesak di dalam dadanya. Rumi baru saja kehilangan orang yang paling berharga di dunia ini untuknya.

"Lo mau tinggal di rumah gue aja setelah ini?"

Kalimat itu membuat Rumi menoleh. Gadis itu masih polos, meksipun kekasihnya ini dikenal sebagai pemuda buaya yang suka melontarkan kata-kata manis pada setiap gadis cantik. Namun, Rumi bukan orang yang mudah terbawa dengan keadaan yang menghanyutkan.

"Untuk apa?" tanya gadis itu dengan lirih. Nada bicaranya masih kental dengan logat orang yang berduka.

"Tinggal bersama sepasang orang yang mencintai dengan keadaan yang mendukung, terkadang tak perlu alasan yang jelas, Rumi." Ia memutar tubuhnya. Meraih kedua bahu milik gadis itu. "Hanya cukup berkata bahwa kita sedang tinggal bersama."

"Lo pasti udah gila!"

••• Big Man season 01 •••

Kembali didiamkan paksa oleh derasnya hujan yang menghantam tanah bumi. Rintik hujan sore ini rasanya lebih dari sekadar air yang turun sebab awan enggan lagi menahan bebannya di atas sana. Awan mendung, mengirim duka. Cuaca gelap di senja penutup hari seakan menjadi pengiring kepergian wanita tua yang amat Rumi sayangi. Ia kehilangan hidupnya. Semangat menguap di udara selepas dirinya mendapati pakaian hitam dengan payung berwarna senada menjadi pelindung untuknya sore ini. Pantulan kaca besar di depannya menjadi saksi, seperti apa keadaan fisik Rumi saat ini.

Ia meninggalkan sang kekasih, tak mau peduli dengan si cabul gila yang terus memaksanya tinggal bersamanya. Katanya sih, hanya iba. Takut kalau Rumi terhanyut pada keadaan yang ada. Takut juga, kalau pacarnya akan depresi. Kata pria itu, ia punya rumah kecil yang bukan sewa. Lunas, sah milik dirinya sendiri. Rumi bisa tinggal di sana dengan sang kekasih yang sesekali datang menjenguk lalu menginap. Menghabiskan malam yang panas bersamanya.

Ya, itulah harga sewanya. Tubuh Rumi setiap akhir pekan.

Di tepi trotoar gadis itu berhenti. Tubuhnya separuh basah berputar menatap jalanan yang ada di depannya. Tak ada niat untuk menyeberang sebenarnya. Toh juga, Rumi malas dan enggan untuk kembali ke rumahnya. Tempat itu hanya akan membuatnya ingat akan kenangan dirinya dan sang nenek saja. Duka masih melekat, rasanya ingin menghempaskan semua dan kembali berjalan tanpa punya rasa apapun.

Di ujung saja, Rumi melihat seseorang pria bermantel tebal khas gaya orang-orang jaman dulu. Bukan tipe style orang Indonesia. Pakaian itu, milik musim dingin. Ya, memang ini sedang dingin-dinginnya, tetapi bukan dingin sebab salju yang turun dari atas sana.

Langkah gadis itu dimulai sesaat selepas jalanan memberikan celah untuknya menyeberang. Dengan payung hitam yang melindungi kepalanya dari hantaman air hujan, ia tegas membelah jalanan. Sepasang sepatu itu mulai basah kala tak sengaja menginjak genangan air di bawahnya. Rumi tak peduli, toh juga, separuh tubuhnya sudah terlanjur basah sebab ia terlalu lama untuk memutuskan membeli payung ini atau tidak. Gadis itu masih kokoh dalam langkahnya.

"Siapa pria itu?" gumamnya dalam hati. Mirip pak tua yang menyebalkan. Ia terus menatap ke arah Rumi yang semakin dekat posisinya. Tak ada senyum, hanya berdiri di bawah pohon besar membiarkan satu persatu butiran air hujan jatuh tepat di atas pundak lebarnya.

"Kenapa memandangku begitu?" --jika Rumi bisa berbicara dan berani untuk melakukannya, maka Rumi akan membuka suaranya sekarang ini. Namun, menjadi orang yang terlalu akrab dengan orang asing, hanya akan membuat dirinya berada dalam bahaya.

"Rumi ...." Suara berat nan dalam tiba-tiba menyebut namanya. Gadis itu terhenti tepat di langkah ketiga selepas melalui pria itu.

"Itu namamu bukan?"

Rumi diam. Ia mematung tak bergerak sedikit pun. Rumi hanya memandang genangan air yang ada di sisinya. Terlihat bayangan sepasang sepatu hitam yang terlihat begitu mewah berjalan mengarah padanya.

"Rumi ...." --sial, dia memanggil lagi.

"Berbalik lah," perintahnya dengan lembut. Jari jemarinya mulai terasa meraih kedua bahu milik Rumi. Membuat gadis itu tersentak dan segera memutar tubuhnya untuk membuat jarak yang lebih jauh. Rumi tak suka orang asing menyentuhnya, apalagi dalam keadaan hati yang begini.

"S--siapa ...." Rumi menatap wajah itu. Dia bukan orang Indonesia. Matanya cokelat muda. Benar-benar indah kalau dipandang dari jarak yang dekat. Setelan baju mahal itu memberi tahu Rumi bahwa pria ini datang dari negara yang jauh. Syal hitam, sweater dengan kemeja format dan dasi berwarna senada. Semuanya dibungkus dengan mantel musim dingin juga jari jemarinya itu ... memakai sarung tangan hitam.

Dia seorang pembunuh bayaran?

"Mau pinjam payung?" tanya Rumi asal menebak. Hanya itu yang ada di dalam kepalanya saat ini. "P--pakailah payungku jika Anda ingin—"

"Aku kedinginan," ucapnya tiba-tiba. Kalimat itu membuat Rumi diam seribu bahasa. Ia tak peduli! Sungguh.

"Kalau begitu ... Bapak boleh pakai payungku. Jarak rumahku tak jauh dari sini. Aku bisa pulang naik bus untuk—"

"Menikahlah denganku ...," sahutnya tiba-tiba. "Menikahlah denganku, Rumi."

... To be Continued ...