Chapter 5 : Usiran
**
Rumah berwarna abu-abu ditambah sentuhan putih itu terlihat sepi. Tampak seperti tidak ada penghuni di dalamnya. Irsan menatap rumah dihadapannya dengan perasaan berdebar. Bukan karena jatuh cinta, lebih tepatnya ia gugup apa yang akan ia terjadi nanti setelah masuk ke rumah itu. Apalagi jika disana ia akan bertemu dengan Arisha.
Jujur ini baru pertama kalinya di menginjakkan kaki di Tanah Borneo, Kalimantan Selatan ini. Bahkan untuk berlibur di sini pun tidak pernah terlintas dalam benaknya, sedikit pun tidak pernah. Hanya untuk bertemu Arisha--wanita yang akan menjadi istrinya jika Arisha tidak menolak--ia datang kemari. Ia hanya pernah mendengar kota ini, kota dimana kelahiran Olla Ramlan dan hafiz muda mantan suami Salmafina, Taqy Malik. Tak perlu bertanya darimana ia tahu. Tentu saja dari teman SMAnya dahulu yang selalu membicarakan artis-artis tersebut.
"Bener ini kan rumahnya?" Tanya mama lagi. Sudah dua kali mama menanyakannya membuat Irsan sebal juga pada akhirnya. Ya, mana Irsan tahu, sudah ia katakan bukan kalau ia tidak akan pernah menyangka akan mengunjungi rumah seorang Arisha yang berada di Kalimantan dan Mamanya ini selalu bertanya seolah Irsan pernah kemari dan tahu.
"Ayo, masuk," ujar papa sambil menggandeng tangan mamanya. Sebelum kesini mereka beristirahat dahulu di hotel. Menaruh barang-barang dan paling penting bagi Irsan adalah untuk menyiapkan mental sebelum bertemu.
Irsan memencet bel yang berada di pinggir pintu berulang kali. Sesekali ia juga mengetuk pintu namun masih tak ada jawaban. Irsan tidak menyerah, ia kembali mengetuk pintu hingga akhirnya ada sahutan dari dalam. "Tunggu."
Seorang wanita paruh baya dengan daster yang melekat ditubuhnya membuka pintu. Menatap tamunya bingung. "Cari siapa ya?"
"Saya mau bertemu Arisha."
Mendengar nama Arisha, perasaan Bi Asih kembali tak karuan. Ragu, ia pun mempersilahkan tamunya masuk. Ia menyajikan cemilan dan minuman pada tamunya sebelum memberitahukan pada nyonya rumah yang beberapa hari ini mengurung diri di kamar. Mendengar kabar anak majikannya hamil membuat keadaan rumah tidak seperti biasanya, terlalu suram terlebih emosi majikannya pun sering tidak stabil. Benar adanya, jika seorang ibu adalah penghidup suasana.
"Bu, ada tamu di bawah," kata Bi Asih yang menatap majikannya yang diam di atas ranjang dengan tatapan lurus ke depan. Tampak kosong dan tidak memiliki gairah hidup sama sekali.
"Mau bertemu Non Arisha bu," lanjut Bu Asih. Nama Arisha menjadi sensitif di rumah akhir-akhir ini. Tak dapat dipungkiri ia memang marah, sedih dan kecewa. Ia merasa gagal mendidik putrinya. Erna berjalan ke ruang tamu seorang diri. Membiarkan Bi Asih menjemput Arisha di kamar. Sama dengan dirinya, Arisha juga mengurung diri. Masih sama seperti beberapa hari yang lalu, namun dengan sedikit bentakan agar membuat anak itu makan dan istirahat. Erna memang masih kecewa tapi ia tidak mungkin sekejam itu mengabaikan janin di kandungan anaknya. Bagaimanapun anak itu tidak bersalah dan tidak berdosa. Anak itu datang karena kesalahan yang dilakukan oleh dua orang dewasa yang naif akan suatu hubungan. Bagaimanapun juga janin itu adalah cucunya.
"Selamat sore, ada yang bisa saya bantu?" Tanya Erna bingung dengan kehadiran tamu yang tidak ia kenal.
"Sore, maaf kalau kedatangan kami membuat Anda bingung." Sengaja Fendy mengulur waktu. Ia juga gugup sekarang. Kalau saja Daris tidak menjebak putranya, ia akan dengan senang hati melamarkan seorang gadis untuk putra kebangaannya namun tidak dalam kondisi seperti sekarang.
"Tidak masalah. Ada apa ya?" Erna duduk di kursi tak jauh dari tamunya. Menatap satu persatu, namun tetap saja ia merasa asing. Fendy berdehem mencoba mengatur debaran jantungnya sebisa mungkin.
"Dimana Arisha?"
Bukan, itu bukan Fendy, namun Irsan yang langsung bertanya membuat Erna semakin kebingungan. "Kamu siapa ya?"
"Saya ingin menikahi Arisha."
Padat, singat dan jelas. Erna melotot kaget dengan ucapan laki-laki muda di depannya.
"Apa menikah?!!" Teriakan dari arah pintu membuat mereka semua menoleh. Seorang pria tinggi dan agak besar mendekat ke arah mereka. Menatap tajam laki-laki yang mengutarakan maksud kedatangannya.
"Atas dasar apa kamu menikah?"
Irsan terdiam ketika pria itu semakin bertanya hal yang sulit sekali ia jawab.
"Kamu yang menghamili anak saya?!" Tuduh Hendri langsung. Irsan membelalak tidak percaya begitupula kedua orang tuanya.
"Hamil?!" Histeris Weni. Ia melongokkan kepalanya mencari-cari keberadaan Arisha hingga matanya tidak sengaja menatap wanita dengan penampilan berantakan. Ah, lebih tepatnya mengerikan. Tubuhnya kurus, lingkaran hitam yang besar, matanya merah dan bengkak, rambutnya kusut dan bekas air mata yang masih terlihat jelas disana. Weni merasakan hatinya nyeri. Wanita itu berjalan pelan seakan tak bertenaga dituntun oleh Bi Asih yang takut wanita itu terjatuh. Jelas saja, Weni bahkan ragu kalau Arisha bisa berdiri dan berjalan sendiri jika tidak dibantu. Gadis itu benar-benar rapuh dan tidak berdaya.
Weni menatap wanita itu semakin lekat. Wanita itu duduk berjauhan, bahkan terkesan tidak peduli dan lupa dimana seharusnya ia berada. Seakan ia memiliki dunianya sendiri. Weni bisa melihat kalau Erna, mama wanita itu terlihat enggan menatap putri mereka. Matanya kembali redup dan sayu. Gurat-gurat kekecewaan nampak jelas disana.
Oh Tuhan, apa yang sudah anakku lakukan?
"Kenapa kamu baru datang hah?! Saya sudah meminta kamu untuk datang!" Bentak Hendri.
Irsan tidak menjawab. Ia tahu posisinya sangat tidak menguntungkan. Ia tahu diri kalau ia peran utama dalam masalah ini. Ia yang bersalah dan ia berhak--sangat berhak untuk menerima hukuman.
"Kamu sudah merusak anak saya!" Lagi-lagi Hendri menyumpah. Kali ini ia bahkan melayangkan pukulannya. Menghajar Irsan membabi buta. Fendy dan Weni hanya diam. Irsan memang pantas mendapatkannya. Mereka tidak akan menyangkal kalau anak mereka bersalah.
Namun, ketika Hendri ingin kembali melayangkan pukulan, Fendy melerai. Baginya sudah cukup Hendri melampiaskan kekesalannya. Fendy tahu apa yang akan dilakukan oleh seorang ayah jika ada yang melukai putrinya. Jika bisa harus dengan kematian, akan dilakukan. Namun, lagi-lagi kematian tidak akan merubah apapun.
Irsan meringis merasa sakit di daerah wajah dan tubuhnya. Meski di usia setengah ratus tahun, ayah Arisha kuat. Masih sanggup untuk membawa dirinya dimandikan, dikafani dan dikuburkan saat itu juga.
"Maaf.." Satu kata yang membawa efek besar bagi keluarga Arisha. Arisha yang tetap terdiam, Erna yang menangis dan Hendri yang menahan amarah dan keinginan untuk membuat anak laki-laki itu dikubur atau berakhir mengenaskan di rumah sakit.
"Apa kata maaf akan mengembalikan semuanya hah?!" Dada Hendri naik turun. Emosinya memuncak. Terlebih melihat Arisha yang diam saja dengan penampilan yang tidak ingin Hendri lihat sekalipun. Susah payah ia membesarkan anaknya. Mencintai dan melimpahkan kasih sayangnya pada Arisha hingga anaknya tidak kurang suatu apapun. Berharap Arisha akan sukses melebihi dirinya. Tapi apa yang ia dapatkan? Kabar mengejutkan yang bisa membuatnya serangan jantung saat itu juga. Anak yang ia besarkan dengan susah payah dari ekonomi pas-pasaan hingga bergelimang harta harus rusak oleh pria muda di depannya.
"Saya akan jelaskan, " kata Fendy mencoba mengalihkan perhatian namun gagal.
Hendri seakan menulikan telinganya membuat Fendy mengela nafas. "Maksud kedatangan kami kesini, saya ingin melamar putri Anda untuk putra saya," kata Fendy langsung. Ia sudah tak mau bertele-tele lagi dengan calon besannya.
Mendegar ucapan Fendy, Hendri segera menatapnya penuh perhatian. Urat-urat pria itu terlihat. Suara gemertak gigi terdengar. Suasana semakin mengerikan. Entah apa yang akan terjadi jika ia ngotot tetap berada disini lebih lama lagi.
"Pergilah! Bawa anak itu keluar dari sini! Terserah kalian mau kalian apakan anak itu aku tidak mau punya urusan lagi dengannya!"
"Anak yang membawa aib buruk, buatku malu saja. Pergi dan jangan pernah kembali lagi kesini!" Teriak Hendri lalu pergi meninggalkan tamunya. Begitupula dengan Erna yang mengikuti suaminya dari belakang.
Arisha menangis. Kata-kata yang keluar dari mulut papanya, amat sangat menyakitkan baginya. Papanya tahu bagaimana cara menghancurkan hati anaknya saat itu juga. Hati Arisha yang hancur kembali hancur hingga ia ragu untuk mendapat kepingan kecil hatinya kembali.
Weni sudah terisak di pelukan Fendy. Melihat Risha yang menangis dalam diam membuat Weni segera memeluknya. "Maaf.. " Hanya itu yang bisa ia katakan. Sebuah kata yang mewakili semuanya.
Irsan menatap lantai yang dilapisi karpet coklat dengan mata yang berkaca-kaca. Berusaha menyembunyikan rasa sedih dan bersalahnya yang kian memang membesar. Daris memang keterlaluan! Sudah menghancurkan masa depan seorang gadis yang tidak tahu apa-apa.
"Ini kopernya, Non," kata Bi Asih menaruh koper dan tas pada Arisha yang diperintahkan oleh nyonya rumah. Ia berbalik menjauh sambil menatap anak majikannya yang dengan sedih.
Semoga Non Arisha baik-baik saja.
Do'a, hanya do'a yang bisa ia berikan sekarang agar anak majikannya mendapat kebahagiaan disana.
Weni dan Fendy keluar rumah sambil membawa koper dan tas milik calon menantunya dan menunggu di mobil selagi kedua pasangan muda itu di dalam. Irsan menatap Arisha bersalah, ia mendekat dan duduk di samping wanita itu.
"Maaf..."
"Aku gak berhak ngomong karena aku tahu aku yang salah. Maaf," Masih tak ada jawaban dari Arisha.
"Menikahlah denganku," ucap Irsan langsung lalu mengenggam kedua tangan Arisha yang sudah gemetar sedari tadi.
"Kenapa?" Irsan bisa mendengarnya meskipun lemah.
"Arisha---"
"Papa dan mama kecewa denganku. Mereka mengusirku dari sini. Bahkan mereka tak sudi membiarkan namaku di kartu keluarga.." Irsan membawa Arisha dalam pelukannya. Semua salahnya. Ia tak menyangka jika kejadian buruk ini akan terjadi padanya. Tanpa diketahui, direncanakan dan diminta.
Daris sialan!
"Ayo kita pulang," Setelah sedikit tenang, Irsan menuntun Arisha keluar dari rumah. Dengan pelan, ia mendudukkan Arisha dengan nyaman di mobil.
Pulang? Ini rumahnya, batin Arisha teriak.
Kepergian Arisha disaksikan oleh kedua pasang mata, pria yang menatap sedih kepergian anaknya dan wanita yang menangisi nasib anaknya. Mereka saling menguatkan. Berharap agar anaknya itu mendapat tempat yang tepat. Berharap kata-kata pedas yang keluar dari bibirnya beberapa menit yang lalu menghilang begitu saja. Sayang, nyatanya kata-kata itu terpatri jelas di otak Arisha dan menyakiti hatinya. Sebagai sebuah tanda kalau orang tuanya tidak pernah menginginkannya lagi.
Tentu saja, apa yang akan dilakukan orang tua ketika anaknya membawa aib bagi keluarga?
Pengusiran akan lebih tepat dilakukan. Kalau bisa, mati di depan kepala mereka sendiri akan lebih menyenangkan. Mengatakan kalau pembawa sial itu tidak akan pernah menganggunya lagi.
tbc