'Aku selalu mencintaimu'
''Aku juga akan selamanya mencintaimu'
"Noooooooo"
"H… HhhhHhhh.. Hh…"
Mimpi yang sama lagi. Ini bukan pertama kalinya Asher Walker terjaga dari tidurnya karena mimpi buruk. Napas nya masih tersengal dan jantungnya berpacu dengan ritme yang sangat cepat, seakan dirinya baru saja berlari ber-kilometer jauhnya.
Beruntung dia selalu menempatkan segelas air putih di atas nakas, di samping tempat tidurnya. Sembari bersandar di punggung ranjang, Asher kembali mengingat mimpi yang dia alami barusan.
Sebenarnya bukan mimpi yang memberinya rasa takut, tapi perasaan tak nyaman seakan dia pernah mengalami segala kejadian yang samar-samar terekam bagai kaset rusak di setiap mimpi yang tiga tahun ini terus menghantuinya.
Asher selalu merasa kosong, sedih, dan marah setiap kali terbangun, seolah dia ikut merasakan, perasaan yang dialami sosok yang benar mirip dia dalam mimpinya.
Laki-laki yang mengenakan jubah seperti orang penting di sebuah kerajaan. Hingga peristiwa laki-laki itu yang lompat ke sebuah jurang bersama seseorang. Benar-benar mengerikan sekaligus tragis.
Dirinya selalu berpikir bahwa dirinyalah yang lompat karena kemiripannya dengan laki-laki itu. Benar-benar seperti kembar, atau seperti dirinya sendiri di masa yang berbeda.
Mungkin setelah ini Asher harus menghubungi ibunya, terkait gambaran-gambaran samar yang selalu hadir dan membuatnya tak pernah bisa tidur nyenyak.
****
New York, WP Corp 09.00 am
"Nanti siang beberapa orang dari TS Ink nanti siang untuk membicarakan pembangunan Hotel baru di Chicago. Lalu wawancara dengan Forbes tepat setelah rapat dengan TS berakhir, mungkin sekitar jam tiga sore. Ah..ya dan terakhir makan malam dengan nona Allison di restoran Mexico, alamatnya akan dikirimkan manajernya nanti. Dan ingat kau harus bisa membuat Allison setuju membintangi sampul majalah perusahaan kita bulan depan."
"Apa kau mendengar ku Asher?" laki-laki yang baru saja menjabarkan semua jadwal kepada atasan di perusahaannya ini berdecak kesal.
Pasalnya bukan sekali saja, Asher Walker, CEO dari salah satu perusahaan real estate terbesar di dunia, melamun di tengah percakapan panjang mereka, atau saat keadaan sedang penting.
Asher yang biasanya selalu serius dalam pekerjaannya, kini justru tampak tidak fokus, seperti ada yang menahan laki-laki itu tapi entah apa.
Sudah lima tahun, Asher menjabat sebagai CEO menggantikan posisi ayahnya, Walker dewasa yang memilih pindah ke New Zealand untuk menghabiskan masa tuanya bersama ibunya.
Perusahaannya yang dipimpin Asher adalah perusahaan yang tidak hanya terfokus pada satu bidang, selain menjalankannya bidang perumahan, WP Corp juga mencakup bidang lain seperti komersial dan industri. Saat ini WP Corp juga melebarkan bisnisnya ke cabang yang lebih luas dengan mendirikan anak-anak perusahaan sesuai dengan bidang yang ditargetkan masing-masing.
Kembali pada kedua laki-laki yang masih terlibat percakapan serius karena Ethan, sekretaris sekaligus sahabat dekat Asher tak dapat lagi mentolerir kebiasaan buruk yang entah kenapa akhir-akhir ini terlihat begitu dekat dengan sosok Asher yang sebenarnya perfeksionis.
"Apakah ini tentang mimpimu lagi? Tanya Ethan tanpa niat. Seperti sudah bisa ia prediksi.
"Berhenti membuat raut menyebalkan seperti itu Ethan, jangan membuatku ingin memukulmu." geram Asher dengan wajah marah.
"Aku hanya merasa aneh dengan obsesi mu dengan pangeran putri dan segala yang berbau kerajaan. Kau yakin itu benar mimpi bukannya impianmu."
"Jangan membuatku marah, ini peringatan terakhir!"
Sepertinya Ethan harus kembali menjaga lisannya kali ini. Walker junior marah adalah hal terakhir yang ingin dicapainya. Laki-laki itu tak akan pandang bulu kalau ada yang menyakiti ya maka pilihannya adalah rumah sakit atau neraka. Dan Ethan tau meskipun dirinya adalah sahabat baik Asher, tak pernah ada toleransi untuk iblis berwujud manusia.
Dibanding memimpikan pangeran dan segala dengan kerajaan, menurut Ethan, Asher lebih cocok dengan mimpi dengan tema,
'Bangkitnya anak iblis dari neraka'.
"Haruskah aku memberimu jadwal berlibur. Kau tau meskipun jadwal kita terasa sangat mencekik bulan ini, tapi percayalah aku masih bisa memberikanmu setidaknya 1 atau 2 hari untuk liburan." Usul Ethan penuh pertimbangan.
Mungkin atasannya ini perlu berlibur dan merileksasikan kepalanya beberapa waktu. Dan menghentikan kebiasaan buruknya yang mulai berpengaruh pada pekerjaannya ini.
Meski tawaran itu terdengar begitu menggoda, tapi Asher tidak bisa meninggalkan pekerjaannya dengan berenang-senang, sementara semua orang sedang berusaha keras melakukan pekerjaannya.
Lagi pula Asher sudah pernah mencobanya, dan gagal. Liburan tidak akan membuat mimpi buruknya pergi, justru mimpi itu semakin gencar menghampirinya saat ia mencoba mengambil cuti dan pergi ke Phuket satu tahun yang lalu.
"Aku tidak butuh berlibur Eth, kau tau itu tidak membawa perubahan."
"Lalu bagaimana dengan mengunjungi psikiater?" Rupanya Ethan benar ingin dia habisi saat ini juga.
"Hey. Hey… Ja-- Jangan salah paham..! Aku hanya berpikir kau butuh pendengar yang baik maka aku menyarankan mu pergi ke sana." Ethan berseru panik setelah melihat Asher berdiri dari kursinya dan menampilkan wajah bak petarung yang siap menghabisi lawannya.
Asher hanya tidak pernah mengatakan pada Ethan bahwa dia sudah mencoba segala cara, termasuk pergi ke psikiater dan psikolog keluar yang memang sudah dipercayai oleh ayahnya. Tapi semua tidak berguna— mimpi-mimpi itu tidak menghilang, bahkan menjadi semakin parah belakangan ini.
"O..oh baiklah kalau kau ternyata tidak juga tertarik dengan usul yang ini, kita akan pikirkan cara yang lain."
Tanpa menunggu jawaban dari Asher, Ethan sudah berlalu dari ruangan atasannya dengan langkah secepat Flash, salah satu karakter superhero, meninggalkan Asher yang tercengang di tempatnya, padahal ia ingin meminta tolong Ethan memesan segelas kopi yang biasa laki-laki itu siapkan untuknya.
****
Sama sekali bukan gaya Asher pergi ke coffe Shop seorang diri demi segelas kopi.
Meski bisa meminta tolong office boy di kantornya, atau siapapun karyawan yang pasti dengan senang hati akan membantunya, Asher memutuskan untuk pergi sendiri.
Hidup dengan sendok emas di mulutnya, tak pernah membuat Asher repot melakukan segala hal seorang diri. Sejak masih bayi, Asher sudah punya puluhan pelayan yang siap melayaninya 1x24 jam. Jadi kunjungan Asher ke sebuah coffee shop di depannya kantornya adalah pertama kali dilakukannya.
Sebenarnya Asher sudah akan meminta Ethan yang pergi ke sini, kalau saja laki-laki itu tidak kabur dan bahkan sekarang tidak tau di mana keberadaannya. Awas saja nanti, bantuin Asher kesal.
"Satu cappuccino untuk nona Scarlett yang tampak manis hari ini." perkataan seorang kasir menyentak Asher dari lamunannya, matanya ikut memandang ke arah perempuan yang namanya baru saja kasir itu sebut.
Scarlett, nama yang cantik dan terasa familiar untuknya. Seperti Asher sudah sering menggumamkan nama itu di masa lalu. Padahal dia tidak pernah berkencan dengan satupun wanita bernama Scarlett, sangat aneh.
"Terima kasih Bertha, kau juga selalu terlihat luar biasa. By the way, scarf itu cocok denganmu."
Bukan hanya namanya, tapi suara ini juga tampak akrab untuk Asher, ada apa sebenarnya? Begitu gadis itu berbalik, mata Asher masih tak ingin melepaskan pemandangan
Sampai gadis itu pergi dan ketika sang kasir mulai mempersilahkannya memesan, Asher tak berkata apapun, justru pergi menyusul perempuan berambut merah kecoklatan yang nampak indah bergerak bebas karena sapuan angin.
"Scarlett!"
Tiba-tiba saja Asher sudah menahan lengan sang gadis dan meneriakkan namanya tanpa tau apa yang sebenarnya dia pikirkan. Atau dia lakukan. Asher sendiri tak mengerti, motivasi apa yang membuat pergi dengan tindakan gila yang dia lakukan barusan.
"Sorry..."
Asher merasa ingin membunuh dirinya sendiri saat melihat wajah ketakutan dari gadis bernama Scarlett ini. Gadis itu tampak terkejut di awal, meski kini ekspresinya jauh lebih baik.
"Apa kau ada perlu denganku sir?" meski tampak waspada, Scarlett masih berlaku sopan bahkan intonasi bicaranya terdengar sangat halus di telinga Asher.
"Ah maafkan aku, tapi kau mirip dengan seseorang yang ku kenal, kalian juga memiliki namanya yang sama. Jadi aku salah mengira dirimu itu dia." oh tentu saja Asher harus berbohong untuk menyelamatkan dirinya dari kebodohannya barusan.
"Oh baiklah, kalau begitu aku permisi." Scarlett berlalu cepat dari hadapan Asher dengan langkah kaki terburu-buru. Sepertinya dia memang berhasil membuat gadis itu pergi ketakutan. Pasti Scarlett menganggapnya orang aneh— atau semacamnya.
Asher yang masih belum beranjak dari tempatnya berdiri, masih memandang lekat punggung Scarlett yang terlihat semakin jauh. Sebenarnya ada bagian dari diri Asher yang memaksanya untuk menahan gadis itu lebih lama, tapi seberapa pun dia ingin, Asher tidak memiliki alasan kuat menahan gadis yang bahkan baru dia tahu namanya tadi, saat mencuri dengar percakapan gadis itu dengan sang kasir.
Meski baru pertama kali bertemu, nyatanya Scarlett terasa begitu familiar untuknya.
Sebenarnya siapa gadis itu?
Asher harus mencari tahunya sendiri. Mungkin mereka memang saling mengenal, atau berpapasan tanpa sadar.
Yah apapun itu, Asher akan menggali-nya sendiri. Karena rasa penasaran hanya akan membunuhmu secara perlahan, dan Asher beluk mau mati muda. Dengan cepat Asher mendial nomor Ethan dari ponsel keluaran terbaru miliknya,
"Cari info semua gadis bernama Scarlett di seluruh New York. Dan aku mau data itu sudah terkumpul besok pagi di mejaku."
Tak memberikan Ethan kesempatan untuk bertanya atau memberikan protes, panggilan itu sudah dimatikan sepihak oleh Asher.
Yang terpenting adalah dia tau siapa itu Scarlett, gadis pertama yang membuat Asher diliputi rasa penasaran untuk tau segala tentangnya.