webnovel

Melupakan Sejenak

Perlahan Arkan mendekatkan wajahnya ke wajah sang kekasih. Dikecupnya pipi gadis itu dengan begitu dalam seolah menyalurkan rasa rindu yang sudah satu bulan ini terpendam dalam hatinya.

Sejenak, masalah yang mereka hadapi lenyap begitu saja. Hanya ada cinta dan kehangatan yang tercipta di antara keduanya.

"Aku merindukanmu, Sangat-sangat merindukanmu," bisik Arkan tepat di telinga Arin.

Nafas Arkan yang hangat, membuat Arin memejamkan mata Menikmati sensasi luar biasa yang menjalar di seluruh tubuhnya.

"Aku juga sangat merindukan kamu, Arkan. Setiap detik dalam hidupku, aku selalu merindukan kamu," sahut Arin sengati mengeratkan pelukannya pada tubuh Arkan.

Arkan tersenyum sembari kembali mendaratkan kecupan bertubi-tubi di pipi gadis kesayangannya. Hanya di pipi karena bibir adalah area terlarang.

Bukan Arin yang melarang tapi Arkan yang tidak menginginkannya. Setidaknya sampai nanti, sampai waktunya tiba untuk Arkan mengambil semua miliknya yang selalu dia jaga selama ini.

"Apa kamu lapar?" tanya Arin takut kekasihnya belum makan.

"Sangat," jawab Arkan dengan wajah memelas.

"Kalau begitu biar aku pesankan dulu makanan untuk kita. Aku juga belum sempat makan malam tadi," ucap Arin perlahan mengurai pelukannya di tubuh Arkan.

"Tidak usah pesan. Di dapur masih ada mie. Kamu buatkan aku itu saja," titah Arkan tak ingin harus membuang banyak waktu menunggu pesanan datang. Selain itu, dia ingin Arin sendiri yang menyiapkan makanan untuk mereka.

"Kamu yakin mie saja cukup?" tanya Arin takut kalau Arkan tidak akan kenyang hanya makan mie.

"Yakin," jawab Arkan penuh keyakinan.

"Hem, baiklah. Kalau begitu aku siapkan dulu mie nya. Kamu tunggu saja di sini," titah Arin dan dijawab anggukan kepala oleh Arkan.

Gadis itu segera beranjak menuju dapur. Sebelum Arkan memegang tanggung jawab di perusahaan nya yang ada di Surabaya, sebenarnya mereka sangat sering menghabiskan waktu untuk sekedar makan bersama di apartemen.

Stok makanan pun tak pernah kosong di kulkas karena Arin dan juga Arkan selalu menyempatkan waktu untuk berbelanja bersama ke supermarket.

Namun karena sekarang apartemen itu jarang sekali disinggahi, jadilah tidak ada stok makanan apa pun. Arin juga tidak sempat membeli bahan makanan saat akan datang tadi karena waktu yang diberikan Arkan benar-benar tidak memungkinkan untuk dia berbelanja terlebih dahulu.

Ah, tapi itu tidak akan jadi masalah besar. Yang penting mereka sama menikmati setiap suapan mie itu bersama jadi apa pun menunya tidak akan menjadi masalah. Yang penting perut kenyang maka hati pun akan senang. Apalagi kalau makan nya bersama kekasih tercinta.

Greb.

Pelukan di belakang tubuhnya membuat Arin menoleh. Senyum yang tersungging di bibir Arkan seketika langsung menular padanya.

"Kan aku sudah bilang tunggu saja. Kenapa malah nyusulin?" ucap Arin geleng-geleng kepala karena Arkan selalu saja mengganggunya saat di dapur seperti ini.

"Aku kesepian kalau harus menunggu di depan sendirian. Jadi, lebih baik nunggunya di sini saja sama kamu," jawab Arkan sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Arin.

"Kalau seperti ini nanti aku susah pas ngangkat mie nya. Mending kamu nunggu di kursi saja dari pada nanti kesiram air panas," ucap Arin karena dia benar-benar kesusahan kalau Arkan main nemplok seperti cicak.

"Huft, ya sudah deh."

Arkan melepaskan pelukannya lalu duduk di kursi. Tatapan laki-laki itu tak sekalipun teralih ke tempat lain, selain pada Arin.

Arin yang merasa diperhatikan langsung menoleh ke arah kekasihnya. Itu membuat senyum Arkan semakin mengembang.

"Jangan ngelihatin terus, Arkan, aku enggak fokus," ujar Arin malah membuat Arkan terkekeh.

"Habisnya kamu cantik kalau sedang memasak, Rin. Momment seperti ini yang selalu aku suka makanya aku enggak pernah mau pesan makanan kalau lagi sama kamu," ucap Arkan dengan tatapan yang begitu lekat pada kekasihnya.

"Iya aku tahu. Tapi sebaiknya kita makan dulu. Menghadapi hidup itu butuh tenaga jadi jangan sampai telat makan." Arin langsung menyodorkan satu mangkuk besar mie ke hadapan Arkan.

Sengaja Arin memasak tiga bungkus mie sekaligus dan menempatkannya di satu mangkuk untuk mereka makan bersama.

"Terimakasih, Sayang," Arkan mulai menikmati mie di depannya. Begitupun dengan Arin yang ikut menikmati mie itu bersama.

Mereka seolah sengaja melupakan sejenak peristiwa tidak mengenakan yang baru saja terjadi pada mereka. Bagaimanapun juga, tak lucu kalau tiba-tiba selera makan mereka hilang gara-gara membahas masalah tak mengenakan itu.

Sesekali, mereka tampak saling menyuapi. Bahkan Arkan terlihat lebih sering menyuapi Arin ketimbang dirinya sendiri yang makan. Itu sengaja Arkan lakukan untuk memastikan Arin kenyang terlebih dahulu.

"Sudah kenyang?" tanya Arkan kala melihat Arin yang menyimpan sendoknya.

"Kenyang banget, Malah. Kamu sih nyuapin aku terus dari tadi," sahut Arin dengan bibir yang mengerucut.

"Sengaja supaya kamu kenyang dan tidak kelaparan malam ini," ujar Arkan sembari menyeruput kuah mie yang tersisa di mangkuknya.

Arin hanya geleng-geleng kepala melihat kelakuan Arkan. Ini bukan yang pertama baginya karena Arkan selalu melakukan hal seperti itu jika mereka makan bersama.

Setelah acara makan nya selesai, Arin segera mencuci semua bekas makan mereka. Sedangkan Arkan memilih untuk ke depan lebih dulu karena Arin yang melarang Arkan membantu.

Setelah selesai dengan pekerjaannya, Arin segera menghampiri kekasihnya. Saatnya dia membahas masalah yang kini harus mereka hadapi. Meskipun sebenarnya malas kalau harus membahas hal yang menyedihkan saat bersama orang tercinta, namun bagaimana pun masalah ini harus segera selesai secepatnya.

Begitu sampai, Arin mendudukan diri di samping kekasihnya dengan tatapan yang begitu serius.

"Arkan, aku tidak tahu harus memulai pembicaraan kita dari mana. Tapi yang pasti, aku tak pernah menginginkan perjodohan apa pun terjadi dalam hidupku. Begitupun dengan saat ini. Aku tidak pernah ingin menikah dengan Valdo karena aku hanya mencintai kamu," ucap Arin memulai pembicaraan.

"Lalu apa yang sebenarnya terjadi hingga Paman menjodohkan kamu dengan laki-laki itu?" tanya Arkan begitu serius.

"Aku tidak tahu. Tiba-tiba saja Ayah mengajak aku makan malam di luar dan ternyata makan malam itu memang sudah mereka rencanakan tanpa memberitahuku sebelumya.

Aku sudah keras menjelaskan pada mereka kalau aku tidak ingin menikah. Tapi mereka tidak mau mendengarkan aku. Aku bingung harus bagaimana, Arkan. Mengadu padamu pun aku tidak berani. Apalagi mereka sempat menyita ponselku dan baru dikembalikan hari ini karena aku mengatakan kalau aku setuju dengan pernikahan yang mereka rencanakan. Sekarang aku bisa keluar pun karena tadi tidak ada Ayah. Kalau Ayah tahu aku keluar, sudah pasti Ayah akan kembali mengurungku," ucap Arina begitu sendu.

Terdengar helaan napas panjang dari bibir Arkan. Hatinya benar-benar remuk mendengar perkataan Arin. Arin tidak pernah berbohong, jadi sudah pasti saat ini gadis itu pun tengah tertekan.

"Apa kamu tidak mencoba meminta bantuan pada orang lain untuk menyadarkan Ayahmu?" tanya Arkan menatap lekat manik mata kekasihnya.

"Maksud kamu?" tanya balik Arin.

"Maksudku harusnya kamu meminta bantuan pada …."