webnovel

Episode 1 ~ Tanda Garis

Langit biru sedang cerah pagi ini, tanpa secuil awan melintas di wajahnya. Burung burung berkicau di dalam sangkar mereka, suara bising aktivitas kehidupan perkotaan juga telah terdengar. Sungguh pagi yang sempurna untuk mengawali hari dengan riang dan semangat. Begitupun dengan Ayla Fadella Wikatma, seorang remaja SMA yang juga tengah mempersiapkan diri memulai harinya, ia telah siap dengan seragam sekolahnya. Ia menatap dirinya dalam cermin, memantapkan penampilannya.

"I am ready for a great day," ucapnya pelan.

Setelah beberapa saat merapikan poninya, Ayla melirik ke luar jendela melihat cerahnya pagi ini. Ia mengembuskan nafas perlahan. Tak sungkan Ayla menyunggingkan senyum kecil untuk pagi yang cerah ini. Namun beberapa saat kemudian sebuah teriakan memecahkan kegembiraan awal paginya.

"AYLA CEPETAN...! Udah siang ini, cepetan atau kakak tinggal."  Di luar seorang remaja berseragam putih abu abu sama seperti Ayla, berteriak teriak di atas motor merahnya. Matanya terus bergantian melirik antara jam tanganya dengan pintu rumahnya.

Setelah sesaat melirik jam weker nya senyum Ayla langsung tergulung. Lalu mendengus sebal.

___

"Kak Rizal gak sabaran banget sih, perasaan biasa juga belum berangkat jam segini," ucap Ayla dengan wajah cemberut.

"Kan kakak udah bilang mau ada diskusi tugas dulu sama temen temen kakak."

"Halah.. bilang aja mau nyari contekan PR" celetuk Ayla.

"HEHE.. adik kakak emang paling tau deh," kata remaja laki laki itu sambil nyengir.

Afrizal Adi Wikatma, begitulah nama remaja laki-laki itu. Ia adalah kakak kandung Ayla, berbeda dengan Ayla yang masih kelas X, Rizal saat ini sudah duduk di kelas XII. Kakak beradik ini berada di satu sekolah, setiap pagi mereka berangkat ke sekolah selalu bersama sama dengan motor sport merah milik Rizal.

"Udah buruan kalau udah tau, nih helm buruan pakai!. Kakak mau ngebut" Rizal menyodorkan helm kepada adiknya.

Mendengar itu Ayla langsung bergegas meraih helm itu dan memakainya. Ketika Rizal mengatakan akan ngebut, maka akan ngebut lah dia. Bukan waktu adalah uang, ataupun waktu adalah ilmu. Tapi bagi Rizal, waktu adalah waktu, yang setiap detiknya terus berjalan tidak bisa diulang. Setiap detiknya adalah sebuah cerita berharga bagi tokoh utamanya.

***

Sekitar lima belas menit kemudian motor sport merah Rizal sudah terparkir rapi diantara deretan motor lainya.

"Nanti pulangnya kamu duluan aja ya.. kakak mau ada urusan dulu. Gakpapa kan?"

"Iya. Gampang nanti Ay bisa naik angkot atau nebeng Lita aja." Ayla tersenyum kecil.

" Good lah kalau begitu, adik kakak emang pengertian." Rizal tersenyum sambil mengacak ngacak poni Ayla. Namun tidak lama karena Ayla segera menepis tangan Rizal yang membuatnya merasa risih.

"Oke kalau begitu kakak duluan ya.. bye bye adik..."

Rizal melambaikan tangan lalu berlari kecil meninggalkan adiknya. Kakak beradik itu pun berpisah, Ayla menatap punggung kakaknya yang menjauh dan akhirnya menghilang di ujung koridor. Ayla juga perlahan melangkah keluar dari parkiran, melangkah menaiki anak tangga menuju lantai dua tempat kelasnya berada.

Kelas X IPA 2, itulah kelas Ayla. Pintu kelas itu berada paling dekat ujung puncak anak tangga, sehingga tidak perlu bagi Ayla untuk berjalan lebih jauh lagi.

Pukul 06.42, masih beberapa belas menit lagi menuju tepat pukul tujuh. Waktu dimana segala jam menyenangkan atau membosankan akan segera di mulai. Namun di jam yang masih cukup pagi ini sebuah perseteruan kecil juga sudah di mulai, tepat di depan pintu kelas Ayla. Seorang murid laki laki berdiri tepat di pintu kelas Ayla, membuat beberapa siswa siswi yang hendak masuk jadi terhalangi.

"Kalau mau masuk ucapin dulu dong password nya," ujar laki laki itu sambil tersenyum licik.

"GAK AKAN PERNAH. MINGGIR AJA KENAPA SIH." Tak mau mengalah seorang gadis dengan rambut sebahu itu berteriak tanpa rasa takut.

Beberapa murid lain di belakang gadis berambut sebahu itu juga tampak frustasi dengan situasi ini.

"Ada apa sih Lit, kok rame rame?" Tanya Ayla begitu tiba di depan pintu kelasnya dan menjumpai keributan ini.

"Ini nih Ay, Si Sarang Walet, udah bikin kesel aja pagi pagi gini," ketus Lita sambil menunjuk cowok berambut kusut berantakan di depannya yang berdiri menghalangi jalan pintu.

"Eh selamat pagi Ayla..., Mohon maaf atas ketidak nyamanan ini. Tapi pintu ini telah di segel hingga Alita Maharani mengucapkan kalimat yang menjadi password pintu ini," ucap laki laki berambut kusut itu, di sertai senyum liciknya.

"OGAH!!!" seru Lita galak.

"Udah ah Lit ngalah aja, dari pada ribet." Ayla mencoba memberi masukan pada Lita. Beberapa murid di belakang Lita juga mengangguk setuju.

Alita Maharani, gadis manis dengan rambut sebahu. Ia adalah sahabat Ayla, mereka sudah berteman sejak kelas satu SD.

Dan laki laki itu, Ifan Ardy Wijaya, semua sudah mengenalnya. Dia di kenal sebagai si biang masalah. Dimanapun saat bertemu Ifan, di situlah menghindarinya adalah pilihan yang paling tepat. Satu hal lagi darinya, ia sama sekali tidak  mengenal kata rapi dalam hidupnya.

"Emang password nya apaan sih, biar aku aja ngucapin." Ayla mengalah mengajukan diri, ia tahu persis Lita tidak akan pernah menuruti Ifan.

"Password-nya 'Ifan ganteng Ifan ganteng Ifan ganteng, aku suka!'. Tapi aku maunya Lita yang ngomong gitu."

"GAK AKAN PERNAH!!!"

Lita naik darah, ia sudah tak tahan lagi dengan Ifan. Hingga tanpa ada yang menduga kaki kanan Lita terayun kuat ke depan atas, mengenai titik vital Ifan.

Bukk...

Ifan langsung meringis menahan sakit, tidak lama kemudian kakinya tak lagi mampu menopang tubuhnya. Ifan pun terduduk di lantai dengan wajah menahan sakit. Ayla dan yang lainya menatap Lita, tidak menyangka ia akan berbuat demikian.

"minggir atau aku tendang lagi tuh emprit," gertak Lita dengan wajah galak. Walau sebenarnya menurut Ifan wajah Lita saat marah semakin manis, tapi memikirkan nasib emprit nya ia mengalah.

Ifan yang masih menahan sakit menatap ngeri pada Lita. Dengan susah payah ia pun menyingkir dari pintu.

"Lit kok kamu berani banget tadi?"

bisik Ayla.

"Beranilah, cowok kayak gitu mah sesekali harus di beri pelajaran," jawab Lita sembari mendudukkan dirinya di tempat duduknya.

Dua menit lagi bel akan berbunyi, siswa siswi sudah bersiap masuk ke kelas. Termasuk satu sosok murid laki laki yang kedatanganya mampu menghapus raut wajah kesal pada diri Lita. Kehadirannya bagai magnet berjalan, selalu menarik pasang pasang mata di sekitarnya.

Alan, dia adalah tigaratus enam puluh derajat kebalikan sempurna dari Ifan. Cowok cool yang mampu membuat berpasang pasangan mata membeku saat melihatnya.

"Selamat pagi Alan" sapa Lita lembut, lembut, tepatnya dibuat selembut lembutnya. Seakan akan sebelumnya pagi nya benar benar indah, indah seindah indahnya.

Di susul beberapa siswi di kelas itu ikut menyapa Alan. Terkecuali Ayla yang merasa kehadiran Alan biasa biasa saja.

"Pagi...,"balas Alan pendek, disertai senyum kecil. Senyum kecil yang berefek besar bagi suasana hati putri putri hawa di kelas itu.

Mereka menggigit bibir, ada juga yang menggigit ujung ujung jarinya. Lita dengan heboh tak tertahankan sampai menghentak hentakkan kakinya di lantai. Hanya Ayla seorang. Satu satunya anak perempuan di kelas X IPA 2, yang berpikiran semua itu "biasa saja." Ia bahkan heran dengan sikap teman perempuan sekelasnya.

Sebenarnya bukan Ayla seorang yang menganggap Alan biasa saja. Ifan Adi Wijaya. Tatapannya tajam bagai pedang siap terhunus melihat Alan dengan gaya yang menurutnya sok keren duduk di bangku belakangnya. Ia menatap rambut hingga ujung sepatu Alan, menurutnya "biasa saja!"

Namun, di balik itu semua tidak banyak yang tau. Iris mata Alan untuk beberapa detik melihat ke seorang gadis. Dan gadis tersebut sebelumnya juga beberapa kali mencuri pandang keAlan. Saat Alan balas melihat ke gadis itu, gadis itu memalingkan wajahnya ke arah lain.

"Ish. Ngapain juga sih aku lihatin Alan" kata Ayla dalam hati.

🐢🐢🐢

Empat puluh lima menit berlalu, jam pelajaran telah berjalan. Kali ini yang terjadwal adalah mapel Matematika. Mata pelajaran yang dulu sempat menjadi yang paling di benci dan di hindari oleh beberapa karakter murid, namun semua itu berubah semenjak Fisika dan Kimia menyerang.

Ayla sedari dulu sudah cukup menyukai Matematika. Baginya di kesempatan seperti inilah otak bisa berolahraga, dan bermain dengan formasi angka dan huruf. Guru pengampu studi ini adalah pak Tegar, seorang guru yang selalu tegar melihat nilai anak muridnya naik turun.

Setelah menjelaskan materi pada Bab yang baru, Pak Tegar memberikan beberapa soal untuk di coba di kerjakan. Semua murid bersiap memulai mengerjakan, namun beberapa detik kemudian sesuatu terjadi pada Ayla.

Nyutt... Nyutt.. Nyutt...

Tiba tiba pergelangan tangan Ayla berdenyut kuat. Membuat Ayla reflek memegangi pergelangan nya dengan tangan kirinya kuat kuat.

"Kenapa harus sekarang?" batin Ayla.

Ini bukan kali pertama hal itu terjadi pada Ayla. Ini tepat yang ke enam kalinya dalam sepekan terakhir Ayla merasakan pergelangan tangannya berdenyut hebat.

Awalnya Ayla sempat berpikir ini hanyalah kram biasa. Namun pikiran itu berubah ketika hal tidak wajar terjadi. Sebenarnya sejak lahir, Ayla memiliki tanda lahir berbentuk garis tipis di pergelangan tangan kanannya. Jika di lihat tanda lahir Ayla akan tampak seperti seutas rambut, tipis. Namun, ketika Ayla merasakan sensasi denyutan itu, garis itu akan menebal dan memanjang. Itu yang menurut Ayla tidak normal, membuatnya menutupinya dari siapapun termasuk keluarganya.

Dan kali ini Ayla kembali merasakannya, tanda lahir garisnya menebal dan memanjang sedikit demi sedikit. Ayla menutupinya serapat mungkin agar teman kelasnya tidak ada yang melihat.

"Akhirnya..."

Ayla mengembuskan nafas pelan, ketika ia sudah tidak merasakan lagi denyutan itu. Tanda garisnya juga kembali menyusut memendek seperti semula. Namun ada sedikit perubahan, warna nya sedikit berubah sekarang menjadi kebiru-biruan. Tapi, Ayla tidak terlalu mempedulikannya. Sekarang ia kembali berkutat dengan kertas dan pulpenya. Tapi dari sisi belakang beberapa bangku dari tempat duduk Ayla, sepasang mata diam diam mengamati kejadian tadi.

---

" Ay.. Kekantin yuk." Ajak Lita.

Ayla mengangguk setuju, tapi sebelum melangkah keluar Ayla menoleh ke Ifan yang masih terduduk di kursinya.

"Fan ikut ke kantin nggak? Mau ditraktir sama Lita, buat permintaan maaf katanya," kata Ayla sambil menahan tawa.

Mata Ifan langsung terbelalak.

"Ayook.."

"Apaan sih Ay, aku nggak ada ya bilang mau traktir traktiran. Apalagi traktir si Ifan. Ogaah!!!."

"Ayolah Lit..., Eh emm.. Alan mau ikut ke kantin juga?" tanya Ayla sedikit ragu, setelah ia melihat Alan juga belum beranjak dari tempat duduknya. Walau sebenarnya Alan memang selalu menghabiskan jam istirahatnya hanya di dalam kelas. Sebenarnya maksud Ayla adalah untuk mengembalikan mood Lita yang sempat anjlok gara gara Ayla mengajak Ifan.

Dan sukses. Perubahan tiga ratus enam puluh derajat langsung kembali terjadi pada Lita, dengan lembut ia berkata

"Nanti Alan Lita traktir deh..."

"Apaan kok gitu... Tadi traktir aku ogah, sama si Alan oke oke aja," protes Ifan, namun di abaikan begitu saja oleh Lita.

"Aku ikut, tapi nggak usah di traktir" kata Alan dengan muka datar, lalu ia beranjak berdiri dari tempat duduknya.

Akhirnya mereka berempat bersama sama menuju kantin sekolah. Sepanjang melewati koridor Ifan bersungut-sungut karena sedari tadi Lita terus saja dekat dekat dengan Alan.

"Cemburu Fan?" tanya Ayla.

"Yes!. Emang apa okenya sih tu cowok es?. Udah dingin, cuek, sok keren!" gerutu Ifan.

Ayla yang mendengarnya berusaha menahan tawa, perbedaan Ifan dan Alan terlampau jauh. Ifan adalah anak bandel, pemalas, suka terlibat atau membuat suatu masalah, berbeda jauh dengan Alan yang dari segi apapun melampauinya. Meskipun Ayla hanya menilai Alan biasa saja, tapi apa benar benar menilai Alan hanya sesederhana itu, atau Ayla berusaha menilai Alan hanya seperti itu, tidak ada yang tahu.

"Emang kamu nggak cemburu Ay?" Pertanyaan Ifan yang tiba tiba membuat Ayla sedikit terkejut.

"Aku?, Enggaklah! Apa urusannya," kata Ayla, nadanya sedikit meninggi.

"Kalau enggak jawabnya biasa aja kali. Aku tau Ay, diam diam kalian sering saling curi pandang."

"Saling?"

Tanya Ayla dalam hati, Ayla mengakui akhir akhir ini dirinya sering diam diam memperhatikan Alan. Tapi itu karena ia penasaran apa yang di lihat mata Lita dan mata teman teman lainya dari Alan, hingga mereka heboh sendiri.

"Saling itu berarti... Alan juga melakukan hal serupa?" batinnya lagi.

Tanpa Ayla sadari wajah Ayla tiba tiba memerah. Dan bodohnya lagi Ayla juga terlalu tidak menyadari, Ifan sedari tadi melihatnya.

* * * * *

*) Terima kasih sudah berkenan mampir...